Jejak Langkah Kiai Mursyidi, Tokoh Ulama Jakarta Timur Yang Masyhur

Oleh : Abdul Majid Ramdhani.

Ulama Betawi pertama yang saya angkat di tulisan ini adalah ulama dari Jakarta Timur. Sebagaimana sang mentari terbit dari ufuk Timur. Serupa peran dan kiprah ulama yang keilmuannya menerangi kehidupan kita. Kearifan budaya lokal yang dipadu-padankan dengan metode pengajaran klasikal oleh para ulama betawi dapat dipahami sebagai gagasan serta nilai-nilai pandangan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan serta bernilai baik tertanam dan mengakar di masyarakat Budaya lokal mengajarkan bentuk pendidikan Agama Islam kepada anak-cucu mereka.

Jakarta Timur merupakan titik sentrum, secara kultural, dalam praktik pendidikan Islam tradisional yang merupakan aktualisasi pembelajaran pada nilai-nilai kearifan lokal menjadi kuat dan mengakar di dalam khasanah budaya tradisi betawi.

Dengan pendekatan humanis yang lebih dikedepankan dan sikap dakwah yang dibawa oleh ulama-ulama betawi tersebut bersatu-padu dengan pemahaman keagamaan multikulturalisme yang dikembangkan oleh para pendakwah turut memperkuat persenyawaan antara budaya betawi dan pengajaran Agama Islam.

Berbagai tokoh kemudian diingat oleh masyarakat karena peran Ulama betawi dalam menyebarkan ajaran Islam hingga ke segala elemen masyarakat. Pengaruh guru atau kiai tak mengenal pada batas geografis. Khusus pada bidang ilmu agama Islam di Indonesia pada masa-masa peperangan kala itu di Jakarta (Batavia), sehingga masyarakat umum terdidik dan  mengetahui bahwa di Nusantara ini memiliki caranya sendiri dalam menerapkan kebijakan pengajaran dan pembelajaran islam melalui pendekatan budaya.

Penyebutan masyarakat betawi itu sendiri baru ada sejak abad ke-19 hal itu lantaran persoalan transliterasi Arab, penulisan Batavia menjadi “Ba-Ta-Wau-Ya”. Namun segala sistem kebudayaan, kaidah serta nilai-nilai tradisi telah mempengaruhi kehidupan masyarakat betawi hingga kini.

Para ulama tidak hanya menjaga wilayah kampungnya sendiri, karena pada kala itu sudah cukup disegani lantaran tingkah lakunya dan perangainya yang terpuji. Serta ghirah perjuangan ulama betawi mewarnai gejolak dalam menerapkan perbuatan amar maruf nahi mungkar (mengajak manusia ke jalan yang benar dan menjauhi kezaliman) dan mengusir pasukan Belanda dari bumi betawi (Jakarta) dengan kekuatan optimal dan garangnya pasukan BARA (Barisan Rakyat) yang dikomandoi langsung oleh para Muallim asli keturunan betawi yang juga piawai bertarung. Akhirnya belanda pun kocar-kacir dan angkat kaki.

Selain rutin berlatih bela diri (silat), mengaji adalah sebuah keharusan bagi keluarga Kiai Mursyidi dan para muridnya di kawasan sekitar Jakarta Timur, itulah bekal utama untuk mengarungi kehidupan. Bersatunya air wudhu dan doa sangat penting dalam tradisi belajar ngaji.

“Tiap utan ade macannye, tiap kampung ade maenannya” (Setiap hutan ada macannya, setiap kampung ada mainannya).” Generasi keturunan betawi dan pegiat budaya betawi mesti tidak akan ‘gagal paham’ pada istilah tadi, celetukan itu sangat melekat dalam pergaulan masyarakat betawi pada umumnya.

Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya Guru (Muallim) atau Kiai Betawi yang namanya harum mewangi dan masyhur dam terkenal baik di Daerah Khusus Ibu Kota ini. Dalam tradisi betawi, “Anak betawi kudu tinggi sekolahnya dan juga pinter ngaji”, nasihat bijak ini memang telah tumbuh subur di tanah Betawi sejak Jakarta masih bernama Jayakarta.

Sosok Diri dan Kiprahnya

Jejak Langkah Kiai Mursyidi, Tokoh Ulama Jakarta Timur Yang Masyhur - dawuh guru

Allah Swt. memberi anugerah kepadanya, KH Ahmad Mursyidi sangat mudah diterima berbagai kalangan dan kewibawaan dalam penampilannya juga menjadi teladan. Pola-pola pemahaman keagamaan yang dikembangkan melalui tradisi masyarakat betawi sampai dewasa kini masih memiliki tali persambungan dengan kultural dan metode tradisional ala Madrasah.

