Opini  

Kearifan Budaya, Walisongo dan Islam Nusantara


Notice: Trying to get property 'post_excerpt' of non-object in /home/dawuhgur/domains/dawuhguru.co.id/public_html/wp-content/themes/wpberita/template-parts/content-single.php on line 98

Walisongo –dalam bahasa Indonesia disebut Walisembilan– merupakan julukan untuk orang suci yang berjuang di tanah Nusantara pada abad ke-15 dan ke-16. Masyarakat Indonesia memberikan perhatian lebih pada tradisi nenek moyangnya. Dalam hal ini, ziarah kubur. saat ini, sudah rahasia umum bahwa beberapa kelompok tidak suka dengan membid’ahkan ziarah kubur sebagai langkah yang tidak islami. Bahkan, fatalnya lagi, kalau ziarah kubur dilarang dengan berbagai alasan maupun landasan yang digunakannya. Herannya, pelarangan tersebut mencatut nama institusi, agama dan tidak lengkap jika tidak dikasih ayat al Qur’an atau hadis Kanjeng nabi Muhammad SAW.

Sungguhpun demikian, sebuah keniscayaan kolektif sebagai masyarakat jawa untuk selalu menjaga, memelihara dan mengamalkan warisan budaya nenek moyang yang tidak bersebrangan dengan substansi islam. Tentunya, sifat toleransi dan menghargai dalam memaknai keberagaman adalah keniscayaan universal yang tidak mungkin dihindarkan. Anehnya dalam konteks walisongo beserta perannya menyebarkan islam di pulau jawa, terdapat kelompok yang jelas jelas tidak menyukai perbuatan TBC (Tahayul, Bid’ah dan Khufarat)  yaitu ziarah kubur ke makam para Walisongo. Artinya, mereka selalu bertanya mana dalilnya, mana ayatnya, mana hadis shohihnya. Mereka cenderung menuhankan teks daripada konteks dalam memahami agama. Nah, kondisi seperti itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja tanpa ada Tabayun (klarifikasi) satu dengan lainnya. Konsep Walisongo bagi mereka –yang mengharamkan ziarah makam wali– masih Absud dan ambigu. Oleh sebab itu, agaknya masuk akal ketika Mukhatab-nya masyarakat awam yang masih membutuhkan siraman nilai-nilai agama Islam baik dari sisi doktrinal maupun Mu’amalah.

Saya sebagai penduduk pribumi menyebutnya dengan istilah walisongo. Kata itu lebih familiar dibandingkan dengan sebutan wali sembilan. Istilah Walisongo dikaitkan dengan sekelompok penyiar/penyebar agama di Jawa yang hidup dalam kesucian sehingga memiliki kekuatan batin tinggi, berilmu kesaktian luar biasa, memiliki ilmu jaya-kawajiyan dan keramat. Tak berlebihan jika Prof. Dr. Simuh  mengatakan bahwa bilangan sembilan merupakan bilangan magis di Jawa dan tidak berasal dari budaya santri. Pandangan Prof Simuh ini berkait erat dengan kosmologi orang Jawa beragama Hindu yang menyakini bahwa alam semesta ini diatur dan dilindungi oleh dewa-dewa penjaga mata angin.

Eksistensi Walisongo sebagai orang suci juga erat kaitannya dengan Nusantara. Embel-embel Islam Nusantara baru mencapai puncaknya ketika NU menggunakan tema Muktamar dengan Islam Nusantara sebagai tema besar muktamar yang berlangsung di Jombang pada 2019. Kendati demikian, Walisongo maupun gagasan Islam Nusantara semakin membumi hingga tidak aneh jika masyarakat Indonesia benar-benar memahami substansi dari Walisongo maupun konsepsi tentanf Islam ala Nusantara secara universal. Seperti kita ahami bersama bahwa istilah Islam mempunyai cakupan makna baru dan mendalam sebagaimana islam sebagai agama langit. Nusantara mempunyai konten makna tertentu yang lebih mengarah kepada lokal wisdom dan budaya yang mengakar di indonesia. Kedua kata mempunyai relevansi historis dan bermakna luas sehingga hasil dari singkretisasi menghasilkan bibit baru yang lebih inovatif-progresif, Islam Nusantara.

