Oleh: Akbar Kolisudin, Guru Ngaji, Jamaah NING NU (Jamaah Muhibbin Ning Atikoh Ganjar Nusantara)
Halaman Pondok Pesantren Riyadlotus Sholihin, Kalijaran, Purbalingga, dipadati para jamaah yang hadir di acara Haul KH. Hisyam bin Abdul Karim pada Senin (30/10/2023). Acara tahunan itu memiliki daya tarik bagi masyarakat Jawa Tengah, terlebih masyarakat Purbalingga. Mereka tentunya memiliki banyak kenangan terhadap Simbah Kiai Hisyam bin Abdul Karim sehingga hadir di Haul beliau. Tak hanya itu, banyak pengasuh pesantren di daerah Banyumasan turut hadir dalam acara tersebut, termasuk KH. Ahmad Jailani, Pengasuh Pesantren Syifa’ul Qulub, Banten. Beliau memiliki hubungan kekeluargaan dengan Simbah KH. Hisyam bin Abdul Karim.
Beliau mengungkapkan sisi kesederhanaan Mbah Hisyam Kalijaran. “Mbah Hisyam itu orangnya sangat sederhana, Mas. Pesan Mbah Hisyam yang masih saya ingat sampai sekarang itu yang disampaikan oleh nenek saya: “Jangan merasa diri lebih baik daripada yang lain.” Itu yang saya ingat. Lha, kalau dijabarkan ya sangat Panjang, kan, Mas? Itu saya angen-angen (renungi) sampai sekarang. Pokoknya, kalau diringkas, akhlak beliau itu mencerminkan nilai-nilai tasawuf,” terang KH. Ahmad Jailani pada Senin (30/10/2023) saat wawancara di salah satu rumah keluarga Mbah Hisyam Kalijaran.
Saya mencoba menggali beberapa dalil tentang larangan merasa diri lebih baik dari orang lain. Walhasil, ada banyak sekali yang saya temukan, salah satunya adalah ayat al-Qur’an, surat an-Najm ayat 32:
ٱلَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلْإِثْمِ وَٱلْفَوَٰحِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَٰسِعُ ٱلْمَغْفِرَةِ ۚ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَإِذْ أَنتُمْ أَجِنَّةٌ فِى بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمْ ۖ فَلَا تُزَكُّوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)-mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sadi, dalam Tafsir as-Sa’di, menafsiri ayat berikut: Kemudian Allah menggambarkan ciri-ciri mereka dengan mengatakan, “Mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji,” yang artinya mereka tunduk kepada perintah-perintah Allah dengan melaksanakan berbagai kewajiban yang, jika ditinggalkan, termasuk dosa besar. Mereka juga menjauhi perbuatan terlarang seperti zina, konsumsi minuman keras, penerimaan riba, tindakan kekerasan, dan dosa-dosa besar lainnya. Selain itu, mereka tidak terjerumus dalam kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan sporadis atau yang diingkari oleh pelakunya berkali-kali, meskipun dengan frekuensi yang minim. Meskipun melakukan dosa-dosa kecil demikian, bukan berarti mereka keluar dari golongan orang-orang yang berbuat baik. Sebab, menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan berada di bawah cakupan ampunan Allah yang meliputi segala hal. Inilah sebabnya Allah menegaskan, “Sungguh, Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya.” Tanpa ampunan-Nya, negeri dan manusia akan hancur. Tanpa pemaafan dan kesabaran-Nya, langit akan runtuh menimpa bumi, dan tidak ada satu pun makhluk hidup yang dibiarkan bertahan.
Allah kemudian berfirman, “Dan Dia lebih mengetahui tentang keadaanmu ketika Dia menciptakanmu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam rahim ibumu.” Ini berarti Allah mengetahui sepenuhnya kondisi dan kelemahan kalian yang ada sejak awal penciptaan dari tanah dan selama kalian masih berada dalam kandungan ibu kalian. Sifat lemah ini melekat pada kalian, kendati Allah memberikan kekuatan untuk menjalankan perintah-Nya. Oleh karena itu, Allah, yang mengetahui kondisi kalian, dengan hikmah dan kemurahan-Nya, meliputi kalian dengan rahmat, ampunan, dan kebaikan-Nya. Allah menghapus kejahatan dan dosa dari diri kalian, terutama bagi hamba yang tekun mencari keridhaan-Nya sepanjang waktu dan berusaha menjauhi dosa yang dapat menimbulkan kemurkaan-Nya. Dalam proses ini, Allah memberikan pengampunan bertahap, karena kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya melebihi kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya. Oleh karena itu, orang semacam ini pasti mendekati ampunan dari Tuhan mereka, dan Allah senantiasa mengabulkan doa mereka setiap saat.
Allah Swt. berfirman, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci,” artinya kalian menceritakan kesucian diri kalian kepada orang-orang dengan maksud memuji diri kalian sendiri di hadapan mereka, “Dia-lah Yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa,” karena takwa itu bertempat di hati dan Allah lah yang mengetahuinya serta membalas kebaikan dan ketakwaan yang ada dalam hati, sedangkan manusia sama sekali tidak berguna bagi kalian dari siksaan Allah.
Selain itu, pesan Mbah Hisyam tersebut selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمُ اللَّهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ
“Janganlah menyatakan diri kalian suci. Sesungguhnya Allah yang lebih tahu manakah yang baik di antara kalian.” (HR. Muslim no. 2142).
Dalam istilah Jawa, kita sering mendengar “Biso o rumongso, ojo rumongso biso.” (Jadilah orang yang bisa sadar – menyadari kekurangan, jangan jadi orang yang merasa bisa). Sebab semua manusia diciptakan oleh Allah Swt dengan keunikan dan kelebihan masing-masing. Maka dari hal inilah, pesan Mbah Hisyam – meskipun singkat – sangat melekat pada benak KH. Ahmad Jailani.
Memang begitulah seorang ulama dalam memandang dirinya. Mereka tidak merasa lebih baik dari siapapun. Mbah Hisyam juga demikian, tidak merasa lebih baik dari siapapun. Hal itu dibuktikan dari cara beliau melayani masyarakat, menjamu semua tamu dari berbagai kalangan. Beliau tidak mencari popularitas, sebab yang penting bagi beliau adalah berdakwah di jalan Allah Swt dengan mengenalkan syariat Islam ke berbagai lapisan masyarakat. Semoga kita dapat meneladani akhlak-akhlak beliau. Amin, ya Mu’in..