Oleh: Channah Auliya Rizqi*
~“Kebohongan bukan jalan pintas, melainkan hanya menunda kehancuran”~
****
Zamanku terkontaminasi oleh sistem IT. Serba mudah, namun cukup meresahkan bangsa dan negara. Di era revolusi society seperti saat ini, segala sesuatu memang bergerak dengan cepat. Informasi dari seluruh penjuru dunia pun dapat diperoleh dalam sekejap. Jika dilihat dalam kacamata informasi, dunia kini menjadi sangat global, transparan, dan tanpa sekat. Hal itu, didukung dengan perkembangan media sosial yang sangat pesat.
Peran media sosial sudah menjadi kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Selain sebagai sarana berkomunikasi, media sosial juga dapat digunakan sebagai salah satu transaksi jual beli. Belakangan ini, media sosial juga gencar digunakan sebagai media koneksi politik. Dengan tujuan untuk memengaruhi dan membentuk opini publik. Pada hal inilah yang kerap memicu hoax, maupun ujaran kebencian.
Dalam KBBI, hoax diartikan sebagai informasi yang tidak sesuai dengan fakta atau biasa disebut berita bohong (Zaluchu, 2020: 102). Penyebar hoax, bermula dari pengguna internet yang tidak memiliki kesadaran hukum, serta minim beretika dalam menggunakan media sosial. Dampak dari adanya hoax tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena hoax seringkali digunakan sebagai senjata ampuh bagi kepentingan politik tertentu. Seperti halnya pada awal kemunculan post-truth.
Istilah post-truth memang sudah ada sejak tahun 1992. Frasa tersebut menjadi sebuah gejala negatif dari adanya modernisme seperti saat ini. Jika dikaji, adanya modernisme ini dapat memudahkan setiap aktivitas masyarakat. Akan tetapi, tanpa disadari juga dapat melahirkan disrupsi informasi. Era post-truth ini merupakan zaman ketika manusia hidup dalam baying-bayang yang dianggap nyata, namun sebenarnya maya. Post-truth diartikan sebagai situasi ketika indikator kebenaran didasarkan pada opini individu dan tidak lagi mempedulikan fakta (Rochlin, 2017).
Saat ini, putaran informasi bergerak, dan berkembang dengan cepat. Terlebih, perkembangan teknologi kini digemparkan dengan fitur kecerdasan buatan atau yang disebut dengan Artificial Intelligence (AI). Hal inilah yang dimanfaatkan untuk menciptakan kebohongan buatan. Hingga akhirnya membuat masyarakat percaya bahwa kebohongan tersebut adalah kebenaran. Pada intinya era post-truth yang dimaksud, menekankan bahwa kebenaran lebih bersifat subjektif, dan yang diutamakan hanyalah keyakinan pribadi. Sedangkan perihal fakta dikesampingkan begitu saja.
Antara hoax dan juga post-truth memang saling bersinergi. Dalam paradigma post-truth, kenyataan dengan desain interpretatif personal dibangun ulang sedemikian rupa melalui manipulasi frame realitas. Sehingga informasi yang pada mulanya tidak benar, dapat diterima dan diyakini sebagai kebenaran di tengah masyarakat. Trik seperti inilah yang memudahkan penyebaran hoax dikalangan masyarakat. Dimana keadaan ini menguntungkan para buzzer. Selain itu, juga mendorong masyarakat lebih percaya pada opini seseorang daripada fakta.
Post-Truth Penyokong Hoax dan Pemuda Agent of Change adalah Akar Solusinya
Di era modern ini, kebebasan mengunggah informasi di media sosial seringkali disalahgunakan. Disamping itu, dari segi masyarakatnya juga mudah menerima tanpa mencari faktanya terlebih dahulu. Bahkan, langsung disebarluaskan begitu saja. Hal inilah yang menyebabkan munculnya post-truth, dimana lingkungan masyarakat mengalami disrupsi informasi dan hoax berperan sebagai bumbu pelengkapnya. Pada kasus ini, disebabkan oleh masyarakat yang kurang memiliki kecerdasan dalam bermedia sosial. Rata-rata dari mereka enggan memeriksa sendiri dan hanya mengandalkan kebenaran dari opini orang lain. Padahal opini tersebut juga belum tentu benar.
