KH Hasyim Asy’ari –selanjutnya ditulis Hadratussyaikh– menjadi tokoh sentral dinamika pergerakan di Indonesia. Pergerakan menegakkan syiar Allah dengan segala resiko perjuangan bahkan konsekuensi pahit sekalipun diterima. Perjuangan menegakkan nilai nilai islam melalui jalur pendidikan pesantren Tebuireng. Pergerakan dimulai dengan cobaan demi cobaan luar biasa lebih-lebih sisi perkawinanya dengan putri beberapa kiai di Jawa Timur. Di sisi lain, Hadratussyaikh menjadi penentu awal salah satu tokoh kunci lahirnya NU dan dinamika keilmuan Indonesia pada masanya. Hadratussyaikh menjadi ulama pakar hadist yang diperoleh dari gurunya ketika mencari ilmu di Hijaz/Makkah melalui Syaikh Mahfud al Tarmusi, ulama asal Termas, Indonesia. Dari Syaikh Mahfud al Tarmusi, Hadratussyaikh memperoleh sanad keilmuan di bidang hadits bahkan kelak menjadi sang maestro hadits Indonesia. Tentunya, kepakaran Hadratussyaikh tidak lepas dari keringat perjuangannya dalam mencari ilmu di Makkah.
Hadratussyaikh mampu menghadirkan wajah islam dengan sinergitas adat maupun budaya setempat. Dari tangan Hadratussyaikh, ajaran islam melalui perantara walisongo terus diamalkan sampai ke pelosok desa hingga sekarang. Di sisi lain, Hadratussyaikh menjadi salah satu ulama nusantara yang mendunia, terbukti dari banyaknya Negara dan ulama yang mengakuinya bahkan dari kalangan orientalis juga memberikan apresasi positif pada ulama asal jombang ini.
Di Indonesia (Harits, 2010) yang namanya tradisi islam sering dikaitkan dengan budaya lokal yang bernuansa Hindu Budha dan agama adat. Emosi dan identitas lokal ini memperoleh penguatan misalnya peringatan tiga, tujuh dan empat puluh hari kematian seseorang, tradisi ketupat dan mudik pada hari raya fitri dan sebagainya. Pendeknya, islam tidak pernah sepi dijadikan objek kajian dengan berbagai macam kepentingan dan cara pandang. Oleh karenanya, setiap pengkategorian islam pasti memiliki kebenaran sekaligus kelemahan.
Adat dan tradisi yang begitu kental menjad fokus tersendiri dalam pemkiran Hadratussyaikh. Tidak salah ketika orang yang mengikuti paham dan laju pemikirannya sangat menghargai eksistensi budaya maupun tradsi yang ada di Jawa atau Nusantara. Oleh karenanya, prinsip Al Muhafadatu Ala Qadimi Al Sholeh Wa Akhdu Bi Jadidi Al Ashlah menjadi garda terdepan mengawal tradisi agar tidak keluar dari ajaran islam. Dari sinilah, Hadratussyaikh ingin menghargai budaya setempat tanpa meninggalkan ajaran islam lebih lebih hukum islam yang sudah terpatri dalam jiwa raganya.
Landscape pemikiran Hadratussyaikh meliputi banyak bidang keilmuan. Diantaranya eksistensi fraksis teologis pada zaman klasik yang mengupas tuntas tentang Asy’ariah, Maturidah, Mu’tazilah, Khawarij, Jabariyah atau Syi’ah. Kemudian Hadratussyaikh memberikan fokus kajiannya pada aspek sufisme islam, legal formal fiqh yang mencakup ijtihad, pemikiran politik berlandaskan Fiqh Siyasiy dan urgensitas taqlid serta etika santri mencari ilmu. Semuanya tercakup dalam buku antologi karyanya yang berjudul Irsyadu Al Saariy yang disunting oleh KH Ishom Hadhiq.
Di sisi lain, (Khuluq, 2008) mengurai tentang pentingnya pengaruh Hadratussyaikh dalam pemikiran keagamaan islam di Nusantara. Pengaruh pemikiran keagamaan Hadratussyaikh tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, ide ide beliau yang dikemukakan dalam tulisan pada karyanya kurang berpengaruh dibandingkan dengan yang disampaikan di pidato-pidato. Pengaruh tulisan hanya terbatas pada muslim tradisional khususnya masyarakat pesantren pada masa awal publikasinya. Hal ini dimungkinkan karena dua faktor. Pertama, karya tulis beliau lebih banyak mengupas tentang aspek teologis maupun ilmu agama murni seperti sufisme dan fiqh yang merupakan hal yang biasa digeluti oleh kalangan tradisionalis. Kedua, karya karya ini ditulis dalam bahasa arab atau jawa dengan huruf arab atau dikenal dengan pegon. Penggunaan bahasa arab mempunyai pengaruh yang cukup penting untuk menarik minat pembaca dari kalangan masyarakat pesantren yang lebih menghargai bahasa arab daripada bahasa lain. Sebaliknya, pidato Hadratussyaikh berpengaruh pada masyarakat yang lebih luas termasuk muslim modernis-nasionalis sekular. Hal ini dikarenakan pidato tersebut sering kali dipublikasikan di surat kabar dalam bahasa melayu (Indonesia) yang menjadi bahasa nasional masyarakat Indonesia (Lingua Franca).
