Oleh: Chubbi Syauqi
Keinginan dan Penderitaan
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam perjalanan hidup, kita seringkali mengalami berbagai macam hal yang tak menyenangkan. Seperti: kegagalan bercinta, masalah keluarga, konflik dengan teman, problem pekerjaan, sampai masalah-masalah sepele semacam: kemacetan lalu lintas, kendala cuaca dan sebagainya bisa merubah hidup seseorang. Kehidupan manusia pada hakikatnya selalu dijejaki oleh keinginan-keinginan untuk kebahagiaan. Namun, menurut Ki Ageng Suryomentaram, kebahagiaan dan penderitaan menjadi siklus hidup yang pasti dialami oleh manusia. Raos bungah (bahagia) dan raos susah (penderitaan) menurut Ki Ageng Suryomentaram mulur-mungkret (mengembang menyusut). Orang akan merasa bungah (bahagia) bila karep (hasrat/keinginan) tercapai. Karep (keinginan) bila tercapai akan mulur dan mulur (mengembang) terus sampai karep (keinginan) tersebut tidak tercapai lalu menjadi mungkret (menyusut). Jadi, menurut Ki Ageng Suryomentaram bungah (bahagia) itu sifatnya sementara. Sedangkan susah (penderitaan) yang dialami manusia merupakan karep (keinginan) yang tidak tercapai dan akan mungkret (menyusut). Pengertian ini mesti kita pahami sungguh-sungguh agar kita dapat hidup lebih bermakna. Oleh karenanya, meski sudah banyak keinginan tercapai, akan bahagia sebentar. Sebaliknya bila keinginan kita tak terwujud, jangan merasa sedih, karena itu hanya sementara. Jadi, pemikiran bahwa jika keinginan tercapai mendatangkan kebahagiaan, dan jika tak tercapai mendatangkan susah jelas salah. Meskipun sifat keinginan adalah untuk dipuaskan, dituruti, dan untuk mencari kesenangan.
Salah satu contoh hal sepele tentang karep (keinginan) yang saya temukan dalam hidup saya misalnya, ketika saya pada saat kuliah ingin makan siang dengan nasi padang, padahal uang jajan yang saya miliki pas-pasan dan untuk kebutuhan yang lain. Pada saat terpikir untuk memaksa membeli nasi padang, saya akan merasa: “hari ini gimana caranya harus bisa makan nasi padang, jika tidak maka saya akan kelaparan (menderita)”. Padahal, jika saya tak makan nasi padang, saya bisa makan nasi rames yang jauh lebih bersahabat dengan uang jajan saya. Ketika saya dapat berpikir semacam itu, saya merasakan kelegaan hati. Begitu juga jika keinginan tak terpenuhi maka, tak akan menyebabkan penderitaan, penyesalan, atau celaka selamanya. Contoh lain jika keinginan kita tak terwujud, kita juga tak akan merasa bahagia selamanya. Seperti contoh: ketika seorang pria mendekati salah seorang wanita untuk dijadikan kekasih (pacar) dan berpikir akan bahagia bersamanya. Maka si pria tersebut akan berpikir menjadi kekasihnya untuk bahagia selamanya. Jika keinginan itu terlaksana, ia pun tidak akan sungguh-sungguh bahagia, melainkan hanya akan mengalami kebahagian semu (tidak lama). Si pria akan segera mengalami berbagai kesusahan (penderitaan) dalam jalinan asmara seperti sering mengalami pertikaian, egois, mood yang labil, bahkan hingga putus hubungan. Jadi, benar apa yang diwejangkan oleh Ki Ageng Suryomentaram bahwa bungah-susah (senang dan susah) adalah pasangan yang abadi. Tak ada kebahagiaan tanpa penderitaan, dan sebaliknya tak ada penderitaan yang tak berganti segera dengan kebahagiaan. Keduanya merupakan pasangan yang langgeng, yang abadi.
