Oleh: Dhonni Dwi Prasetyo
(Alumnus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati, Jawa Tengah)
Ilmu Nahwu merupakan salah satu cabang ilmu lughah dalam khazanah ilmu Bahasa Arab. Dalam Kitab Jami’ Ad-Durus Al-‘Arabiyyah karya Syaikh Musthofa Al-Ghayalainiy (w. 1944 M/ 1364 H), disebutkan definsi ilmu nahwu sebagai berikut:
والإعراب (وهو ما يعرف اليوم بالنحو) علم بأصول تعرف بها أحوال الكلمات العربية من حيث الإعراب والبناء.
“Ilmu i’rab (atau yang saat ini dikenal sebagai ilmu nahwu) merupakan ilmu tentang dasar-dasar gramatikal bahasa yang digunakan untuk mengetahui keadaan kata-kata berbahasa arab (yang telah tersusun dalam wujud kalimat) dari segi perubahannya (i’rab) dan ketetapannya (bina’).” (Jami’ Ad-Durus Al-‘Arabiyyah, juz 1, hlm.8).
Berdasarkan definsi ilmu nahwu di atas, dapat kita ketahui bahwa ilmu nahwu ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam Bahasa Arab. Bagi seseorang yang ingin menguasai Bahasa Arab, maka wajib baginya untuk mempelajari hingga menguasai ilmu ini. Sebab, ilmu nahwu ini merupakan ilmu dasar atau ilmu pokok dalam Bahasa Arab, sehingga jika tidak dipelajari dan dikuasai, tentu kemampuan prima yang didambakan dalam menguasai Bahasa Arab adalah hal yang sangat sukar didapatkan.
Bagi umat Islam yang sumber ajaran syariah agama utamanya adalah Al-Qur’an Al-Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif, yang keduanya termaktub dalam Bahasa Arab, maka sekali lagi ilmu ini menjadi sangat penting untuk dipelajari dan dikuasai oleh mereka. Karena tanpa menguasainya, umat Islam akan kesulitan dalam memahami ‘dua pedoman hidup beragama’ tadi secara baik dan benar. Selain itu, ketidakmampuan dalam menguasai ilmu ini juga berpotensi membuat umat Islam mengalami kemunduran dan tidak lagi menjadi “khoiro ummatin” sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an (Surah Ali Imran ayat 110). Mengapa demikian? karena Al-Qur’an merupakan Kalamullah yang menjadi ‘samudera’ segala macam ilmu, dan Al-Hadits merupakan pelengkap atau penjelas dari Al-Qur’an itu sendiri. Ketika umat Islam tidak berhasil menguasai ilmu nahwu –sebagai ilmu dasar dan penting untuk dapat memahami Bahasa Arab-, maka bagaimana mereka dapat ber-istifadah (mengambil faedah ilmu) dari keduanya? dan jika mereka tidak mampu ber-istifadah, maka dapat dipastikan mereka juga tidak mampu ber-ifadah (menyampaikan/ mengajarkan faedah ilmu) yang terkandung di dalam keduanya pula. Kondisi yang demikian ini jika terjadi secara terus-menerus, akan mengakibatkan ke-jumud-an ilmu pengetahuan bagi umat Islam, sehingga mereka menjadi umat yang ‘tertinggal’ dari umat-umat lainnya di muka bumi ini, atau dengan kata lain, umat Islam tak lagi menjadi “khoiro ummatin” (umat terbaik) lagi. Oleh karena itu, umat Islam -khususnya generasi mudanya- harus menaruh perhatian khusus dalam mempelajari ilmu ini.
Selanjutnya, perlu diketahui pula bahwa mempelajari ilmu nahwu ini sangat banyak manfaatnya. Di antaranya adalah sebagaimana keterangan yang dijelaskan oleh Syaikh Zaini Dahlan dalam Kitab Syarah Mukhtashar Jiddan ‘ala Al-Matn Al-Jurumiyyah sebagai berikut:
…وغايته وفائدته التحرز عن الخطأ والاستعانة على فهم كلام الله و كلام رسول الله صلى الله عليه وسلم…الخ
Dalam kitab tersebut, beliau menuturkan bahwa tujuan dan manfaat dari (mempelajari dan menguasai) ilmu nahwu ini adalah menjaga kita dari melakukan kesalahan berbahasa (lahn), baik dari segi pelafalan maupun pemahaman, dan membantu kita dalam memahami Kalamullah (Al-Qur’an Al-Karim) dan Kalam Rasulullah (Al-Hadist Asy-Syarif) secara baik dan benar sesuai tendensi ajaran syari’ah Islam yang kredibel dan disepakati oleh jumhur ulama’.
