Oleh: Zahratun Naemah
Dalam Islam ada tokoh yang konsen membahas kesetaraan gender yaitu Asghar Ali Engineer. Ia merupakan tokoh feminis Islam yang berasal dari India. Menurutnya, bias gender dalam Islam dikarenakan yang diunggulkan dari laki-laki adalah keunggulan jenis kelamin, bukan keunggulan fungisional karena laki-laki mencari nafkah. Dalam Al Qur’an keunggulan laki-laki dalam mencari nafkah disebabkan karena : Pertama kesadaran sosial perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan. Kedua laki-laki menganggap diri mereka dalam hal kekuasaan mencari nafkah dan membelanjakan kepada perempuan. Secara historis, telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat di sepanjang zaman. Perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki, dari sini muncul doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak cocok memegang kekuasaan, dianggap tidak memiliki kemampuan lebih seperti laki-laki. Laki-laki harus mendominasi perempuan, menjadi pemimpin dan menentukan masa depannya, dengan bertindak sebagai ayah, saudara laki-laki ataupun suami dengan alasan memang kepentingannyalah dia harus tunduk kepadanya.
Dalam pembahasan ini, Asghar Ali Engineer lebih memusatkan perhatian kepada status yang diberikan Al Qur’an kepada perempuan dan bagaimana para fuqaha memandangnya dalam kondisi yang berbeda-beda. Kaum perempuan sekarang, terutama mereka yang berpendidikan barat, menuntut status yang setara dengan laki-laki dan tuntutan-tuntutan itu benar secara mutlak. Penjelasan Kesetaraan gender menurut Asghar Ali Engineer dalam Al Qur’an yaitu pertama, Al Qur’an merujuknya dalam pengertian normatif dan kontekstual. Ketika berbicara normatif Al Qur’an tampak memihak kepada kesetaraan status bagi kedua jenis kelamin. Namun, secara kontekstual Al Qur’an memang menyatakan adanya kelebihan tertentu kaum laki-laki atas perempuan. Kedua, interpretasi terhadap ayat-ayat Al Qur’an, sebagaimana yang terdapat pada Kitab suci lain, sangat tergantung kepada sudut pandang si penafsirnya. Pada puncaknya posisi apriori seseoranglah yang menentukan makna dari sebuah kitab suci bagi pembaca atau penafsirnya. Ayat yang sama dipahami secara berada oleh orang yang berbeda tergantung pada kesukaan dan kecenderungan mereka. Ketiga, dan ini sama pentingnya untuk diingat, makna ayat-ayat Al Qur’an terbuka untuk sepanjang waktu. Apa arti ayat-ayat bagi ulama yang hidup dalam kondisi-kondisi modern.
Pernyataan Al Qur’an mengenai kesetaraan kedua jenis kelamin terletak pada martabat yang setara dalam pengertian yang umum. Al Qur’an menyatakan kedua jenis kelamin itu memiliki asal usul dari satu makhluk hidup yang sama, dan karena itu, memiliki hak yang sama. Hal tersebut tertuang dalam ayat Al Qur’an An-Nisa’ ayat 1 : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S An-Nisa‟:1). Ayat ini dengan jelas mengatakan bahwa semua laki-laki dan perempuan telah diciptakan dari satu nafs (makhluk hidup) dan karena itu, tidak ada yang lebih unggul dari yang lain.
Menurut Maulana Azad yang banyak dikutip pendapatnya oleh Asghar, menginterpretasikan ayat ini dengan mengatakan, kebijakkan illahi menciptakan semua dari satu diri. Tetapi dia menafsirkan ungkapan nafsin wāḥidatin (satu makhluk hidup) sebagai ayah. Apakah kata itu berarti seseorang atau satu makhluk hidup atau ayah, implikasinya sama: yakni bahwa semuanya berasal dari satu makhluk hidup, laki-laki dan perempuan, dan karena itu memiliki status yang setara. Al Qur’an tidak menyetujui pandangan bahwa Hawa di lahirkan dari tulang rusuk adam yang bengkok dan karena itu, memiliki status yang lebih rendah. Maulana Azad adalah pejuang kesetaraan hak-hak bagi perempuan. Untuk tujuan ini, dia mengutip ayat Al Qur’an: “ Hak-hak isteri (dalam hubungannya dengan suami mereka) adalah sama dengan hak-hak (suami) atas mereka.” Untuk mendukung maksudnya, dia mengatakan bahwa Al Qur’an tidak hanya menciptakan suatu keyakinan tentang hak-hak perempuan, tetapi dengan jelas mengatakan bahwa mereka memiliki hak sama dengan laki-laki. Sebagaimana laki-laki memiliki hak atas perempuan. Dengan kata lain, perempuan harus mendapatkan imbalan atas apa yang mereka berikan. Tidak benar laki-laki menuntut hak nya dari perempuan dan melupakan hak-hak perempuan. Sebagaimana perempuan memiliki kewajiban terhadap laki-laki, laki-laki juga memiliki kewajiban terhadap perempuan.
