Oleh: Qurrota A’yunin*
Globalisasi dan tantangan teknologi tidak bisa dihindari oleh elemen pendidikan di tanah air. Banyak rekan rekan guru merasa “kuwalahan” dengan hadirnya teknologi pada aspek pendidikan. Pandemi Covid-19 yang melanda negara Indonesia dan seluruh dunia membuat kita sebagai guru/pendidik perlu berfikir ulang tentang fenomena digitalisasi pendidikan yang tidak bisa diabaikan kehadirannya. Ditandai dengan guru dan siswa makin mudah mengakses bahan ajar, guru, siswa, kepala sekolah dan unsur pendidikan juga bisa mengaksesnya melalui laman, website dan situs yang disediakan. Imbasnya, Aplikasi serta program berbasis teknologi semakin gencar disebarkan dan diimplementasikan pada satuan pendidikan di berbagai tingkatan seperti Google Classroom, Edmodo, Zoom, Rumah Belajar dan Ruang Guru. Tak terkecuali beberapa lembaga pendidikan tinggi negeri maupun swasta.
Hadirnya teknologi bersamaan dengan bagaimana tantangan demi tantangan beriringan. Mulai kecakapan skill dan kompetesi guru, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan mendasar, krisis identitas sebagai bangsa, landasan akhlak maupun moralitas sebagai pendidik yang harus dimiliki serta pemahaman yang utuh, komprehensif serta syumuli (menyeluruh) tentang arti penting pendidikan dan teknologi. Merujuk pada Survei The Economist Intelligence Unit (2018) beberapa tantangan yang dihadapi guru seperti keterbatasan waktu dalam memenuhi kurikulum yang berstandar tinggi, keterbatasan pelatihan, otoritas pendidikan yang secara ketat berfokus pada penguatan literasi dan numerasi, kesulitan mengidentifikasi ragam keterampilan yang dibutuhkan.
Fenomena pada aspek pendidikan tersebut memaksa para guru untuk terus meningkatkan pemahaman-pemahaman terkait dengan profesionalitas, upgrading ilmu dan peningkatan kecakapan sehingga menghasilkan landasan teoretis-praktis yang kuat. Dengan pemahaman tersebut, kompetensi guru menjadi pijakan bagaimana lembaga pendidikan mengambil sikap/langkah untuk diimplementasikan ke dalam ranah pendidikan di berbagai jenjang.
Kondisi demikian, tidak luput dari atensi Pengasuh dan Pendiri Pondok Pesantren Nurul Islam Pungging Mojokerto, Dr. KH. Ahmad Siddiq, S.E., M.M. (selanjutnya ditulis Kiai Siddiq). Menurutnya, seorang guru yang diberikan amanah mulia di lembaga pendidikan khususnya pendidikan pesantren harus memiliki skill/kompetensi yang mencakup kompetensi profesional, kompetensi pedagogik dan kompetensi kepribadian yang semuanya mempunyai nilai-nilai dasar yang berkaitan dengan output dalam berfikir dan bertindak tanpa menghilangkan nilai-nilai pesantren sebagai lembaga pendidikan yang memiliki akar kuat (indigenous) pada masyarakat muslim Indonesia. Sebab, kompetensi ini yang akan menentukan keberhasilan anak didik dalam melaksanakan proses belajar-mengajar.
Tidak hanya itu, Kiai Siddiq mengurai secara detail, rigid dan sistematis bahwa dalam Islam dijelaskan tentang bagaimana sikap yang harus dimiliki oleh seorang Mu’allim/guru yang mencakup bagaimana seorang guru mempunyai kecerdasan secara syumuliy (cerdas intelektual dan kepribadian) serta memberikan Role Model yang baik kepada peserta didik maupun lingkungan sekitar. Kiai siddiq menjelaskan bahwa eksistensi guru ideal sudah dijelaskan secara panjang lebar dalam karya Syaikh Zarnuji dengan berbagai indikator mulai penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme, tak terkecuali aspek kompetensi pada diri seorang guru itu sendiri.
