Oleh : Bintang Pahlevi
Sederhana, rendah hati, dan ketawadhu’an adalah sebuah sikap yang haq, sedang takabbur adalah batil. Namun banyak sekali ditemui fenomena di hari ini ketika seseorang “berpura-pura sederhana”, tampil memperlihatkan diri sebagai sosok yang rendah hati, sementara ia masih menaruh kesombongan dalam hatinya. Tulisan ini tidak untuk menghakimi siapapun atau bahkan menuduh orang-orang yang sedang tampil atau terlihat sederhana, tetapi untuk refleksi kita bersama, khususnya penulis sendiri, agar lebih berhati-hati dalam mengelola hati. Betapa bahayanya sikap takabbur ini meski sekedar hanya dalam pikiran dan hati, sementara apa yang kita citrakan pada manusia adalah ketawadhu’an dan kesederhanaan.
Seperti yang Al-Qur’an telah peringatkan, dalam QS. Al-Baqarah ayat 42, “Wa lā talbisul-haqqa bil-bāthili…”[2:42]. Pada umumnya, ayat ini dipahami sebagai larangan berupa “jangan mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan”. Tetapi lebih jauh dari itu, ia juga dapat dimaknai sebagai ungkapan “jangan berbuat kebatilan, dengan kedok perbuatan yang benar”. Karena labbasa – talbis dalam bahasa Arab makna asalnya bukan bermakna “mencampuradukkan”, melainkan “menutupi” dan/atau “menyamarkan” sesuatu (lih. Mu’jam Al-Wasith). Singkat kata, mafhum dari ayat ini adalah “jangan tutupi perbuatan batil dengan kedok berbuat sesuatu yang benar”. Melalui ayat ini, Al-Qur’an menerangkan pada kita tidak hanya tentang larangan berbuat demikian, tetapi juga perlunya waspada terhadap hal-hal di sekitar kita yang memiliki indikasi seperti diatas tadi. Fattaqū fitnah… (maka waspadalah akan gangguan tersebut) [8:28].
Contoh nyata yang seringkali dapat temui adalah adanya kesombongan yang disembunyikan dengan kesederhanaan. Ketika sedang menelaah kitab “At-Tawādhu’ wal-Khumūl”, saya menemukan sebuah kutipan dari Hasan Al-Bashri (no. 66, hal. 128), “Sungguh, ada segolongan manusia yang menaruh kesombongan dalam hatinya, tapi ia bersederhana dalam pakaiannya. Oleh karenanya, orang-orang yang berjubah itu lebih kusukai daripada orang-orang yang berpakaian seadanya hanya untuk berpura-pura miskin”. Seketika saya pun tersadar dan sedikit tercengang, bahwa ternyata pencitraan semacam ini sudah ada pada masa salaf. Hasan Al-Bashri adalah seorang tabi’in, dengan terpisah rentang waktu lebih dari 1000 tahun yang lalu dari hari ini, fenomena ini masih dapat kita temui dan patut kita waspadai bersama. Na’ūdzubillāh min dzālik…
Pertanyaan yang selama ini menjadi penulis adalah, benarkah selama ini kita sudah bersederhana secara nyata dan apa adanya? Apa jangan-jangan, selama ini kita hanya menutupi kecacatan diri dengan bersembunyi di balik kedok kesederhanaan? Bisa jadi yang ada dalam diri kita sejatinya adalah kesombongan, hanya saja karena nasib membawa kita pada ketidakberuntungan dan kemelaratan ini menjadikan kita malu untuk menyatakan kesombongan itu secara terang-terangan. Jika yang dzohir kita hiasi hanya untuk menutupi kecacatan batin saja, maka sampai kapan batin kita akan benar-benar sembuh dari penyakit sombong itu?
Dalam mengatasi persoalan ini, terdapat dua sudut pandang yang dapat kita lakukan, yang pertama dari hati dan pikiran kita, dan yang kedua dari cara berpakaian yang kita lakukan. Namun karena konteks dan fokus kita kali ini adalah dari segi ilmu Tasawuf, maka solusi yang paling utama adalah dengan mengelola pikiran dan perasaan agar tidak muncul rasa sombong sekecil apapun, meski hanya dalam hati. Senantiasa mengelola hati dan perasaan adalah sebuah pelajaran yang prinsipil, dan waspada akan potensi hadirnya rasa sombong dalam diri sendiri harus selalu kita lakukan. Allah telah memperingatkan dalam Al-Qur’an, bahwa Dia mengetahui apa yang manusia sembunyikan dan apa yang manusia tampakkan, dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati [11:5, 35:38, 40:19]. Rasulullah juga pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga siapa yang dalam hatinya terdapat kesombongan, walau sebesar biji dzarrah”. [HR. Al-Baihaqi 8406, lih. Syu’abul Iman lil-Baihaqi]
Kemudian yang kedua, mengenai cara berpakaian atau “apa yang kita citrakan” kepada manusia, maka sebaiknya memang adalah sesuatu yang apa adanya dan benar-benar sesuai dengan kondisi kita. Kunci dari solusi yang kedua ini adalah tentang pentingnya mewawas diri (self-awareness), seperti apa sebenarnya kondisi dan kapasitas diri kita, dan seperti apa kita harus merepresentasikannya. Jika kita sudah mengetahuinya, maka kita akan tahu bagaimana seharusnya. Seperti sebuah kutipan yang disandarkan kepada Ibrahim bin Adham dalam kitab yang sama (nomor 63, hal. 127), “Jangan berpakaian dengan pakaian yang membuat kita terlihat seperti orang-orang yang faqih, dan jangan pula berpakaian dengan pakaian yang membuat kita terlihat seperti orang yang bodoh.” Bukan sebaliknya, tampil “apa adanya” tanpa mengetahui kapasitas diri terlebih dahulu, juga merupakan sebuah tindakan yang kurang bijak.
Semoga tulisan kecil ini dapat dipahami oleh para pembaca, bahwa pentingnya kewaspadaan akan diri sendiri merupakan kunci hidup yang utama. Waspada akan rasa sombong yang ada dalam hati, waspada akan kondisi dan kapasitas diri, dan juga waspada akan gangguan dari luar yang dapat memicu timbulnya rasa sombong. Yang terakhir, sebuah pertanyaan untuk menutup tulisan ini dengan renungan. Sudah sejauh apa kita mengamalkan falsafah “eling lan waspodo” sampai hari ini?
Tadabbur Al-Qur’an dan Ngaji Kitab At-Tawādhu’ wal-Khumūl. 03 Desember 2023.
Oleh : Bintang Hadiansyah Pahlevi
Khadim Halaqah Qur’ani
Masjid Al-Banan