Kiprah perguruan atau Madrasah yang telah mengakar demikian kuatnya dalam budaya tradisi di Indonesia. Telah memberikan banyak pengaruh yang signifikan bagi dunia pendidikan islam.

Kondisi inilah yang menyebabkan penyebaran ajaran Islam melalui jalur Madrasah adalah “kunci” (Misbah) bagi peradaban pendidikan Agama Islam khas madrasah yang telah mendapat tempat khusus dan diterima oleh masyarakat Jakarta, khususnya wilayah Jakarta Timur.

Sejak lama, madrasah dan tradisi budaya betawi hampir menjadi tonggak kemajuan serta wajib untuk dilakoni dan dipelajari oleh mayoritas masyarakat Betawi. Dengan berdirinya Perguruan atau Madrasah Raudhlatul Atfal di Kampung Bulak, Klender, merupakan inisiatif beliau (KH Ahmad Mursyidi). Saat itu beliau masih berusia 21 tahun. Kiai Mursyidi muda sudah memiliki pemikiran yang sangat revolusioner dan memiliki visi-misi untuk membangkitkan semangat masyarakat setempat agar lebih tertarik untuk mendalami ilmu agama islam melalui pendidikan di madrasah.

Kegiatan ngeker bulan diteruskan oleh “BHR” (Badan Hisab Rukyat) Kanwil Departemen Agama DKI Jakarta untuk menentukan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah dan disaksikan oleh KH. Mundzir Tamam, MA, (adik kandung KH. Achmad Mursyidi), Ketua Umum MUI Provinsi DKI Jakarta, sekaligus selaku sesepuh dan penasehat Masjid Jami` Al-Makmur.

Tak hanya sampai disitu kiprahnya, Kiai Mursyidi juga berperan dalam panggung perpolitikan. Karena karir politiknya, pada kisaran tahun 1957, beliau dilantik menjadi anggota DPR hasil dari pemilu pada tahun 1955 menggantikan posisi KH. Ahmad Djunaidi.

Kemudian pada tahun 1959, ia dilantik kembali untuk menjadi anggota DPR dalam rangka kembali ke UUD 1945, setelah Dekrit Presiden dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Pada tahun 1960, kembali ia beliau dilantik menjadi anggota DPR-GR.

Dan pada tahun 1977, kembali menjadi anggota MPR dari fraksi PPP karena politik Orde Baru membuat partai NU melakukan fusi ke PPP yang terjadi pada tahun 1973.

Kemudian di tahun 1978, ia dilantik kembali menjadi anggota DPA-RI menggantikan KH. Idham Cholid. Karena pada saat itu, KH. Idham Cholid diangkat menjadi Ketua DPA-RI. Pada tahun 1982, ia kembali menjadi anggota legislatif, anggota DPR/MPR RI dari daerah pemilihan DKI Jakarta. Pada tahun 1985, dipercaya untuk menjadi Ketua Umum MUI DKI Jakarta menggantikan KH. Abdullah Syafi`i.

Kendatipun demikian, sejarah telah mencatat bahwa seorang Guru, Muallim, atau Kiai adalah penggenggam ilmu sekaligus menjadi tonggaknya ngelmu dakwah yang marhamah serta tumbuh kesadaran penuh untuk mendedikasikan pengetahuannya serta dirinya untuk kemaslahatan umat. Tidak semua tokoh politisi di masa-masa itu tetap mau melayani masyarakat.

Dengan berbekal ilmu yang mumpuni, dari proses belajarnya bersama para muallim (guru) yang alim alamah. Kiai acapkali berperan untuk memimpin upacara keagamaan, ritual adat, hingga menjadi tempat rujukan dalam penyelesaian berbagai persoalan.

Bahkan pada masa perang melawan dan mengusir Belanda dari tanah Jakarta atas peran cemerlang Kiai Mursyidi yang menjadi komandan perjuangan rakyat yang mempunyai kewenangan membentuk pemerintah di tingkat kecamatan atau kewedanan.

Setelah selesai masa penjajahan, Kiai Mursyidi melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan dengan mendirikan Pendidikan Islam Al-Falah. Selain itu, Kiai Mursyidi juga aktif di organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga dikenal sebagai politisi ulung dengan menjadi anggota dewan terpilih berkali-kali.

Mari mereduksi pandangan tentang peradaban bangkitnya khazanah Madrasah, di kalangan masyarakat betawi. Sehingga itu menjadi satu simpul bagi generasi masa kini untuk melakukan pengkajian teks sastra filologi keislaman, seperti;  ilmu Sastra, Ilmu Fiqh, dan Ilmu Tasawuf. Pola sufistik dan legalistik adalah pola perkembangan keislaman yang hampir merata pada masa kemunduran di dunia Islam, yaitu suatu pola yang lebih menekankan rasa beragama daripada aspek pemikiran.