Senada dengan itu, Ahmad Baso, intelektual muslim dalam karya Islam Nusantara mengurai bahwa islam nusantara ibarat sintesis pertemuan dua bibit pohon unggulan yang berbeda jenis, namun ketika disatukan dalam proses persilangan menghasilkan sebuah bibit baru lebih unggul. Persilangan Islam dan Nusantara diperlukan untuk memperoleh Genius Baru dengan karakter atau sifat-sifat unggulan yang diinginkan. Diharapkan dari persilangan ini akan muncul cara beragama dan peradaban baru dengan sifat-sifat unggulan baru sebagai hasil gabungan dua keunggulan tadi. Genius baru itulah yang kemudian dinamakan Din Arab Jawi atau Islam Nusantara. Pertemuan keduanya dibutuhkan untuk memberikan solusi pada masalah-masalah kemanusiaan umat manusia pada umumnya dan secara khusus untuk masalah-masalah kebangsaan kita sebagai sebuah Bangsa yang diikat dalam kesatuan darat dan laut Nusantara. Kita orang Nusantara yang beragama Islam berarti kita sebagai orang nusantarra harus punya suara dalam menafsirkan dan mengamalkan Islam. kita bukan hanya sekedar jadi muslim yang pasif-defensif an sich dan tinggal mengunyah apa yang datang dari arab.

Tak hanya itu, Ahmad Baso mengurai bahwa ketika Islam dan Nusantara digabung atau dipersilangkan muncullah genius baru bernama Islam Nusantara. Bibit ini tumbuh sehat dan mampu bertahan dalam situasi cengkraman lingkungan manapun, auto-perfective, toleran dan adaptif terhadap lingkungannya sehingga bisa tumbuh dan besar dengan sehat, tidak cepat aus, rusak atau gagal tumbuh. Dengan persilangan berbeda tersebut, maka diharapkan muncul varietas atau spesies baru yang memiiliki sifat unggulan gabungan dari kedua spesies induknya itu yaitu populis, eksotis, kualitas peradaban yang tinggi serta tahan banting terhadap berbagai kondisi dan tantangan alam dan lingkungan. Dan spesies baru itulah Islam Nusantara.

Walhasil, dalam membaca sejarah Walisongo selama ini kita selalu diombang-ambingkan antara mitos dan fakta. Akibatnya, ketika menyampaikannya kita merasa kurang yakin bahkan tidak percaya diri. Kenyataan yang sangat mengecawakan dan berakibat pada terkikisnya pengetahuan historis-spiritualis masyarakat Islam Nusantara.

Oleh karenanya, Agus Sunyoto dalam buku Atlas walisongo mengatakan bahwa eksistensi Walisongo sebagai kesatuan orang suci tidak bisa dipandang sebelah mata. Kenyataannya telah membuktikan bahwa para wali telah merumuskan strategi dakwah atau strategi kebudayaan secara lebih sistematis, terutama bagaimana menghadapi kebudayaan Jawa dan Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat dan sangat mapan. Ternyata, para wali memiliki metode yang sangat bijak. Mereka memperkenalkan Islam tidak serta merta, tidak ada cara instan karena itu mereka merumuskan strategi dengan pembacaan jangka panjang. Kemampuan para wali menggalang kepercayaan umat melalui perjalanan dakwah yang tidak kenal lelah dibarengi apresiasi yang sangat tinggi pada agama lama; hindu, budha, tantrayana, kapitayan maupun lainnya. Kematangan wawasan para wali dalam mengelola budaya membuat ajaran mereka diterima oleh hampir seluruh penduduk Nusantara.

Walhasil,  sadar atau tidak, pengaruh maupun jasa serta peran sosial walisongo saat itu hingga mampu menyebarkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di tanah nusantara. Sekarang, kita menikmati islam sebagai agama mayoritas berkat walisongo yang rela berjuang demi agama Allah swt tanpa imbalan apa-apa. Semata-mata mencari ridho Allah swt. Alangkah indahnya jika kita sebagai masyarakat muslim mampu memelihara konsensus yang dibuat walisongo serta menjaga tradisi islam nusantara hingga detik akhir dalam hidup. Wallahu A’lam.

 

Baca Juga  Isra’ Mi’raj; Badani atawa Batini?

Respon (1)

Tinggalkan Balasan