Oleh: Ali Mursyid Azisi*
KH. Hasan Abdillah merupakan salah satu Ulama sekaligus waliyullah berpengaruh di Banyuwangi (1929-2012), lahir dari keturunan orang-orang salih. Lebih lengkapnya nama beliau yaitu: Hasan Abdillah bin Achmad Qusyairi bin Shiddiq (Mbah Muhammad Shiddiq Jember) bin Abdulla bin Sholeh bin Asy’ari bin Adzro’i bin Yusuf bin Abdur Rahman Basyaiban yang akrab dengan julukan Mbah Sambu atau juga Raden Syihabuddin Sambu Digdodiningrat.
Terdapat cerita menarik semasa perjalanan Nyantri Kiai Hasan Abdillah, bagi kalangan yang memiliki ciri-ciri kewalian dan akan menjadi Ulama besar sedari dini pun telah ditampakkan oleh-Nya. Sebelum nyantri di beberapa pesantren, Kiai Hasan berguru pada abahnya sendiri (KH. Achmad Qusyairi). Pengakuan KH. Musthafa Hilmi (putra sulung Kiai Hasan), setelah itu Kiai Hasan menempuh pendidikan di beberapa pesantren di Jawa Timur.
Pesantren pertamanya adalah pesantren penghafal Qur’an yang berlokasi di Sidayu, Gresik, dahulu diasuh oleh KH. Munawwar (salah satu ahli Al-Qur’an). KH. Munawwar sendiri merupakan salah seorang karib dari KH. Munawwir Yogyakarta, KH. Yusuf Hasyim, dan KH. Adnan Ali yang termasuk salah satu seniornya.
Selanjutnya Kiai Hasan Abdillah lanjut mengenyam pendidikan di Pesantren Tebuireng, Jombang, yang ketika itu di asuh langsung oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Seperti santri-santri yang lain, Hasan Abdillah muda mendapat perlakuan yang sama sebagai seorang santri.
Setelah dari Tebuireng, Kiai Hasan Abdillah melanjutkan nyantrinya ke Sampang, Madura. Dalam riwayat pendidikan di pulau Madura ini, menurut Kiai Musthafa Helmy selaku putranya belum diketahui persisnya Kiai Hasan Abdillah mengenyam pendidikan di Pesantren/pondok apa, dikarenakan lupa.
Akan tetapi, yang pasti menurut Kiai Washil, Kiai Hasan ketika mau nyantri salah satu pesantren di daerah Sampang sempat ditolak, karena pengasuh pesantren yang dituju Kiai Hasan sudah mengetahui bahwa beliau adalah putra dari KH. Achmad Qusyairi.
Lalu, dalam kisah yang diceritakan Kiai Washil Hfdzi Haq (salah satu putra Kiai Hasan), ketika baru saja datang, pengasuh pesantren pertama yang dituju Kiai Hasan memerintahkan salah satu santrinya untuk mengantakannya ke terminal untuk pulang.
“Nika’ ghi, keangggui pleman (ini ya, buat pulang)” tutur Kiai tersebut dengan memberi uang saku kepada Kiai Hasan muda,
“Terragih ka terminal (antarkan ke terminal)” lanjut tutur Kiai tersebut dengan menyuruh salah satu santrinya untuk mendampingi Kiai Hasan muda ke terminal,
“Loh mboten pun, kulo ajenge ngaji (Loh tidak, saya mau ngaji Kiai)” tutur Kiai Hasan,
“Mboten pun, cekap pun, nyuwun sewu wangsul mawon (Tidak, ilmumu sudah cukup, mohon maaf pulang saja ya” kembali tutur Kiai tersebut.
Karena Kiai Hasan tidak diperbolehkan nyantri di pesantren tersebut, lalu ketika di terminal Kiai Hasan bertanya-tanya tentang pondok pesantren tahfidz terdekat kepada beberapa orang sekitar. Dari situ ternyata ada salah satu pesantren tahfidz kecil yang tidak jauh dari pondok yang dituju sebelumnya sesuai dengan yang diharapkan Kiai Hasan. Pada akhirnya Kiai Hasan muda nyantri di pondok tersebut.
Meski begitu dalam beberapa kesempatan Kiai Hasan kerap beberapa kali berkunjung ke pondok pesantren yang sebelumnya dituju. Ketika dari kejauhan melihat Kiai Hasan, pengasuh pesantren pertama yang menolak Kiai Hasan langsung seketika mengakhiri pengajiannya bersama santrinya.
“Wes, mareh lah ngajinah (sudah, selesai ngajinya)” tutur Kiai tersebut ketika melihat Kiai Hasan kembali datang.