Menurut Arifin (2020: 380) terdapat survey sebanyak 55,8% dari masyarakat yang mengira bahwa setiap informasi adalah fakta. Sedangkan yang enggan memeriksa kebenaran berita tersebut sebanyak 44,2 %. Seiring perkembangan Artificial Intelligence (AI) yang semakin canggih, para pembuat konten hoax semakin pandai menyamarkan fake news. Hoax pun semakin samar untuk dikenali, terlebih sejak munculnya post-truth. Adanya post-truth ini, yang kemudian memberikan celah bagi pemilik kekuasaan untuk mengendalikan opini publik melalui media sosial.
Salah satu penerapan strategi post-truth yakni lebih cenderung pada bidang politik. Contohnya seorang politikus berhasil memenuhi tujuan kampanye untuk memengaruhi opini masyarakat. Namun, di sisi lain hal ini berpengaruh di kemudian harinya. Jika seorang politikus tersebut diisukan melakukan hal buruk. Maka para pendukungnya akan tetap mendukung serta memengaruhi masyarakat bahwa isu buruk tersebut hanyalah hoax. Mereka akan menampilkan kebaikan-kebaikan seorang politikus tersebut untuk menutupi keburukannya. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh buzzer untuk mendapatkan uang, karena telah menutupi kebenaran dengan menyebarkan isu yang tidak sesuai dengan fakta. Sedangkan di sisi lain masyarakat mudah percaya terhadap opini publik daripada mencari tahu kebenarannya.
Post-truth ini memang sangat berbahaya jika tidak dikendalikan. Karena kebohongan yang tersistematik justru mendapatkan dukungan. Selain itu, siapapun bisa menjadi kambing hitam dari adanya hoax tersebut. Jika kita sebagai pengguna media sosial tidak bijak, maka sulit membedakan antara yang benar dan salah. Terlebih bahaya post-truth saat ini salah satunya telah bekerja sama dengan filter bubble. Filter ini merupakan algoritma dalam media sosial, dimana informasi yang disuguhkan kepada kita hanyalah yang sering kita sukai. Otomatis yang sering muncul di media sosial kita adalah konten yang kita sukai saja. Hal inilah yang sering dimanfaatkan oleh buzzer, dimana dalam konten tersebut terkadang diselipkan berita hoax. Sehingga tanpa sadar kita terpengaruh dengan opini konten tersebut, tanpa mencari tahu kebenarannya.
Berdasarkan penjelasan diatas memang di era disrupsi informasi seperti saat ini, “tuntunan menjadi tontonan dan tontonan menjadi tuntunan”. Quotes almarhum K.H. Zainuddin MZ, tersebut sangat mencerminkan kehidupan saat ini. Jika kita tidak mau dituntun oleh penyebaran hoax. Maka sebagai pemuda agent of change harus cerdas dalam mengantisipasi setiap informasi yang masuk. Terdapat beberapa cara dalam mengantisipasi penyebaran hoax di era post-truth seperti saat ini.
Pertama, bisa dimulai dengan menerapkan gerakan anti hoax yang disebut dengan GEMERLAP. Kepanjangan dari GEMERLAP ini adalah Gerakan Mendengar untuk Mencerna bukan untuk Melawan Peraturan. Maksud dari gerakan ini adalah ketika ada informasi baru yang beredar, kita sebagai pengguna media sosial harus mencerna terebih dahulu maksud dan kebenarannya. Bukan sebaliknya yakni melawan peraturan yang telah ditetapkan dalam undang-undang terkait penyebaran berita bohong (hoax).
GEMERLAP (Gerakan Mendengar untuk Mencerna bukan Melawan Peraturan) ini dibuat untuk mengantisipasi penyebaran hoax di era post-truth seperti saat ini. Maraknya disrupsi informasi yang mengakibatkan kekacauan negeri ini, perlu diantisipasi dengan cara yang bijaksana. Sebagai pemuda agent of change, gerakan ini patut digalakkan kepada masyarakat luas agar tidak mudah melawan kebenaran. Serta mencerna terlebih dahulu segala informasi yang masuk.