Menjaga sepenuh jiwa dan raga terhadap manuskrip-manuskrip para ulama pendahulu, sama saja dengan menelusuri asal-usul sejarah dan jati diri bangsa.

Kiai NU Dari Tanah Betawi

Jejak Langkah Kiai Mursyidi, Tokoh Ulama Jakarta Timur Yang Masyhur - dawuh guru

Islam di Indonesia, memadu padankan Islam modernis dan tradisionalis. Dalam lingkungan para santri terdapat perbedaan antara kaum modernis dan tradisionalis.

Barangkali ini yang mencerminkan istilah Santri, pada era Abad 20 M atau dalam istilah modernisme Islam. Sebagaimana ungkapan “Kaum Sarungan” yang istilah “tradisionalisme Islam” dilekatkan kepada santri-santri NU (Nahdlatul Ulama).

Pendekatan tradisional yang di pilih beliau dalam menyebarkan pengajaran Agama Islam merupakan bagian dari mengkombinasikan antara modernisme dan tradisionalisme dan menghasilkan sesuatu yang baru.

Baca Juga  Meneladani KH. Hasyim Asyari Sebagai Penggerak dan Mencontoh Tebuireng Sebagai Tempat Mobilisasi Perjuangan Bangsa Indonesia

Dari cerita yang saya dengar, di antara nama-nama “pejuang” yang  kesohor pada masa itu, ada satu nama yang tak luput dari sejarah ulama betawi. Salah seorang ulama sekaligus pejuang dari bumi Betawi yang terkenal selain KH.Noer Ali di antaranya adalah KH. Achmad Mursyidi.

Beliau berguru kepada Muallim Guru Marzuki dan Muallim Ghayar, sehingga kentara dan terhubungkan sanad keilmuan kepada Guru Marzuki (KH Ahmad Marzuki bin Mirsod bin Hasnum bin Khatib Sa’ad bin Abdurrahman bin Sultan Ahmad al-Fathani) dengan gelar Laqsana Malayang alias Guru Marzuki. Beliau memiliki peran penting dalam penyebaran dakwah Islam di tanah Betawi.

Sang Guru, Muallim Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara pernah diminta untuk mendirikan NU (Nahdlatul Ulama) di Jakarta di tanah Betawi. Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara yang merupakan lulusan Makkah juga dijuluki sebagai “Gurunya Ulama Betawi.” Salah seorang muridnya adalah, Kiai Mursyidi. (KH Ahmad Mursyidi) dan dikenal pula sebagai “Tiga Serangkai” yang ditakuti oleh pihak Belanda, mereka adalah (KH Darif, KH Hasbiyallah dan KH Ahmad Mursyidi.)

Banyak murid-murid berdatangan dari wilayah Jakarta dan sekitarnya berguru kepada KH Ahmad Mursyidi. Kemahaguruan ini ditinjau pada aspek penyebutan ‘Guru’ atau yang mana secara status keulamaan Betawi ‘Guru’ merupakan level tertinggi setelah penyebutan ‘Mu’allim’ dan ‘Ustadz’.

Melacak jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21 (2011), berdasarkan spesialisasi bidang keilmuan yang ditekuni. Setidaknya terdapat enam guru dari para ulama Betawi dari akhir pada abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20 yang disebut oleh Abdul Aziz dalam Islam dan Masyarakat Betawi (2002) sebagai enam pendekar atau The Six Teacher, yaitu Guru Mansur (Jembatan Lima), Guru Marzuki (Cipinang Muara), Guru Mughni (Kuningan), Guru Madjid (Pekojan), Guru Khalid (Gondangdia), dan Guru Mahmud Ramli (Menteng).

Ketokohan dan peran para kiai mendorong terjadinya percampuran kebudayaan antara nilai-nilai kepesantrenan dengan akulturasi, sebuah proses di mana kelompok masyarakat tertentu, yang terjadi percampuran ketika orang-orang dari budaya yang berbeda bersentuhan secara konsisten selama periode waktu tertentu, dan karenanya menyebabkan perubahan pola budaya di salah satu atau kedua kelompok tersebut.

Latar belakang belau yang pernah mengenyam pendidikan di pondok-pondok pesantren daerah Jawa Timur. Tentunya Percampuran ini menyangkut pada konsep mengenai proses sosial yang timbul jika sekelompok manusia (baca: santri).

“Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya” (Al-Qashash: 56).

Sewaktu Mursyidi masih menjadi santri, beliau sangat condong dalam bidang keilmuan ; ilmu…

Guru beliau yakni, Muallim Marzuki (KH Ahmad Marzuki bin Mirsod bin Hasnum bin Khatib Sa’ad bin Abdurrahman bin Sultan Ahmad al-Fathani) merasakan atmosfir kecerdasaan dari Mursyidi muda sewaktu mondok di Pondok Pesantren selama kurun waktu 4 tahun.