Hujjatul Islam, Imam Al-Ghozali ath Thusy (1058-1111 M) dikutip oleh Rosadi Khoiron dalam buku ‘Pendidikan Profetik’ mengatakan, “Seseorang yang berilmu kemudian bekerja dengan ilmunya dan mengabdikan jiwa raganya di bidang pendidikan, maka orang tersebut telah memilih pekerjaan yang terhormat dan sangat penting. Oleh karenanya, dalam dirinya melekat keluhuran akhlak dan budi pekerti.”
Senada dengan pemikiran Kiai Siddiq, dalam undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab IV Pasal 10 ditegaskan bahwa untuk mampu melaksanakan tugas profesionalnya dengan baik, seorang guru harus memiliki empat kompetensi inti yakni: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Ini menjadi poin penting kompetensi yang harus dimiliki oleh segenap pendidik di tanah air.
As’adut Tabi’in dalam Jurnal Al-Thariqah dengan judul ‘Kompetensi Guru dalam Meningkatkan Motivasi Belajar’ mengurai tentang kompetensi guru meliputi, pertama, kompetensi kepribadian mencakup kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berahlak mulia. Dalam berbagai kesempatan, Kiai Siddiq menghimbau kepada seluruh pendidik di lingkup Yayasan Pondok Pesantren Nurul Islam untuk menjadi uswatun hasanah bagi para santri. Uswatun hasanah yang dimaksud adalah bagaimana seorang guru dalam bertindak dan bertutur kata yang baik dan menjaga muru’ah-nya sebagai pendidik. Tidak sampai disitu saja, kompetensi kepribadian ini juga terintegrasi dengan bagaimana guru dalam bertindak sesuai norma hukum, bertindak sesuai dengan norma sosial, bangga sebagai guru, menunjukkan keterbukaan dalam berpikir-bertindak dan menampilkan kemandirian sebagai pendidik serta memiliki etos kerja sebagai guru dalam wujud tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat.
Kedua, kompetensi pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi pedagogik seringkali menjadi titik tekan bagaimana seorang guru mampu menghasilkan karya inovasi dan kreatifitasnya dalam bentuk prodak/modul. Dalam perkembangannya, esensi dari kompetensi pedagogik adalah bagaimana pendidik dalam lingkup Yayasan Pondok Pesantren Nurul Islam mampu memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif dan kepribadian, mengidentifikasi bekal ajar awal peserta didik, dan mengembangkan potensi peserta didik untuk diaktualisasikan dalam pelatihan minat-bakat, memiliki indikator esensial: memfasilitasi peserta didik untuk pegembangan berbagai potensi akademik, dan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi non akademik.
Ketiga, kompetensi profesional yang mencakup aspek bagaimana seorang guru menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang mencakup penguasan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya serta penguasan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya. Oleh sebab itu, kompetensi profesional juga menekankan pada bagaimana pendidik menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan/materi bidang studi secara profesional dalam konteks globalisasi saat ini.
Keempat, Kompetensi sosial yang memuat kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Dalam kompetensi ini, muncul beberapa sub yaitu mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, mampu berkomunikasi dan bergaul secara efekif dangan sesama pendidik dan tenaga kependidikan dan mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dangan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Inilah yang saya sebut bahwa Kiai Siddiq mempunyai kepedulian yang tinggi pada perkembangan-pengembangan pendidikan Islam secara makro dengan kompetensi guru yang dicetuskannya. Konsepsi yang digagas oleh Kiai Siddiq menjadi landasan reflektif-filosofis untuk pendidik secara makro khususnya pendidik yang berkecimpung dalam dunia pesantren di tanah air. Wallahu A’lam
*Qurrota A’yunin, Staff Pengajar di Yayasan Pondok Pesantren Nurul Islam Pungging Mojokerto