Kedua, jika sebelumnya sudah terdapat grup besar diskusi anti hoax, seperti Fanpage Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesia Hoaxes, dan sebagainya. Maka, akan lebih baik jika grup tersebut ditambah dan dikhusukan untuk mahasiswa. Grup ini bisa dinamakan KOMPAS (Komunitas Pemuda Anti Hoaks) yang bisa bekerja sama dengan pihak Menteri KOMINFO. Komunitas ini terdiri dari para pemuda baik yang tengah menempuh pendidikan di universitas maupun institut. Dengan harapan mampu memberikan perubahan dalam membantu mengatasi penyebaran hoax. Komunitas ini juga dibuat untuk terjun langsung memberikan sosialisasi mengenai hoax dan cara mengantisipasinya kepada masyarakat maupun ke beberapa sekolah.
Sebagai pemuda agent of change tentunya harus cerdas dalam bertindak. KOMPAS (Komunitas Pemuda Anti Hoaks) ini, memang diperuntukkan bagi pemuda khususnya mahasiswa yang menjadi agent perubahan dunia. Selain membentuk karakter pada diri pemuda untuk bersikap bijak terhadap informasi yang masuk. Komunitas ini juga bertujan untuk mengajak dengan cara terjun langsung memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat. Selain itu juga terjun ke beberapa sekolah, dengan tujuan mengedukasi dan mengajak belajar bersama agar tidak menjadi korban dari penyebaran hoax.
Ketiga, solusi ini ditujukan pada pemerintah yang diharapkan dapat mendukung semua gerakan serta komunitas yang telah dibentuk. Selain itu, peraturan yang telah dibuat sebelumnya perlu diperketat. Baik peraturan pada media sosial maupun hukuman bagi pelaku penyebar hoax. Inovasi berupa GEMERLAP (Gerakan Mendengar untuk Mencerna bukan Melanggar Peraturan) dan KOMPAS (Komunitas Pemuda Anti Hoaks), akan sia-sia jika masyarakat serta pemerintah tetap acuh terhadap peraturan yang ada. Hal ini dikarenakan inovasi tersebut hanyalah bentuk optimalisasi dari solusi-solusi yang sebelumnya sudah diterapkan. Tentunya, dengan tujuan mewujudkan generasi emas 2045 yang bijak dalam berteknologi. Selanjutnya, akan dikembalikan kepada kesadaran serta kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah dalam menangani hoax ini.
Nasi memang belum sepenuhnya menjadi bubur. Zaman boleh terus berkembang, namun sumber daya manusianya tentu harus mampu berpikir seimbang. Melalui inovasi GEMERLAP (Gerakan Mendengar untuk Mencerna bukan Melanggar Peraturan), pembentukan KOMPAS (Komunitas Pemuda Anti Hoaks), dan didukung dengan kesadaran masyarakat serta antusiasme pemerintah untuk memperketat peraturan. Diharapkan mampu mengurangi penyebaran hoax secara bertahap. “Mari mendengar untuk mencerna, bukan mendengar untuk melawan realita”.
Daftar Pustaka
Arifin, et al. (2020) “Dampak post-truth di Media Sosial”, Jurnal Intelektual:
Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman, vol. 10(3), h. 380.
Rochlin, N. (2017) “Fake News: belief in post-truth”, Library Hi Tech.
Available at: https://doi.org/10.1108/LHT-03-2017-0062.
Shavira, et al. (2020) “Called Al-Qur’an Digital Perspective: answer to raising
hoax in era of disruption”, Tribakti: Jurnal Pemikiran Islam, vol. 31(2),
Available at: https://doi.org/10.33367/tribakti.v31i3.1063
Zaluchu, S. (2020) “Dinamika hoax, post-truth dan response reader criticism
dalam rekonstruksi kehidupan beragama”, Jurnal Studi Agama, vol.
10(1), h. 102.
*Channah Auliya Rizqi, adalah nama lengkap saya. Saya lahir 04 September 2002. Tepatnya di daerah yang dijuluki kota santri, yaitu Gresik. Pada tahun 2020, saya mulai menempuh pendidikan di Universitas Negeri Surabaya, prodi S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Hobi saya menulis, membaca, memasak dan bernyanyi. Sejak duduk di bangku SMP, saya sudah menekuni bidang kepenulisan. Saya juga memiliki beberapa buku antologi diantaranya berjudul Struggle of a Leader (2020), yang Tersisa tentang Aksara (2020), dan Seribu Petualangan di Negeri Dongeng (2021). Pada akhir tahun 2022 saya membuat antologi kumpulan karya kreatif yang berjudul Diorama Aksara.