Jejak Mbah Hisyam Kalijaran: Mendidik Santri, Mengarang Kitab, dan Kiprah Beliau

Gambar: Tribun News Muria

Oleh; Ana Kurnia (Jamaah Muhibbin Ning Atikoh Ganjar Nusantara)

Setiap guru mempunyai cara masing-masing dalam mendidik muridnya. Dalam istilah pondok pesantren, guru biasanya disebut dengan ‘kyai’. Seorang kyai memiliki ciri khas masing-masing dalam mendidik santrinya. Beberapa kyai kadang menekankan tirakat, beberapa yang lain menekankan sinau atau belajar. Tak jauh berbeda dengan Mbah Hisyam kalijaran. Beliau memiliki cara tersendiri dalam mendidik santri-santrinya. Beliau dikenal sebagai ulama yang alim beberapa bidang keilmuan agama, terlebih beliau sangat menguasai ilmu falak. Ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari lintasan benda langit, khususnya bumi, bulan, dan matahari. Masyarakat umum lebih mengenalnya dengan ilmu astronomi.

Ada banyak metode yang diterapkan di pondok pesantren, salah satunya adalah Bandongan. Istilah “bandongan” berasal dari bahasa Sunda “ngabandungan” yang berarti menyimak atau memperhatikan dengan saksama. kyai membacakan sebuah kitab di hadapan para santri, dan mereka menyimak secara kolektif. Selain itu, istilah “bandongan” juga berasal dari bahasa Jawa “bandong” yang berarti berbondong-bondong. Hal itu didasarkan pada metode Bandongan biasanya dilakukan dengan secara menyeluruh untuk banyak santri di pondok pesantren.

Zamakhsyari Dhofier dalam “Tradisi Pesantren” mengatakan bahwa bandongan biasanya dilakukan antara 5 sampai 500 santri yang mereka semua mendengarkan seorang kyai membaca, menerjemahkan, dan menerangkan sebuah kitab. Prakteknya, seorang kyai membacakan, menerjemah, dan menjelaskannya. Sedangkan, santri atau murid mendengarkan, menyimak, dan mencatat apa yang disampaikan oleh kyai yang memberi pengajian tersebut. Oleh sebagian kalangan, metode ini disebut dengan “wetonan” yang berasal dari akar kata “weton” (bahasa Jawa) yang berarti waktu. Hal ini didasarkan pada pelaksanaan ngaji bandongan yang dilakukan di waktu-waktu tertentu, seperti “Pasan” (seorang kyai membaca beberapa kitab hanya pada bulan Ramadhan), “Mulud” (diselenggarakan hanya pada bulan Rabiul Awal atau dalam istilah Jawa disebut “Mulud”).

Selain Bandongan, ada metode lain, yaitu “Sorogan”. “Sorogan” berasal dari bahasa Jawa “Sorog” yang bermakna menyodorkan, itu berarti setiap santri menyodorkan kitabnya; membaca kitab di hadapan kyainya. Biasanya, metode ini dilakukan secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru/kyai sehingga saling mengenal.

Tak jauh berbeda dari pesantren lainnya, Pesantren Roudlotus Sholihin (Sukarawah) yang didirikan oleh Mbah Hisyam juga menerapkan kedua metode itu. Hal itu disampaikan oleh KH. Syamsul Qodri, santri kinasih Mbah Hisyam Kalijaran saat diwawancarai (29/09/2023) di Pondok Pesantren Tadzkirotul Ikhwan, Lembereng, Banyumas: “Saya diajar beliau langsung, dari alif,ba,ta sampai astronomi. untuk ilmu nahwu, jurumiyah, maqsud, Imrithi, Alfiyah Ibnu Malik, hanya 6 bulan. Jauharul Maknun, Uqudul Juman, 1 tahun, untuk ilmu falak, saya cuma 15 hari, dan itu saya sudah bisa bikin kalender.”

Dari keterangan berikut, berarti Mbah Hisyam (KH. Hisyam bin Abdul karim) Kalijaran menerapkan pembelajaran Sorogan kepada Mbah Syamsul Qodri. “Cara mengajar beliau itu kadang-kadang membingungkan. Kadang beliau itu ngaji falak, kayak mengaji Fathul Qorib, makanya kadang teman-teman itu tidak paham. Padahal perlu ditulis, ya, kan? tetapi beliau tidak perlu ditulis, seperti ta’dil. Pernah suatu saat saya cepat-cepatan hafalan sama beliau, ternyata saya kalah dengan beliau,” lanjut KH. Syamsul Qodri, Pengasuh Pondok Pesantren Tadzkirotul Ikhwan, Lembereng, Banyumas, Jawa Tengah.

Mbah Hisyam memang sangat cerdas sehingga ketika menerangkan ilmu falak, beliau menukil banyak kitab, seperti Fathul Qorib, beliau menyambungkan satu ilmu ke ilmu yang lain. Selaras dengan ini perkataan Imam Syafi’i “Man Tabahhara Finnahwi ihtada ila Kullil ulum” (Siapa yg melaut ilmunya dalam ilmu nahwu maka ia akan mendapat petunjuk menguasai segala ilmu). Demikian halnya dengan Mbah Hisyam, beliau telah menguasai banyak ilmu sehingga punya banyak karangan kitab. “Kitab-kitab beliau yang tulisan tangan zaman dulu itu. Kitab-kitab beliau yang membahas tentang falak, alhamdulillah sudah saya salin. dulu belum ada fotocopy, mas. Saya salin secara manual. Karangan Mbah Hisyam yang berupa kitab atau lembaran kebanyakan berupa nadhom/ syair ataupun terjemahan, antara lain: Kitab ‘Irsyadul ‘Awam’ dan ‘Lam Yah Ta’lim’. Mbah Hisyam juga berkiprah di Nahdlatul Ulama sebagai Rois Syuriah PCNU Purbalingga selama enam masa jabatan. Mbah Hisyam wafat pada hari Kamis kliwon, tanggal 12 Januari 1989,” jelas Mbah Syamsul Qodri.

Di sela-sela sibuk mengasuh pesantren, Mbah Hisyam menjadi pegawai negeri. “Dulu beliau menjadi musytasyar NU, dan beliau pernah jadi syuriah di probolinggo. beliau adalah pegawai negeri, kepala pengadilan agama. Pada zaman KH. Saifuddin Zuhri, banyak sekali kyai-kyai yang diangkat menjadi pegawai negeri, termasuk beliau, Mas. Padahal beliau itu kalau sekolah sampai pada kelas lima SD. pada saat sebelum menjadi pegawai negeri, santri beliau banyak, tetapi ketika diangkat menjadi pegawai negeri, santri beliau berkurang. waktu saya di situ, muridnya 20, itupun tidak semua sekolah. Nah, saya salah satu santri yang sekolah,” pungkas Mbah Syamsul Qodri.

Rekomendasi