Islam diyakini sebagai agama raḥmatan lil alamin (agama yang menebar rahmat bagi seluruh alam semesta). Salah satu bentuk rahmat adalah pengakuan terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan yang setara dengan laki-laki. Sejarah telah membuktikan bahwa diantara ciri masyarakat yang unggul dan menguasai peradaban adalah masyarakat yang memiliki pemimpin yang berwibawa, tegas, adil, berpihak pada kepentingan rakyat, memiliki visi yang kuat, dan mampu menghadirkan perubahan kearah yang lebih baik. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain untuk dapat bekerja sama dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Didalam Islam, pemimpin kadang-kadang disebut imam atau khalifah. Secara harfiah, imam berasal dari kata amma, ya„ummu yang artinya menuju, menumpu dan meneladani. Hal ini berarti seorang imam atau pemimpin selalu di depan untuk memberi keteladanan atau kepeloporan dalam segala bentuk kebaikan.
Dalam Al- Qur’an surah At- Taubah dijelaskan yang artinya “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Surah At-Taubah:71). Asghar Ali Engineer dengan mendasarkan pada ayat di atas, memperbolehkan perempuan menjadi kepala Negara Islam, lebih-lebih Negara tersebut menganut pemerintahan parlementer. Karena sekarang, penentuan apa yang benar dan salah adalah salah satu tugas-tugas mendasar Negara, dan juga laki-laki dan perempuan yang merupakan pelindung satu sama lain, telah diperintah untuk melaksanakan tugas tersebut.[1]
Untuk mendukung kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan dalam wilayah publik, Asghar Ali Engineer juga mengemukakan kisah kepemimpinan perempuan yang terdapat dalam Al Qur’an.[2] Kisah kepemimpinan perempuan yang termuat dalam Al- Qur;an surah An- Naml, mengenai negeri saba yang berada di Yaman, negeri yang memiliki tanah yang subur dengan hasil pertanian yang melimpah dan memiliki pasukan militer yang tangguh dan menjadikan negeri ini dijuluki sebagai negeri super power, bahkan disebut juga dalam Al- Qur’an surah Saba’ ayat 15 sebagai negeri yang Baldatun Toyyibatun wa robbun ghofur. Dimana, sebuah negeri yang hebat pastilah dikuasai oleh pemimpin yang hebat pula dan pemimpin yang hebat ini disebut dalam Al- Qur’an adalah seorang perempuan yang bernama Ratu Saba/ Balqis.
Karakter kepemimpinannya tergambar dalam QS. An- Naml tentang kisah mengenai Nabi Sulaiman dan Ratu Saba yang sama- sama mempunyai kedudukan sebagai pemimpin yang unggul. Namun, terdapat satu kelebihan yang dimiliki oleh ratu Saba dalam kepemimpinannya yakni bersikap demokratik dengan para pembesarnya dengan melakukan musyawarah. Ayat- ayat dalam surah An- Naml menggambarkan karakter kepemimpinanya yang demokratis, cerdas, berwibawa dan menyukai perdamaian serta memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia juga tidak menutup diri dari kebenaran dakwah yang disampaikan oleh Nabi Sulaiman dan mengakui kesalahan dan kesesatannya, pemimpin yang yang mampu mengantarkan rakyatnya menuju jalan kebenaran untuk bersama- sama menyembah Allah. Dari kisah Ratu Saba ini membuktikan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan dan keunggulan dalam ranah kepemimpinan seperti halnya laki.
Dari kisah tersebut di dalam Al Qur’an tidak ada ayat yang menyatakan penolakan terhadap Ratu Saba sebagai penguasa sah Yaman Selatan. Jika Allah tidak menyetujui seorang perempuan menjadi kepala Negara, atau seandainya kekuasaan perempuan akan mendatangkan malapetaka, Al Qur’an akan menggambarkan Ratu Saba dengan sikap yang berlawanan dan akan menunujukkan kelemahannya dihadapan para penasehat laki-lakinya. Tetapi Al Qur’an menggambarkan sebaliknya. Dengan demikian, kesimpulan pertama membawa kita pada dalil tekstual bahwa Al Qur’an mengakui persamaan status antara laki-laki dan perempuan, yang itu berarti Allah memberikan hak dan kesempatan yang setara, dalam dunia sosial, politik, ekonomi dan keagamaan, termasuk hak kehormatan dan kepemilikkan. Maka keduanya berhak menentukan pilihan-pilihan strategis yang akan dilakukan. Keduanya tidak berhak untuk mendominasi satu dengan yang lain kecuali dalam rangka bermusyawarah dan saling menasehati dengan tetap menghargai dan menghormati pilihan masing-masing.
[1] Ibid, hlm. 119.
[2] Ibid, hlm. 117.