Kebahagian dan Quarter Life Krisis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahagia diartikan sebagai keadaan senang dan tentram (bebas dari sesuatu yang menyusahkan). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa bahagia adalah suatu keadaan dan bukan benda. Sedangkan kebahagiaan berarti kesenangan atau ketentraman itu sendiri. Secara harafiah bahagia atau kebahagiaan merupakan suatu keadaan. Dalam fase hidup manusia, semakin manusia tumbuh dewasa maka karep (keinginan) semakin banyak dan meningkat. Terutama ketika menginjak umur 20-30 tahun, seseorang akan menghadapi kehidupan baru yang lazim disebut quarter life crisis (krisis seperempat abad). Pada tahap quarter life crisis seseorang akan mengalami kegalauan akan hidupnya yang terasa monoton, khawatir berlebihan tentang masa depan dan menyesali serta mempertanyakan keputusan hidup yang diambil. Potret quarter life crisis tersirat dalam lagu “Idgitaf- Takut Tambah Dewasa” terutama pada lirik “Aku sudah dewasa, Aku sudah kecewa, Memang tak seindah yang kukira”. Saya menangkap desir tentang kesusahan (penderitaan) dalam menapaki kedewasaan (quarter life crisis). Dalam beberapa bait liriknya tersirat preposisi: Di usia dewasa aku tak dapat mewujudkan mimpi-mimpi yang aku cita-citakan, aku gagal dan tenggelam dalam kekecewaan. Keadaan ini selaras dengan apa yang saya tengah rasakan.
Persentuhan dengan Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram
Untungnya saya cepat menyadari keadaan tersebut dan bertemu dengan kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Pemikiran Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram lahir dari perjalanan hidup dan buah pemikiran oleh Ki Ageng Suryomentaram, yang berusaha mengatasi kecemasan eksistensial yang melanda hidup dan jiwanya. Ki Ageng Suryomentaram (1892-1965), merupakan pangeran muda keturunan HB VII yang hidup bergelimang kekayaan dan kenyamanan. Namun, ia justru dirundung penderitaan dan ketidakpuasan hidup karena hingga saat itu ia merasa tidak pernah bertemu dengan orang (seprana-seprene ora tau kepethuk wong). Kawruh jiwa dapat disimpulkan sebagai pengetahuan rasional yang “tersusun oleh elemen-elemen penopangnya: dibangun di atas basis material, dikerangkai oleh corak penalaran, serta dilekati oleh fungsi-fungsi tertentu. Sehingga sebagai sebuah sistem pengetahuan, pemikiran Ki Ageng (Kawruh Jiwa) dapat dipahami menurut ukuran-ukuran yang lazim dilekatkan pada ilmu pengetahuan (rasional) secara umum.Ketakutan (penderitaan) dalam quarter life crisis ternyata berasal dari karep (keinginan) yang menurut Ki Ageng Suryomentaram karena mengejar semat, drajat, kramat. Mencari semat artinya mencari kekayaan, keenakan, dan kesenangan. Mencari drajat sama halnya mencari keluhuran, kemuliaan, kebanggaan, keutamaan. Sedangkan mencari kramat adalah mencari kekuasaan, kepercayaan agar disegani dan dipuji. “Sudah di kepala dua, harus mulai dari mana? ambisiku bergejolak, antusias tak karuan. banyak mimpi-mimpi yang ‘kan kukejar” begitu kata lirik lagu Idgitaf-Takut Tambah Dewasa.
Kawruh Begja Ki Ageng Suryomentaram
Pada kondisi semacam ini, menurut Ki Ageng Suryomentaram sesorang menjadi “ngaya-ngaya” (mati-matian dalam memperoleh memenuhi karep-nya sehingga menjadi kemrungsung (tergesa-gesa). Ki Ageng Suryomentaram, memberikan wejangan agar seseorang hidup tentram, yakni merasakan rasa hidup yang sesungguhnya. Oleh Ki Ageng Suryomentaram memberi nama prinsip enam sa: sakepenake ( seenaknya/senyamannya), sabutuhe (sebutuhnya/sesuai kebutuhan), saperlune (seperlunya), sacukupe (sacukupnya), samesthine (semestinya), sabenere (sebenarnya). Dengan menjalani kehidupan yang enam sa tadi, diharapkan manusia tidak berlebihan, dan senantiasa menyikapi bagian dari hidup ini dengan sewajarnya dan waspada. Sebagai contoh, salah seorang mahasiswa yang berasal dari keluarga pas-pasan tengah berkuliah di suatu perguruan tinggi. Karena ia, berasal dari keluarga pas-pasan maka uang jajan yang ia miliki terbatas dan penampilannya pun biasa-biasa saja. Apabila ingin tampil lebih keren, maka ia perlu merogoh kocek untuk membeli fashion yang mahal, sedangkan kebutuhan pokok kuliah mesti dipenuhi. Misalkan, ketika menginginkan baju yg nge-trend, menurut individu tersebut baju tersebut kurang goodlooking, tapi masih layak pakai. Namun, ia lebih membelanjakan uangnya untuk kebutuhan pokok kuliah seperti membeli buku (sabutuhe), sedangkan bagi mahasiswa itu sendiri menggunkan pakaian yang dulu tak masalah, yang ia dahulukan adalah kebutuhan akademik. Pilihan rasional mahasiswa tersebut adalah kekhawatiran akan jerih payah orang tuanya dalam membiayai kuliah untuk menjadi seorang sarjana.