Pondok pesantren yang didirikan oleh Guru Marzuki yang berlokasi di Cipinang Muara, Jakarta, itu begitu legendaris. Lembaga pendidikan tersebut diperkirakan berdiri dalam rentang lima abad pasca pembangunan Pesantren Syekh Quro di Karawang. Lokasi pesantrennya berada di Kampung Muara, Jakarta Timur. Di sana, Guru Marzuki mengajar dan menulis kitab-kitab. Para santri yang belajar dan berguru kepadanya tidaklah hanya dari Jakarta atau Jawa, tetapi juga luar Jawa.

Ketika itu, para santri yang mondok terbiasa hidup bersahaja. Misalnya, santri tidur di atas lantai yang hanya beralaskan tikar rotan, dan mandi dengan sumber air pancuran saja.

Pada waktu itu suasana di lingkungan Cipinang Muara masih marak ditumbuhi pepohonan rimbun, alih-alih jalanan aspal tebal atau beton bangunan yang kokoh dengan sorotan kilauan cahaya lampu-lampu jalanan kota.

Mengenal Lebih Dekat Hingga Akhir Hayat.

Ahmad Mursyidi, lahir di Klender Jakarta Timur pada 15 November 1915. Ia lahir dari pasangan H. Maisin dan Hj. Fatimah. Pada 1926, ia masuk ke Sekolah Rakyat di daerah Pulo Gadung Jakarta Timur. Pada sore harinya, ia menempuh pendidikan agama kepada ustadz Abdul Qodir di Pondok Bambu. di bilangan Jakarta Timur. Pada 1930, ia berkesempatan untuk mengikuti tes masuk Noormal School, namun ia tidak mendapat izin dari KH. Maisin yang menginginkan Ahmad Mursyidi menjadi seorang ulama.

Atas keinginan orang tuanya itu, Ahmad Mursyidi belajar agama dan bermukim di pesantren guru Marzuki, di Kampung Muara Cipinang Lontar Jakarta Timur. Disitu ia menetap (mondok) selama 4 tahun. Ketika Guru Marzuki meninggal dunia, ia pindah ke pesantren Ajengan Toha di Plered Purwakarta. Di pesantren tersebut ia memperdalam ilmu tauhid, fiqih, hadist, tafsir, nahwu shorof, balaghah, dan ilmu logika. Ia kemudian melanjutkan belajarnya kepada KH Ahmad Thahir Jam’an di Cipinang Muara dan Muallim H. Gayar Klender yang kemudian menjadi mertuanya.

Di masa hidupnya, Kiai Mursyidi dikenal sebagai seorang ulama yang dermawan, tawadhu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga dikenal sebagai seorang pejuang, da’i dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat. Beliau (KH Ahmad Mursyidi) berpulang ke rahmatullah pada 08 April 2003 dan dimakamkan di samping masjid Nurul Islam, Jl. KH Maisin Kampung Bulak Klender, Jakarta Timur. Hingga kini makam beliau masih di ziarahi oleh para jamaah dan murid-muridnya yang tersebar di DKI Jakarta dan sekitar, juga para santri dari berbagai pondok pesantren.

Bahkan tokoh ulama KH. Ma’ruf Amin yang kala itu masih menjadi kandidat paslon di pilpres 2019, juga menziarahi makam KH. Ahmad Mursyidi sebagai bentuk upaya tabarrukan. KH Ma’ruf Amin (KMA) sekaligus bersilaturahmi ke mantan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta KH Munzir Tamam (Almaghfurllah) adik kandung dari KH Ahmad Mursyidi, yang kediamannya tepat berada di depan area pemakaman, di Jalan KH Maisin Nomor 30, Klender, Jakarta Timur.

Guru Mursyidi dan Guru-Gurunya

Berkat kesungguhannya, Kiai Mursyidi yang pernah menempuh proses belajar dengan KH. A. Thohir Jam`an dan juga mertuanya, Mu`allim Ghayar, bapak dari KH. Hasbiyallah dan KH. Hasbullah. Muallim Ghayar, yang nama lainnya adalah KH. Anwar.

KH Anwar merupakan ulama Betawi terkemuka dan tidak terlepaskan dari sejarah Masjid Jami` Al-Makmur, Klender, Jakarta Timur yang menjadi salah satu tempat rukyatul hilal di tanah Betawi. Muallim Ghayar menurut beberapa pendapat merupakan seangkatan dengan Guru Marzuki (sekitar tahun 1930-an).

