Opini  

Ketakutan Menuntut Ilmu dalam Islam


Notice: Trying to get property 'post_excerpt' of non-object in /home/dawuhgur/domains/dawuhguru.co.id/public_html/wp-content/themes/wpberita/template-parts/content-single.php on line 98

Oleh : Ananda Devi Nur Islamiyah

Dalam kehidupan ini, banyak ditemukan fenomena-fenomena yang beragam tentang menuntut ilmu. Banyak mahasiswa demo, untuk menuntut kebijakan UKT (Uang Kuliah Tetap) yang sudah disahkan oleh Rektor dan staf-staf nya. Padahal mereka sudah menyetujui pada waktu akad penanda tanganan diatas materai dan sah. Mengapa masih mengadakan demo? Apa yang menyebabkan gejolak mahasiswa menggebu-gebu akan kebijakan tersebut? Apa mereka sadar? Hal itu merupakan PR untuk mahasiswa ataupun mahasiswi dan hal tersebut hanya mengenai akademik.

Setiap muslim maupun muslimah diwajibkan untuk mencari ilmu. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr :

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ

”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”.

Kita sekarang berbicara tentang ilmu yang bisa menenangkan hati. Mayoritas orang-orang tidak mau mempelajari llmu tersebut, karena mereka terlalu cinta dunia. Mereka keasyikan dengan harta, uang, dan apapun hal-hal menyenangkan didunia ini yang bersifat sementara. Adapula orang tua yang masih peduli anaknya dalam pembelajaran ilmu yang menenangkan hati. Sampai mendatangkan guru untuk sharing ilmu kepada anaknya secara khusus/ VIP, biaya untuk itu tidaklah murah. Butuh pengorbanan untuk menuntut ilmu, dan hal tersebut terdapat dan dicantumkan pada Kitab Ta’lim Muta’alim. Yang isinya adalah 6 perkara dalam mencari ilmu yaitu cerdas, semangat, sabar, biaya, guru, dan waktu yang lama. Sebagaimana tertuang dalam kitab karangan Syaikh Az-Zarnuji yang menulis sebuah sya’ir dari Sayyidina ‘Ali Bin Abi Thalib karomallahuwajhah, yang berbunyi:

اَلا  لاَ  تَناَلُ  اْلعِلْمَ   إِلاَّ  بِسِتَّةٍ      سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ

ذَكاَءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِباَرٍ وَبُلْغَةٍ      وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ

“Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan memenuhi 6 syarat. Saya akan beritahukan keseluruhannya secara rinci. Yaitu: Kecerdasan,  kemauan/semangat (rakus akan ilmu),  sabar,  biaya/bekal (pengorbanan materi/ waktu), petunjuk (bimbingan) guru dan dalam tempo waktu yang lama.”

Dari pejelasan itu bahwa ilmu butuh pengorbanan dan harus ada 6 perkara tesebut. Biaya itu penting bagi orang yang ingin menuntut ilmu, contohnya ingin mengaji atau bisa membaca Al-Qur’an. Rata-rata orang tua pada zaman ini lebih suka mengundang guru ngaji, dan metode mengajinya ialah secara private, karena orang tua sekarang lebih suka cara praktis, dan ingin anaknya cepat bisa. Kebanyakan orang tua kurang tepat dalam masalah biaya. Karena fenomena orang tua saat ini ialah sering berkata kepada guru ngaji adalah “Mas, Bayarnya berapa?”, “ apa bulanan, tahunan, harian, atau mingguan?”. Ketidak tahuan orang-orang itulah yang membuat mereka ketakutan menuntut ilmu. Jika mereka bertanya seperti itu, lalu dijawab oleh gurunya dengan ditarget Rp.300.000. per 3 hari, dan 1 harinya itu 2 jam saja. Apakah tidak menyulitkan baginya? Apa mereka tidak pernah mengeluh? Dan itu yang menjadikan ilmu tidak barokah. Berdasarkan penelitian yang saya dapatkan, kebanyakan yang menjadi guru ngaji private adalah mahasiswa atau orang yang umurnya tua dan menjabat sebagai guru (PNS).

Baca Juga  Pesantren dan Peranannya dalam Mewujudkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin di Indonesia

Guru-guru ngaji tersebut (privat) rata-rata mencekik harga jual mereka kepada orang tua dari anak-anak yang mereka ajari ngaji. Para orang tua kebanyakan mengeluh dan dari tengah jalan pasti akan terputus proses belajar mengajar tersebut. Karena ada suatu pihak yang merasa rugi dan pihak lain yang diuntungkan. Dan pada proses belajar mengajar tersebut mrnggunakn system untung-rugi. Ilmu itu jangan dijual belikan karena tidak akan mendapatkan barokah didalamnya. Mengapa begitu? Karena jika dijual maka tidak akan mendapatkan barokah, pembayaran uang ngaji itu rata-rata hanya untuk kepentingan pribadi Si Guru ngaji tersebut. Kecuali jika guru tersebut membelikan sesuatu yang berguna untuk muridnya agar lebih cepat mengerti.

Karena pada hakekatnya ilmu belajar Al-Qur’an itu adalah ilmu yang bertujuan untuk bekal diakhirat nanti, dan tidak untuk diperjual-belikan. Salah satu tujuannya adalah untuk mempererat tali silaturahim antara guru ngaji dengan keluarga murid. Karena menurut saya itu adalah hal positif yang bisa dicontoh. Jadi sebaiknya para guru privat ngaji tidak seharusnya mencekik harga atau shodaqoh untuk mengajarkan ilmunya. Karena hal tersebut akan menumbuhkan rasa ketakutan menuntut ilmu.

Ananda Devi Nur Islamiyah, Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Tinggalkan Balasan