Sabutuhe, saperlune, dan sacukupe artinya dapat membatasi hidupnya untuk tidak sampai pada berlebih-lebihan. Sakapenake memiliki makna tanpa harus memaksa diri, tidak ngaya-ngaya, semua tindakan dilakukan dengan nyaman. Sabenere, samestine memiliki makna dilakukan dengan cara yang benar, adil, dan sesuai dengan aturannya. Menurut Ki Ageng Suryomentaram, kebutuhan merupakan sesuatu yang mendasar dan harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sedangkan keinginan bukanlah sesuatu yang mutlak harus dipenuhi. Pokok dari ajaran Kawruh Jiwa Ki Ageng yakni Kramadangsa (aku dan karep). Kramadangsa berorientasi pada rasa sebagai “aku” untuk senantiasa mencapai kebahagiaan/keenakan hidup dari karep (keinginan). Kramadangsa lahir dari kehidupan kita sehari-hari berupa catatan-catatan keinginan yang tertangkap pancaindra. Kegelisahan dan kebingungan pada fase quarter life crisis yang banyak dialami anak muda, saya kira berkaitan erat dengan kramadangsa masing-masing individu. Untuk menyembuhkan kegelisahan dari kramadangsa, seseorang dapat menghidupkan bagian jiwa lainnya yakni “aku bukan kramadangsa”. Seperti contoh, pada acara buka bersama kita bertemu dengan teman-teman kita yang kebetulan sudah bernasib baik (kerja) dan bahkan punya pacar hehe. Sedangkan diri kita masih belum bekerja (mencari uang) tengah berkuliah dan jomblo pula. Catatan ini semula biasa-biasa saja, tak lebih dari catatan yang direkam oleh mata kita. Namun, ketika keinginan kita ikut mencatatnya, peristiwa ini menjadi tidak netral lagi.
Keinginan kita kemudian mencatatnya sebagai manifestasi kebahagiaan, kesenangan, kemakmuran dan lain-lain. Dari peristiwa itu, terbesit dalam diri kita keinginan seperti mereka, lalu kita membandingkan hidup kita dengan mereka, akhirnya kita pun merasa kecewa, gelisah, dan takut dengan masa depan kita seperti apa. Jika sudah sampai tahap semacam itu, yang tengah kita rasakan adalah tercemarnya catatan netral oleh keinginan kita (kramadangsa). Untuk memulihkannya, kita harus menghadirkan “aku kramadngsa” sehingga kita dapat menilai catatan-catatan kita dengan lebih hati-hati. Prasangka dan perasaan kita akan seperti ini: “Memang untuk saat ini aku belum bekerja, masih menyandang status mahasiswa. Menjadi mahasiswa merupakan kesempatan yang tidak banyak dialami oleh teman-temanku. Aku bersungguh dalam kuliah, agar aku menjadi sarjana yang dapat membahagiakan kedua orang tua ku dan nanti mudah dalam mencari pekerjaan”. Dalam perjalanan hidup yang tengah saya tempuh, saya menjadikan Kawruh Ki Ageng Suryomentaram sebagai pedoman tentang kehidupan itu sendiri, yakni sebuah ilmu kehidupam tentang bagaimana proses penemuan jatidiri (aku dan karep ) hingga bagaimana menemukan kebahagiaan.
Chubbi Syauqi lahir di Banyumas, 1 Maret 2000. Dia tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Tarbiyah, Prodi Manajemen Pendidikan Islam UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto. Dia terdaftar sebagai kader HMI Cabang Purwokerto Komisariat Agussalim dan tergabung anggota Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) Purwokerto.