Oleh : Dzika Fajar
“Kaum Sarungan” adalah sebutan untuk seorang santri yang digunakan oleh beberapa orang. Karena dalam kehidupan sehari-hari, santri menggunakan sarung sebagai pakaian pokok. Dan setiap santri biasanya diwajibkan untuk mempunyai sarung. oleh karena itu kenapa santri identik dengan busana sarung. Sebenarnya tidak hanya sarung saja yang menjadi identitas dhohir. Tapi banyak sekali stigma yang berkembang di masyarakat awam khususnya terkait pandangannya dengan santri.
Stigma bahwasanya santri itu kuno adalah salah satunya. Disamping itu ada stigma yang mengatakan bahwa santri itu tradisional. Memang ajaran yang diajarkan di pesantren adalah ajaran yang tradisionalis. Tetapi jangan diartikan kalau santri itu kuno. Tradisionalis artinya santri tetap memegang teguh ajaran yang diajarkan oleh ulama-ulama terdahulu.Menjaga tradisi kepesantrenan adalah hakikat yang tetap dipegang teguh oleh kiai sebagai pemimpin dan juga sebagai guru dan orang tua yang ada di pesantren. Bukan berarti semua ajaran yang di pesantren adalah ajaran-ajaran kuno. Nyatanya banyak sekali pesantren modern yang mengikuti perkembangan zaman.
Tradisi yang dipegang teguh tidak stagnan dan terpaku harus seperti zaman dahulu. Biasanya pesantren yang mempunyai embel-embel Modern. Dalam Lembaga pesantren yang semacam ini, biasanya santri dituntut untuk adaptif dan berorientasi kepada modernitas. Di masyarakat kita sendiri banyak yang mengklasifikasikan 2 model atau jenis pesantren yang hingga sekarang berkembang. Pertama adalah pesantren dengan model salaf. Pada model pesantren yang seperti ini, adalah pesantren yang benar-benar memegang teguh tradisi kepesantrenan dari dulu hingga sekarang. Kedua adalah pesantren modern yaitu pesantren yang mempunyai misi mencetak generasi yang berorientasi kepada kehidupan modern.
Peradaban semakin berkembang dan akan terus akan terjadi perkembangan. Jika tidak diimbangi dengan diri dan pikiran yang mengikuti perkembangan, tentu akan ketinggalan. Seharusnya santri zaman now harus mempunyai cara berpikir yang kontekstual dan mengedepankan rasionalitas. Andaikata dianalogikan dengan tumbuhan, jika tumbuhan tidak dipupuk, disiram dan terkena sinar matahari lama-lama akan mati. Sama dengan seorang santri, jika seorang santri tidak mengikuti perkembangan zaman, dan tidak bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman, lama-lama akan mati dan tidak berguna.
Sebenarnya kan esensi seorang santri di pondok-kan adalah agar besok jika sudah hidup bermasyarakat adalah bisa menjadi hal yang berguna. Bayangkan saja jika seseorang pada zaman sekarang tidak mengetahui adanya media sosial, bahkan tidak mengetahui adanya internet. Mungkin banyak orang yang menjustifikasi bahwa orang yang tidak tahu internet adalah orang dari zaman purba.
Menggunakan Media Sosial Sebagai Sarana Dakwah
Sudah tidak diragukan lagi kehebatan dari media sosial. Hampir semua aspek kehidupan tidak luput dari cengkraman media sosial. Bahkan kehebatan media sosial sekarang, bisa dikatakan hampir menyaingi media massa sebagai media yang lebih dulu lahir daripada media sosial. Semua mobilitas sehari-hari bisa diakses melalui media sosial. Seperti contoh yang paling general saja, penggunaan media sosial sebagai wasilah untuk berinteraksi dengan orang lain. Perkembangan teknologi inilah yang merubah tatanan masyarakat. Berbagai permasalahan muncul dari masifnya penggunaan media sosial. Baik itu dampak negatif dari penggunaan atau dampak positifnya. Media sosial seakan menjadi ajang kontestasi membangun citra dari seseorang maupun kelompok.
Pada dasarnya manusia berorientasi kepada eksistensial. Artinya apa yang dilakukan oleh manusia, itulah citra yang ingin ditampilkan ke kancah lingkungan sosial masyarakatnya. Misalnya dalam lingkungan kepesantrenan terdapat berbagai santri yang sangat multikultural. Beragam daerah, beragam budaya semua menjadi satu wadah berkumpul ditempat yang sama yaitu pesantren. Stigma Santri yang berasal dari pulau jawa biasanya cenderung lemah lembut. Tetapi berbeda halnya dengan santri yang berasal dari Sumatra yang mempunyai citra keras di masyarakat awam. Itulah eksistensial.
Salah satu langkah adalah menggunakan media sosial sebagai medium santri untuk menyebarluaskan ide maupun produk dari ajaran yang diajarkan di pesantren. Misalnya kisah-kisah kiai, dawuh kiai dan lain sebagainya. Selagi itu baik dan bermanfaat bagi orang lain kenapa tidak. Karena sekarang tidak sedikit konten yang ada pada media sosial adalah konten-konten yang tidak mendidik. Kalaupun konten islami, masih kurang diminati oleh pengguna media sosial.