Tujuan dan manfaat tersebut sangat dibutuhkan oleh umat Islam, khususnya bagi kita sebagai umat Islam yang hidup di era saat ini. Hidup tanpa ilmu yang berhasil dikuasai di era saat ini tentu sangat berbahaya. Karena, saat ini kita dihadapkan dengan perkembangan teknologi digital yang sangat pesat, yang memungkinan semua orang dapat mengakses produk-produk ‘memanjakan’ dari perkembangan teknologi digital tersebut. Setiap orang yang memiliki akses dapat melakukan apa saja yang ia mau, seperti: membuka online shopp, bermain social media, sharing informasi & ilmu pengetahuan, dll. Nah, di antara hal yang dapat dilakukan oleh setiap orang yang mempunyai akses sebagaimana tersebut di atas adalah sharing informasi & ilmu pengetahuan. Dewasa ini, bagi kita yang aktif berselancar di internet akan banyak menjumpai konten-konten yang berisikan informasi & ilmu pengetahuan, tak terkecuali ilmu agama. Apabila tidak hati-hati dan tidak memiliki fondasi ilmu agama yang mumpuni –yang salah satunya adalah ilmu nahwu-, maka kita akan kesulitan untuk memilah dan memilih antara informasi keilmuan mana yang valid dan yang tidak. Suatu contoh, ketika mendapati konten tentang ilmu agama dan terdapat teks dalil berbahasa Arab yang menyertai di dalamnya, jika kita paham ilmu nahwu, kita akan mudah untuk meneliti dan mengklarifikasi apakah dalil tersebut benar atau tidak?; apakah informasi tersebut sesuai dengan ajaran syari’ah Islam ataukah justru bertolak belakang? Melihat fenomena tersebut di atas, maka sekali lagi peran ilmu nahwu sangat diperlukan, dan ilmu nahwu -yang begitu penting dalam menjaga ‘keselamatan’ diri ketika mendapati konten-konten tersebut- hanya dapat dikuasai jika kita mau mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Seseorang yang paham ilmu nahwu memiliki keistimewaan tersendiri. Selain dapat membaca dan memahami Kalamullah (Al-Qur’an Al-Karim) dan Kalam Rasulullah (Al-Hadist Asy-Syarif) secara baik dan benar, ia juga dapat menjaga dirinya sendiri dan juga orang lain dari kesalahpahaman ketika mendapati konten-konten tentang ilmu agama atau disuguhkan literatur berbahasa Arab tertentu, karena pasti ia akan mencermati dan mengkaji kevalidan informasi yang terkandung di dalamnya terlebih dahulu dengan bekal ilmu nahwu yang ia punyai. Tentu saja kehati-hatian yang demikian ini perlu dilakukan, karena di era saat ini setiap orang -yang belum atau tidak kita ketahui kredibilitasnya- asalkan memiliki akses, dapat sharing informasi & ilmu pengetahuan dengan bebas, entah itu dengan atau tanpa kepentingan tertentu. Apabila yang membagikan informasi & ilmu pengetahuan tersebut adalah seseorang yang memiliki kapasitas dan kredibilitas keilmuan yang mumpuni, maka boleh saja bagi kita untuk ‘mengonsumsi’ apa yang dibagikan, namun apabila yang membagikan informasi & ilmu pengetahuan bukan seseorang dengan kapasitas dan kredibilitas keilmuan yang mumpuni, maka sangat berbahaya bagi kita jika langsung ‘mengonsumsi’ apa yang dibagikan olehnya.