Secara biologis, Guru Marzuki mempunyai keturunan yang berasal dari bangsawan Melayu Pattani, sebagaimana nasab melalui ayahnya sampai kepada Sultan Laqsana Malayang, salah seorang sultan Melayu di Negeri Pattani Thailand Selatan. Sedangkan ibunya, Hajjah Fatimah binti Syihabuddin bin Magrabi al-Maduri berasal dari pulau Madura dan keturunan Maulana Ishaq, Gresik Jawa Timur.

Guru Marzuki di tahun 1907/08 beliau pergi ke Mekkah untuk menuntut ilmu, dan kembali ke Jakarta pada 1913/14 M. Dan di antara guru-guru beliau ketika di Makkah antara lain adalah Syekh Usman al-Sarawaqi, Syekh Muhammad Ali al-Maliki, Syekh Muhammad Amin, Sayyid Ahmad Ridwan, Syekh Hasbullah al-Misri, Syekh Mahfuz al-Termasi, Syekh Salih Bafadhal, Syekh Abdul Karim, Syekh Muhammad Sa’id al-Yamani, Syekh Umar bin Abu Bakar Bajunayd, Syekh Mukhtar bin ‘Atarid, Syekh Khatib al-Minangkabawi, Syekh al-Sayyid Muhammad Yasin al-Basyumi, Syekh Marzuki al-Bantani, Syekh Umar Sumbawa, Syekh Umar Syatha, dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.

Keberkahan ‘muara’ ilmu yang diserap oleh Kiai Mursyidi dari Sang Guru, Guru Marzuki tentulah tercermin di dalam sosok perangai beliau serta pemikirannya yang mereduksi pandangan-pandangan tentang peradaban bangkitnya khazanah

Madrasah pada masa itu di kalangan masyarakat betawi. Sebab madrasah yang telah lama berdiri di tanah betawi tentu memiliki sanad ilmu yang sangat jelas dalam membangun dan mengembangkan pendidikan islam, sebagaimana Pondok Pesantren/Madrasah Al-Falah yang didirikan dan dirintis oleh Kiai Mursyidi, Klender.

Baca Juga  Biografi Lengkap KH Ahsan Ghozali Beserta Ajarannya

Sejarah Al Falah Klender, memiliki kisah dan cerita yang sangat luar biasa perjuangannya dan memberikan rasa bangga, karena “Anak Betawi, Kiai lagi bisa bikin dan ngerintis sekolahan atau madrasah” terang salah seorang sanak-familinya.

Berawal pada tahun 1935 Mulai diterapkan Sistem Klasikal (madrasah) siang hari, dan malam harinya diterapkan sistem pesantren. Lalu pada tahun 1945-1950 Madrasah sempat terhenti, karena para santri dan guru ikut perjuangan fisik melawan pasukan Belanda dan pada akhirnya pada 1 Januari 1950 sebagai peletakan batu pertama pembangunan Madrasah Al-Falah.

Dengan kekayaan khazanah sejarah itulah, wujud madrasah menjadi satu simpul ilmu bagi generasi masa kini untuk melakukan pengkajian teks sastra filologi keislaman, seperti;  ilmu Sastra, Ilmu Fiqh, dan Ilmu Tasawuf. Dengan menerapkan pola sufistik dan legalistik adalah pola perkembangan keislaman yang hampir merata pada masa kemunduran di dunia Islam, yaitu suatu pola yang lebih menekankan rasa beragama daripada aspek pemikiran dan pembaharuan dari perubahan zaman. Karena perubahan bagi tubuh umat Islam itu sendiri adalah ujian. “Seorang manusia atau muslim tidak akan berharga jika tidak mempunyai pendirian yang tangguh dan teguh di dalam jiwanya.” begitu bunyi kutipan dari terjemahan karya beliau (KH. Ahmad Mursyidi “Tadzkir Dzawil al’uqul fi Istbat Shidiq al-Rasul”.

Intelektualnya Ulama Betawi dan Pesona Karyanya

Dalam tradisi pesantren, kitab-kitab keagamaan itu disebut kitab-kitab Islam klasik (Dhofier, 1982: p. 50) atau juga disebut kitab kuning karena kertas pada halaman sebagian kitab-kitab tersebut berwarna kuning. Dilihat dari perspektif wadah (corpus), sastra pesantren mewujud, sebagian besar, dalam bentuk kitab-kitab berbahasa Arab dengan berbagai macam corak. Dilihat dari perspektif keislaman.

kitab yang nonfiksi, kitab yang fiksi, dan kitab yang isinya gabungan antara nonfiksi dan fiksi. Dilihat dari sisi resepsi, sastra pesantren mewujud dalam bentuk kitab-kitab transformasi yang ditulis oleh para kiai dan santri sebagai sambutan atas kitab-kitab hipogramnya

Pesantren merupakan subkultur dalam universum kebudayaan Indonesia. Akan tetapi, pesantren yang bergerak sebagai lokomotif institusi kultural yang melahirkan karya sastra pesantren sampai saat ini belum mendapat perhatian yang memadai dari para pemerhati, kritikus, dan ahli sastra, padahal tidak sedikit karya sastra pesantren yang menguatkan dan mengembangkan budaya lokal.