Kemudian Kiai Hasan Abdillah melanjutkan belajar kepada KH. Muhammad Hasan (pengasuh kedua) Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo. Selain dikenal sebagai santri yang pandai dan tawadu, beliau juga begitu gigih dalam menuntut ilmu dan ibadah.
Kiai Hasan Abdillah di Pesantren Genggong konon menggeluti tiga mata pelajaran, di antaranya yaitu ilmu fiqih, tasawuf, dan juga ilmu falak. Perlu diketahui juga, bahwa abah dari Kiai Hasan juga ahli ilmu falak. Jadi sangat mungkin kalau Kiai Hasan juga berguru pada abahnya terkait ilmu falak (astronomi).
Untuk pertama kalinya Kiai Hasan Abdillah didatangi Nabi Muhammad secara langsung tanpa melalui media mimpi yaitu ketika beliau masih mengenyam pendidikan di pesantren Genggong, Probolinggo, yang waktu itu diasuh oleh KH. Mohammad Hasan. Ketika di Pesantren Genggong, Kiai Hasan dikenal sebagai seorang santri yang suka mengamalkan ilmu-ilmu sakti yang tidak masuk akal.
Pada suatu ketika, Kiai Washil selaku salah satu putranya menceritakan bahwa sempat Kiai Hasan menjadikan salah seorang temannya objek permainan ilmu saktinya waktu itu, yakni dengan merubah kepribadiannya seperti monyet dan lainnya. Sehingga gedek atau dalam bahasa Madura-nya disebut dengan tabing dirusak, dan membuat heboh satu pesantren.
Kabar itu sampai kepada Syaikh Hasan Genggong dan beliau pun segera mencari keberadaan Kiai Hasan muda ke kompleks kamar santri. Dengan rasa ketakutan Kiai Hasan Abdillah muda di bilik kamarnya:
“Abdillah, kesini lah” panggil Kiai Hasan Genggong
Kemudian keluarlah Hasan Abdillah muda menemui gurunya. Setelah itu Kiai Hasan Genggong menggandeng lengan kiri Kiai Hasan muda dan membawanya pergi dari kompleks kamar santri. Secara mata telanjang memang yang menggandeng dan membawa Kiai Hasan pergi hanyalah Kiai Hasan Genggong, akan tetapi hal ini diceritakan langsung oleh Kiai Hasan Abdillah kepada rekannya bahwa ada satu lagi yang menggandeng lengan kanannya, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Setelah itu, KH. Hasan Abdillah mendapat wejangan dari salah satu Maha Gurunya demikian:
“Sudah ya, ilmu itu dibuang, diganti sholawat saja” tutur KH. Mohammad Hasan, Genggong.
Sejak saat itu KH. Hasan Abdillah tidak lagi menggunakan ilmu-ilmu nyeleneh dan menggantinya dengan mengamalkan sholawat dari Kiai Mohammad Hasan. Dalam riwayat pun yang diceritakan Kiai Washil Hifdzi Haq ketika penulis wawancara bersama beliau di kediamannya, banyak amalan sholawat Kiai Hasan Abdillah yang bersanad kepada Kiai Mohammad Hasan, Genggong, salah satunya adalah hasbunallah wa nikmal wakil.
Dari pengakuan para alumni, dan banyak orang bahwa apa yang diijazahkan tersebut bisa mengatasi berbagai masalah kehidupan dan merubah kondisi batin menjadi tenang. Pengamalan ijazah tersebut mulai dari 450, 900 sampai 9000 kali dalam satu hari. Jika mengamalkan ijazah Hasbunallah wa nikmal wakil 9000 kali dalam satu kali duduk di satu malam, maka dipercaya apa yang menjadi hajat orang tersebut keesokan harinya akan terpenuhi.
Akan tetapi, dalam mengamalkan ijazah sebanyak 9000 kali tersebut, tentu ada syarat yang harus dipenuhi. Syaratnya adalah dibolehkan minum ketika sedang mengamalkan, boleh selonjor jika kaki kesemutan, akan tetapi posisi duduk bersila tidak boleh berubah/bergeser sedikitpun.
Untuk mencapai jumlah 9000 tentu tidak mudah. Akan tetapi jika dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, insyaallah apa yang menjadi hajat akan dikabulkan oleh Allah SWT.
*Ali Mursyid Azisi
(Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. Alumni PP Minhajut Thullab, Krikilan, Glenmore, Banyuwangi, Pesantren Mahasiswa Al-Husna, Surabaya. Saat ini menggeluti dunia penulisan artikel ringan dan jurnal ilmiah)