Ilmu nahwu ini istimewa dan siapapun yang mempelajarinya hingga menguasainya akan menjadi orang yang istimewa pula. Dikatakan demikian, karena dalam perspektif agama Islam, seseorang hanya dapat diakui sebagai alim ulama’ –yang asli dan dapat kita ikuti serta ambil kemanfaatan ilmunya- ketika ia minimal telah menguasai ilmu nahwu. Ilmu yang disejajarkan dengan ilmu sharaf ini diibaratkan sebagai ilmu alat. Dengannya seseorang akan mampu menguasai berbagai ilmu—ilmu agama yang lain, seperti: fiqh, ushul fiqh, tafisr, dsb, karena ibarat kata seorang nelayan akan bisa mendapatkan berbagai macam ikan di laut manakala ia telah memiliki alat pancing dan menguasai cara penggunaannya. Apabila ada seseorang yang mengaku bahwa ia seorang alim, tetapi tidak menguasai ilmu nahwu, maka pengakuan orang tersebut hanyalah omong kosong belaka. Hal ini sebagaimana keterangan yang dituturkan oleh Ibnu Qadamain (‘alam kun-yah) dalam kitab karyanya yang berjudul Risalah Al-Aqlam pada bagian muqaddimah kitab. Dalam kitab tersebut, beliau menyebutkan bahwa syarat orang dapat dianggap sebagai alim adalah minimal telah menguasai ilmu nahwu yang merupakan ‘fondasi’ dalam ilmu Bahasa Arab. Sebab, tanpa menguasai ilmu ini, seseorang tidak akan mampu membaca apalagi memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan baik dan benar, yang keduanya itu merupakan sumber pokok ajaran agama Islam yang hanya dapat dipahami oleh seseorang yang benar-benar ‘alim, minimal telah menguasai ilmu ini. Dan seseotang yang tidak mampu membaca & memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan baik dan benar, maka tidak tepat dan pantas disebut sebagai seorang alim.
Masih berbicara tentang ilmu nahwu, ada sebuah keistimewaan lagi bagi seseorang yang berhasil menguasai ilmu. Seseorang yang ahli nahwu memiliki derajat dan ganjaran khusus ketika ia membaca Al-Qur’an. Sebagaimana keterangan yang terdapat dalam Kitab Manhaj Ash-Shawiy karya Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith sebagai berikut:
فائدة:
جاء في الأثر: إنّ من قرأ القرأن قائما في الصلاة كان له بكل حرف مئة حسنة, وإن كان قاعدا خمسون, وإن كان في غير الصلاة على طهارة خمس وعشرون, وإن كان على غير طهارة عشر حسنات.
وجاء في أثر أخر: من قرأ القرأن وهو يعلم لم رفع ولم نصب كان له بكل حرف سبعمئة حسنة. هذا لمن قرأ في غير الصلاة, وإذا صلى قائما فله مئة حسنة كما تقدم في المراتب, فيضرب السبعمئة في المئة فيكون حاصلها سبعين ألفا.
Disebutkan bahwa terdapat sebuah riwayat dalam atsar:
“Sesungguhnya seseorang yang membaca Al-Qur’an dengan keadaan berdiri sewaktu shalat maka baginya 100 kebaikan dari setiap huruf (yang ia baca), dan apabila ia membacanya dalam keadaan duduk, maka baginya 50 kebaikan dari setiap huruf (yang ia baca), dan apabila ia membacanya dalam keadaan suci di luar shalat, maka baginya 25 kebaikan dari setiap huruf (yang ia baca), dan apabila ia membacanya dalam keadaan tidak suci di luar shalat, maka baginya 10 kebaikan dari setiap huruf (yang ia baca).”
Dan terdapat sebuah riwayat dalam atsar yang lain:
“Barangsiapa membaca Al-Qur’an sementara dia mengetahui mengapa (bacaan yang ia baca) dirafa’kan, dan mengapa (bacaan yang ia baca) dinashabkan, maka baginya 700 kebaikan dalam setiap hurufnya. Hal ini bagi orang yang membaca Al-Qur’an bukan dalam keadaan shalat, dan apabila dia membacanya dalam keadaan shalat dengan berdiri, maka untuknnya 100 kebaikan sebagaimana yang telah lalum kemudian dikalikan 700 dengan 100, maka hasilnya 70 ribu kebaikan.”(Manhaj Ash-Shawiy, hlm. 497)
Demikian uraian tentang ilmu nahwu secara sederhana dan bagaimana keistimewaan yang akan didapatkan seseorang yang mau mempelajari dan berhasil menguasainya. Wallahu a’lamu bish-shawaab.