Pertalian antara relasi agama dan tradisi budaya dari buah karya yang ditulis oleh beliau, Ahmad Mursyidi, kitab “Tadzkir Dzawil al’uqul fi Istbat Shidiq al-Rasul”. Bagi diri penulis karya kitab beliau itu ibarat, “Pengetahuan yang bersinar akan berusia panjang”.

Teori relasi agama dan budaya sejak lama menjadi perhatian para pakar sosial dan antropologi. Dalam karya beliau tersebut yang telah dialih bahasakan ke dalam Bahasa Indonesia oleh, Baharudin, MA., MPd. yang juga merupakan dosen pengajar Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia JAKARTA (STAIINDO JAKARTA). Dalam terjemahan buku tersebut dijelaskan bahwa sejarah mula menulis manuskrip beliau (KH. Ahmad Mursyidi) berawal dari kegelisahannya atas kebutuhan masyarakat di wilayah Kampung Bulak Klender yang juga muridnya dalam mendalami keilmuan Agama Islam.

Sebagaimana dijelaskan dalam risalah ini, beliau (KH Ahmad Mursyidi) mengombinasikan antara pendekatan ilmu, pembersihan, dan keikhlasan jiwa setiap muslim. Semoga dengan kitab karya beliau yang telah dialih- bahasakan ke Bahasa Indonesia, akan menambah khazanah keilmuan dan referensi buku-buku yang baik bagi generasi masyarakat betawi dan orang-orang  yang mendambakan sikap hidup yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. dan sejalan dengan sikap hidup para Ulama pendahulu kita yang saleh dan perangainya yang santun serta terpuji. Semoga Allah Swt. selalu melimpahkan rahmat-Nya.

Meneladani keilmuan beliau melalui karya “Tadzkir Dzawil al’uqul fi Istbat Shidiq al-Rasul”. Berisikan materi-materi dari Ulama al-mutaqaddimin telah sangat baik dalam memberi petunjuk di dalam setiap karya kitab-kitabnya, dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan dan segala ihwal dari masalah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) agar tidak mudah dalam memvonis bid’ah.

Penerjemah Baharudin, MA., MPd yang telah alih bahasakan karya beliau yakni “Tadzkir Dzawil al’uqul fi Istbat Shidiq al-Rasul”. Menerangkan dalam buku cetakan tersebut berjudul; “KH. Ahmad Mursyidi, Pendiri Perguruan Islam Al-Falah Jakarta Timur. Sifat Siddiq Terhadap Nabi”.

Bahwa manuskrip tersebut menjelaskan dan menjabarkan banyak hal, antara lain; Sebuah risalah yang didalamnya tercantum beberapa masalah yang bertalian dengan persoalan-persoalan keseharian dan tiap-tiap mukallaf yang berpedoman kepada ulama-ulama yang dahulu karena zaman dahulu berlainan dengan keadaan zaman sekarang.

Sebagaimana dengan maqolah Ulama dan qaul al-arif billah Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitab Risalah al-Mu’awanah ;

Artinya: Allah ta’ala menuturkan Ulama tiap-tiap zaman dengan barang yang muwafaqah kepada ahli zaman itu.

Perubahan itu adalah ujian kepada umat islam, supaya diketahui sampai di mana keteguhan pendirian dan kuat keyakinan yang ada di dalam diri umat islam karena hidup seorang manusia itu tiada akan berharga jika tiada mempunyai pendirian yang teguh dan keyakinan yang penuh di dalam jiwanya. Sayyid Abdullah al-haddad mengatakan;

(Allah Ta’ala menuturkan Ulama tiap-tiap zaman untuk menyatakan barang yang haq dengan cara dan kayfiyyah yang dapat diterima dan dipahami oleh ahli zaman itu dengan tiada menyimpang dan tiada bertentangan dengan petunjuk-petunjuk dan maqolah utama yang terlebih dahulu daripadanya.

Kitab Tadzkir Dzawil al’uqul fi Istbat Shidiq al-Rasul” yang telah dialih bahasakan itu merupakan cetakan dari kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia Jakarta (STAIINDO JAKARTA) yang beralamat di Kampung Bulak, No. 39A Kelurahan Klender, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.

