Pada sesi lanjutan dari materi wawasan kebudayaan Islam Nusantara, Jigang Ramadan membicarakan aksara sebagai bagian penting dari peradaban. Bahwa peradaban tidak seketika turun dari langit dengan keajaiban manusia dengan akalnya. Aksara menjadi produk pemikiran yang monumental (bahkan bisa transendental) dengan fungsinya sebagai transmiter isi pikiran manusia. Walter J. Ong membuat indikator tertinggi peradaban dalam Orality and Literacy: The Technologizing of the Word dengan adanya aksara yang digunakan suatu masyarakat.
Nusantara, dengan teritori Indonesia, memiliki banyak aksara yang pernah digunakan, dari aksara Pallawa, Makassar, hingga Jawi. Aksara Jawa memiliki gramatika yang setara dengan tajwid Al-Quran dalam pelafalannya. Sistematika pelafalan tersebut disebut panen waliyuha, begitulah penuturan dari Hendrik Khoirul Huda selaku pegiat aksara Nusantara asal Malang pada Jigang Ramadan Lesbumi NU Kota Malang.
Selain itu, aksara Jawa pernah mengalami modifikasi oleh Wali Sanga lantaran upaya penyesuaian dengan aksara Arab. Aksara tersebut disebut aksara rekan (aksara Jawa-Arab). Berbeda dengan aksara pegon yang pada dasarnya penyesuaian aksara Arab dengan aksara Jawa (Arab-Jawa).
Mustafa Kamal, dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang menuturkan bahwa fenomena toleransi aksara ini, sedikitnya, memiliki dua motif: politisasi literasi dan penyebaran ideologi. Pemakaian aksara pegon dalam dinamika perjuangan masyarakat Nusantara ditunjukkan dengan aktivitas surat menyurat tokoh elit agama Islam di tanah Jawa untuk menghindari intelejensi kolonial Belanda.
Kendati demikian, Aksara-aksara Nusantara dibuat untuk pengembangan kepenulisan dan hubungan komunikasi. Adanya intervensi politis mulai mencuat pada era komunikasi via serat, bukan ripta.
Penulis: Dzikrul Hakim Tafuzi Mu’iz