Dalam pada itu, kalau kita amati pengaruh Hadratussyaikh sangat kuat di kalangan pesantren secara langsung karena jargon utamanya adalah melestarikan ajaran islam melalui kitab kuning. Tetapi, tidak menutup kemungkinan Hadratussyaikh mempunyai cara tersendiri sampai saat ini belum ditemukan tentang bagaimana mendidik masyarakat yang tidak mengenyam pendidikan pesantren. Mungkin bisa dengan kumpulan-kumpulan orang dengan polesan adat dibarengi penanaman nilai islam sehingga nuansa pemahaman keislaman masyarakat Hindu-Budha sangat kental dalam diri masing masing individu. Pemahaman model gerakan kultural lebih massif diimplementasikan dengan tidak menghilangkan pendekatan struktural melalui ngaji di pesantren Tebuireng atau pesantren yang berafiliasi dengan Tebuireng.
Sehingga tidak heran Bahkan sampai saat ini (Khuluq, 2008) pemikiran masih dikagumi dan dijadikan rujukan paling otoritatif oleh ummat islam. Kitab maupun pidatonya terus dipublikasikan dan sebagian sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu, pengaruh beliau kepada murid, pengikut, ataupun keturunan beliau masih cukup kuat.
Dengan kealiman yang dimiliki, Hadratussyaikh memberikan pijakan yang berlandaskan al qur’an dan hadits tentang banyak hal. Salah satu yang sangat esensial adalah bagaimana Hadratussyaikh memberikan gambaran berbeda posisi perempuan secara universal mengacu pada kalam kalam kanjeng Nabi. Perempuan mendapatkan porsi lebih di mata beliau hingga gagasan tentang kesetaraaan gender diinterpretasi dengn apik lebih-lebih ketika perempuan dikonfrontasikan dengan pendidikan. Pendidikan menjadi penentu bagaimana perempuan ke depannya karena perempuan adalah sekolah bagi anak-anaknya kelak. Bahkan, tidak menutup kemungkinan tiang Negara dibangun dengan perasan keringat perempuan dibalik suksesnya Founding Fathers Negara.
Hadratussyaikh (Mukminin, 2016) memandang perempuan tidak hanya sebagai Konco Wingking yang tidak mempunyai peran terlebih dalam masalah pendidikan. Beliau sangat memperhatikan masalah tersebut bahkan perempuan mempunyai tempat khusus di mata Hadratussyaikh. Menurut KH Ishom, Hadratussyaikh menganggap bahwa perempuan sebagaimana di sebut oleh Kanjeng Nabi sebagai Imad daulah (Tiang Negara). Konsep tersebut diucapkan ketika berlangsungnya muktamar bahkan tidak sedikit kiai yang menentang dan tidak sepaham serta menggugat gagasan tersebut. Namun, dengan bakat intelektual serta kealiman Hadratussyaikh, kemuskilan yang sempat tumbuh bisa dijawab dengan lugas dan tegas dengan data historis dan dalil dalil yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Ide tersebut diabadikan dalam karya beliau yang berjudul Ziyadut Ta’liqat.
Disinilah pendidikan gender secara tidak langsung ditanamkan oleh Hadratussyaikh. Kesetaraan dalam memperoleh pendidikan menjadi argumentasi yang tidak kalah penting tanpa meninggalkan data data historis yang mendukung. Tentunya, perbedaan pendapat menjadi keniscayaan tak terbantahkan saat itu. Hadratussyaikh mengajari tentang arti kesetaraan dalam perspektif pendidikan dengan tidak memandang laki laki sebagai pihak superior sedangkan perempuan sebagai inferior. Tetapi, amat sangat disayangkan, kesetaraan yang digaungkan oleh Hadratussyaikh semakin memudar dengan minimnya pemahaman oknum pesantren yang kurang komprehensif tentang perempuan di mata pesantren bukan dilihat dari memperoleh pendidikan An Sich. Tetapi, dari bagaimana tonggak estafet kepemimpinan perempuan bisa difahami secara proporsional komprehensif.
Ala kulli hal, Hadratussyaikh mengajari kita semua tentang banyak hal. Mulai keislaman, politik kebangsaan, kesetaraan perempuan, urgensitas pendidikan sebagai langkah maju mengenyam peradaban, pentingnya fiqh sebagai aturan ummat muslim melangkah mencari Ridho Ilahi dan etika pencari ilmu serta sosialisasi yang dibutuhkan demi ilmu pengetahuan. Semoga, kita semua mampu meneladi ibrah yang melekat pada diri Hadratussyaikh sekaligus pemahaman yang utuh untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah dan bermartabat. Wallahu A’lam.
Daftar Pustaka
Harits, A. B. (2010). Islaam NU: Pengawal Tradisi Sunni Indonesia. Surabaya: Khalista.
Khuluq, L. (2008). Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: LKiS.
Mukminin, A. (2016). Hadratusy Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari al Jombangi. Yogyakarta: Global Press.