Sayangnya perhatian “kaum sarungan” masa kini kurang tertuju pada perkara yang demikian. Perkembangan zaman yang begitu cepat tidak diimbangi dengan perkembangan dalam menguasai teknologi. Tidak menutup kemungkinan kalau kalah start belum tentu kalah di akhir. Karena semua itu mungkin terjadi jika mau untuk berusaha. Kecakapan dalam menguasai teknologi adalah kunci sehingga jika sudah bisa menguasai teknologi maka besar peluang “kaum sarungan” sebagai agen perubahan di masa mendatang.
“Kaum Sarungan” dan Literasi Digital
Di Beberapa kesempatan saya ikut serta dalam berbagai seminar kaitanya santri dan digitalisasi. Sebuah ide yang yang dirasa masih segar. Keinginan aktivis media yang berasal dari kalangan santri yang ingin menumbuhkan kecakapan dalam menggunakan media digital. Beragam topik yang dibahas di berbagai seminar. Tetapi poin yang paling ingin ditekankan adalah keberanian dan semangat dalam membawa perubahan.
Perlunya rekonstruksi kebudayaan yang dimiliki oleh “kaum sarungan” yang terkenal dengan tradisionalis bertransformasi menjadi modern. Karena modernitas dalam diri santri perlu diberikan stimulus sebagai langkah pendongkrak semangat merubah tatanan sosial. Jika iklim yang ada di lingkungan pesantren tidak mendukung perubahan, maka tidak akan stagnan dan tidak berkembang.
Berbagai media baru pun muncul seiring dengan cepatnya perkembangan digital. Digitalisasi adalah misi yang dimiliki oleh seorang yang memiliki pasar digital. Tidak hanya orang yang memiliki pasar, tetapi pemerintah pun mempunyai andil dalam mempercepat digitalisasi. Seperti missal rencana pada tahun 2022 pemerintah Indonesia akan melakukan digitalisasi pada sektor penyiaran.
Seharusnya “kaum sarungan” ini bisa menyalurkan pemikiran-pemikiran yang ada di pesantren ke kancah digital missal dengan membuat video yang kemudian ditayangkan di youtube. Atau membuat konten-konten islami yang berhaluan pesantren untuk melawan isu-isu yang kontradiktif dengan ajaran ajaran yang menyimpang. Tetapi harus murni didasari oleh idealism yang dimiliki oleh “kaum sarungan”.
Dengan menampilkan wajah “kaum sarungan” setidaknya akan memperbaiki stigma tradisionalitas yang dimiliki oleh santri tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisi pesantren. Platform digital semakin banyak, bahkan televisi yang menjadi salah satu media massa yang digandrungi sejak tahun 60 an, sekarang eksistensinya sudah meredup daan kalah dengan media-media baru yang sekarang muncul. Artinya dinamika perkembangan teknologi yang cepat hingga tak dapat diprediksi eksistensinya di masa mendatang.
Berkembang untuk melawan kejumudan. Itulah kalimat yang pernah saya dengar pada suatu seminar tentang digitalisasi. Santri umumnya adalah mempunyai umur yang relatif muda, sehingga mubazir jika kecerdasan intelektualnya dibuang sia-sia. Indikasi kejumudan intelektual santri Indonesia adalah ketidakmampuan “kaum sarungan” untuk membedakan nilai-nilai transendental. Semua dilihat bersifat transendental, bahkan tanpa terkecuali bernilai sakral. Akibat keberagaman tersebut, pesantren dipandang sebagai tradisi, dan islam menjadi sederajat dengan tradisionalis.
Representatif “kaum sarungan” bukanlah sebuah dominasi intelektual yang berorientasi kepada progresifitas. Melainkan salah satu term perjuangan “kaum sarungan” dalam konteks modernitas. Karena itulah wawasan dan kebangkitan santri Indonesia yang perlu kita renungkan dan kita praktekan. Sebagai khasanah pengembalian identitas santri dan keislaman modern.
Biografi Singkat Penulis
Dzika Fajar alfian Ramadhani
Tempat dan Tanggal Lahir Blora 15 November 2002 berasal dari kecamatan Kunduran kabupaten Blora, saat ini berdomisili di kabupaten Sleman, Yogyakarta karena untuk menempuh Pendidikan, tinggal di kabupaten Sleman sejak tahun 2014 untuk mengenyam Pendidikan tingkat Mts. dan berdomisili di PP Wahid Hasyim Yogyakarta untuk melanjutkan Pendidikan Informal. hobi yang saya punya mungkin sedikit berbeda dengan orang lain, karena orang lain banyak mempunyai hobi olahraga, namun tidak dengan saya. Saya memiliki hobi Membaca, Ngopi dan merokok.
Mempunyai Riwayat Pendidikan mulai dari TK bersekolah di TK Masyitoh Kunduran kemudian lanjut di MI-Al Huda Kunduran, Blora, kemudian lanjut ke jenjang sekolah menengah Pertama berlanjut di MTs Sunan Pandanaran Yogyakarta kemudian lanjut lagi di MA Wahid Hasyim Yogyakarta. Dan sekarang sedang menempuh Pendidikan Tinggi Jurusan Ilmu Komunikasi di UPN “Veteran” Yogyakarta.
Pengalaman Organisasi : bergabung dengan IPNU Kemantren Gondokusuman Kota Yogyakarta dan turut bergabung dengan PMII Komisariat Veteran Yogyakarta. Ikut serta bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa SIKAP. Turut bergiat sebagai pegiat literasi di kabupaten Blora, dan turut mengajar di Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta.
Akun media Sosial : Instagram : @dzikafajar__, twitter : @dzikafajar, Facebook : Dzika Fajar alfian