Dalam risalah Kitab ‘Tadzkir Dzawil al’uqul fi Istbat Shidiq al-Rasul’ yang dialih bahasakan ke Bahasa Indonesia adalah sebuah kesederhanaan pemahaman yang berlandaskan cinta dan ilmu pengetahuan serius. Terdapat kesetaraan  intensitas antara kedalaman batin dan keterampilan berbahasa, juga antara pengalaman hidup dan penggunaan kata-kata yang mudah dicerna oleh orang-orang awam yang mempertanyakan, ‘Aswaja’ (Ahlusunnah wal jama’ah) itu apa?. Beliau KH Ahmad Mursyidi mengajarkan tentang pengabdian tanpa harga di dalam merawat dan melestarikan amaliyah Aswaja an-Nahdliyah NU (Nahdlatul Ulama) diantaranya:  Yasin dan Tahlil, Ziarah Kubur, Maulid Nabi Muhammad SAW, Istighosah, Doa Qunut, Talqin, Menerapkan adzan 2 kali saat Shalat Jum’at dan Merujuk pada Kitab Kuning.

Beliau mencerminkan watak asli dari karakteristik dari seorang santri yang tidak suka menonjol-nonjolkan diri. Karena bagi para santri yang paling utama harus ada berkahnya dan harus ada manfaatnya, sebagaimana bunyi hadist yakni ;

وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Al-Qadlaa’iy dalam Musnad Asy-Syihaab no. 129, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 5787).

Hadits tersebut kerap diucapkan para juru dai dalam tiap majelis pengajian maupun saat khutbah Jumat. Dalam Al Qur’an, orang yang berbuat baik kepada sesama akan mendapat ‘predikat’ dan award (Penghargaan). Karena sebaik-baiknya makhluk. Balasan bagi orang beriman yang beramal saleh atau berbuat baik kepada orang lain dengan memberikan sedekah dan menafkahkan hartanya untuk kepentingan masyarakat tidak lain adalah Surga ‘Adn.

Secara esensial risalah dari kitab karya ‘Tadzkir Dzawil al’uqul fi Istbat Shidiq al-Rasul’ yang telah dialih bahasakan ke Bahasa Indonesia, “KH. Ahmad Mursyidi, Pendiri Perguruan Islam Al-Falah Jakarta Timur. Sifat Siddiq Terhadap Nabi”.

Mengandung pesan-pesan kehidupan bernafaskan keislaman yang terabadikan dalam setiap lembaran risalah beliau. Hikmah-hikmah episode kehidupannya yang melahirkan pemikiran kejeniusan seorang pejuang kemerdekaan sekaligus  kiai, namun tidak melupakan pertalian tradisi budayanya dalam panggung sejarah perkembangan pendidikan Islam di tanah betawi. Sehingga perspektif islam yang kental dengan tradisional- kultural berpadu syahdu dengan cinta kepada Rasul dan Tuhan dalam simpul ilmu pengetahuan yang seakan-akan bersatu dalam dirinya.

Baca Juga  Silsilah Keluarga KH Muhammad Munawwir Krapyak

Mungkin, 100 Tahun baru akan lahir lagi orang arif dan bijaksana seperti beliau (KH Ahmad Mursyidi). Kiai Mursyidi mencari hakikat yang tersembunyi dalam keindahan Islam yang hakiki. Pada buku tersebut juga dijabarkan apa itu Izzah. Sebagaimana yang tertera dalam buku “KH. Ahmad Mursyidi, Pendiri Perguruan Islam Al-Falah Jakarta Timur. Sifat Siddiq Terhadap Nabi” ;

“Dan yang dikehendaki dengan wajib yang menunjuki atasnya oleh beberapa dalil yaitu wajib tetap segala ini sifat bagi zat bukan adanya pada dirinya. Karena bahwasanya ma’na wajib bersifat dengan Dia yaitu bahwasannya tiada boleh pada akal oleh tiadanya (suhaimi 194) dan kita yakin bahwa “pengutusan rasul” itu ja’iz bagi Allah ta’ala ;

“Dan Allah melakukan segala sesuatunya sesuai dengan kehendakNya dan memutuskan segala hal sesuai dengan izzahNya.”

Izzah bukan pencitraan, karena izzah adalah perintah agama untuk menunjukan betapa mulianya Islam sebagai sebuah ajaran bagi kehidupan manusia. Izzah merupakan refleksi sebuah harga diri yang mulia dan agung. Izzah ini harus ada dan tumbuh dalam hati setiap mukmin dan menjadi penghias setiap relung jiwa. Izzah juga merupakan kemuliaan, kehormatan dan kekuatan. Sumber terciptanya rasa dan perilaku Izzah bersumber pada Allah Rabbul ‘Alamiin. sifat kemanusiaan. Sifat jaiz Allah hanya ada satu yaitu fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu yang artinya Allah mungkin mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya.

