Di hari kedua Jigang Ramadan Lesbumi Kota Malang menitik beratkan kajian kesenian. Di sesi pertama, sastra yang menjadi topik perbincangan. Sebagai pengantar diskusi, Fatoni Rahman, dosen FIB sekaligus pengurus Lesbumi Kota Malang, menyampaikan bahwa sastra berupaya mengungkapkan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan dalam realitas, sehingga narator bertanggung jawab untuk menghasilkan narasi banding dan sanding. Artinya, bila kenyataan menceritakan history maka sastra menciptakan story sanding demi kebutuhan referensial. Adapun fungsi sastra memiliki dua fungsi yakni sastra meniru atau menggambarkan kenyataan (fungsi refleksi) dan sastra menggambarkan sesuatu yang tidak ada di realitas (fungsi refraksi). Sementara karya sastra dibuat dengan tujuan bermacam-macam, mulai dari yang bersifat ideologis hingga mengandung nilai ekonomis.
Dalam sastra anak misalnya, menurut Ari Ambarwati, Dosen FKIP UNISMA sekaligus pengurus Lesbumi Kota Malang, dahulu kisah-kisah yang menggambarkan siksaan dan ancaman dijadikan media untuk mendidik anak melalui sastra. Hal ini menjadikan imajinasi yang tertanam pada anak adalah kepatuhan berlandaskan ketakutan akan kengerian siksa, bukan berdasarkan kerelaan dan penerimaan penuh terhadap nilai-nilai yang diajarkan. Kini, terdapat upaya merekonstruksi ulang kisah-kisah dalam sastra anak dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang lebih persuasif dan penuh kasih sehingga imajinasi anak terpantik pada hal positif serta penuh rahmat, di sisi lain nilai-nilai luhur yang ditransfer ke dalam pikiran anak akan masuk dan diterima hingga dewasa nanti tanpa ada “dendam cerita masa kecil.” Sayangnya, dewasa ini sastra anak kurang digemari disebabkan beberapa faktor. Dukungan pemerintah yang kurang optimal, adanya media lain yang digunakan untuk mengedukasi anak, peminat yang timpang dalam pembuatan karya sastra anak ketimbang sastra yang lain.
Berbicara soal sastra sebagai refleksi dan refraksi memunculkan berbagai pertanyaan. Manakah yang lebih penting? Bukankah refleksi membatasi imajinasi satrawan? Bukankah refraksi mengaburkan kenyataan? Sebenarnya sastra atau seorang sastrawan memiliki kebebasan untuk menggunakan fungsi sastra ini. Fungsi refleksi semata-mata digunakan untuk mengungkapkan kenyataan, dikemas dengan unik untuk menyampaikan nilai pada peristiwa nyata tersebut dan di saat yang bersamaan, fungsi refraksi sastra dapat berlaku pada karya tersebut demi mendukung nilai estetikanya atau juga untuk melepas imajinasi pembuat karya sastra sehingga menghadirkan perspektif baru bagi penikmat karyanya.
Seiring perkembangan zaman, karya sastra telah banyak, bertumpuk, menggunung, bahkan tak tersentuh (nggak disentuh, nggak digemari, nggak dipedulikan). Artinya zaman telah bergeser, dahulu sastra menjadi instrumen penting dalam masyarakat di segala lini, edukasi, aturan, dan lain-lain. Sekarang, sastra hampir digambarkan hanya sebagai entertainment dan bernilai jual. Sulit sekali (bukan tidak mungkin) sastrawan mempertahankan ideologi bahwa sastra adalah instrumen dalam pendidikan. Sastrawan dituntut untuk lebih kreatif dan adaptif sesuai dengan perkembangan zaman. Sekali pun dalam pembuatan karya sastra memiliki berbagai macam tujuan baik ideologis maupun ekonomis, namun seyogianya sastrawan bersikap “Angeli, ananging ora keli”, mengamini bahwa manusia dikutuk untuk bebas dan imajiner, mengimani bahwa sastra bukan sebatas entertainment melainkan manusia itu sendiri.
Penulis: Muhammad Fikri Al-Ghazali