Allah SWT menciptakan segala sesuatu atas kehendaknya sendiri  dengan Qudrat (kuasa-Nya) dan Iradat (kehendak-Nya). Oleh karena itu, bisa jadi, bagi Allah juga untuk meninggalkan sesuatu sesuai kehendak-Nya.

“’Izzah itu milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.” (QS Al-Munafiqun 63:8)

‘Izzah’ adalah akhlak tinggi dan mulia yang dicintai oleh Allah. Bahkan akhlak ini merupakan sifat hamba-hamba Allah yang shalih, senantiasa memuji keagungan Allah, takut pada siksa serta murka Allah dan selalu mencari keridhoan pahala-Nya.

Kitab itu “Tadzkir Dzawil al’uqul fi Istbat Shidiq al-Rasul”, menyebutkan sifat jaiz bagi Allah adalah melakukan hal-hal yang mungkin dan (atau) meninggalkan segala hal yang mungkin itu boleh bagi Allah. Bahwa qudrat iradat tiada bergantung kepada yang wajib dan yang mustahil dan pula. Dengan ini hujjah kami berpendapat bahwa orang yang berkata wajib tsubut shidq rasul itu bertentangan dengan ini qa’idah.

Rasul juga memiliki sifat jaiz, yang hanya ada satu yaitu al-‘ardul basyariyah, yaitu sifat-sifat yang sama dengan manusia pada umumnya. Seperti memiliki rasa lapar, haus, sakit, sedih, lelah, dan seterusnya.

Secara bahasa, a’radhul basyariyah berarti sifat yang biasa terdapat pada manusia. Artinya, satu-satunya sifat jaiz yang dimiliki rasul tersebut adalah kesamaan sifat rasul dengan manusia biasa. Namun, sifat-sifat tersebut tidak lantas mengurangi martabat nabi dan rosul yang mulia. Hal ini dikarenakan para rasul ma’shum (terpelihara) dari segala perbuatan maksiat.

Mengenai perihal sifat a’radhul basyariyah bagi rasul dijelaskan dalam surat Al Furqan ayat 20,

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ ۗ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu (Muhammad), melainkan mereka pasti memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat.”

Selain a’radhu basyariyah, para rasul juga memiliki sifat wajib yang melekat pada dirinya. Sifat-sifat yang wajib dimiliki para rasul adalah sebagai berikut,

Siddiq, artinya benar. Seorang rasul selalu benar dalam perkataan dan perbuatan.

Amanah, artinya dapat dipercaya. Mereka dapat dipercaya untuk menyampaikan seluruh pesan yang diperintahkan oleh Allah, tanpa ditambah atau dikurangi. Tabligh, artinya menyampaikan wahyu. Seorang rasul adalah penyampai wahyu Allah kepada manusia. Sekalipun untuk menyampaikannya sangat pahit, bahkan mendapat rintangan berat.

Fatanah, artinya cerdas. Dengan kecerdasannya mereka dapat memberikan keterangan secara benar sehingga manusia dapat mengerti dan memahami hal yang diajarkan.

“Bermula akal itu seperti lampu dan Syara’ itu seperti minyak”, sebuah pesan kehidupan yang mencerminkan sisi “romantisme” beliau dalam meramu dan meracik antara kedalaman batin dan keterampilan berbahasa. Juga ada keberkahan dari perjalanan hidup beliau yang pernah mondok di beberapa pondok pesantren di masa-masa pencariannya, barulah beliau mendirikan Pondok Pesantren/Madrasah Al-Falah yang didirikan dan dirintis oleh Kiai Mursyidi, Klender.

“Karena merawat cita-cita tak semudah berkata-kata.” Ghirah (semangat) berkah inilah yang kemudian saya tafsirkan bahwa kekhusyu’an beliau dalam menulis kitab “Tadzkir Dzawil al’uqul fi Istbat Shidiq al-Rasul”, adalah cerminan dari atmosfir kejeniusan KH Ahmad Mursyidi yang pernah menjadi seorang santri, hingga beliau dipanggil “Kiai” oleh kalangan masyarakat di DKI Jakarta, khususnya wilayah Jakarta Timur dan sekitarnya.

Ada satu hal yang mengena dalam diri saya, sewaktu saya “memburu rindu” akan sosok beliau, dari peran politik dan realitas sosial beliau itu memberikan pesan-pesan kehidupan bahwa mencari keberkahan dengan menjadi seorang santri serta ta’dhim kepada para guru merupakan yang paling utama. Karena secara mental beliau,  (KH Ahmad Mursyidi) lebih siap untuk tidak terkenal. Dengan meng-capture kisah kehidupan dan kepribadian beliau yang santun dan menjadi panutan itulah, penulis mendapati bahwa dalam dimensi kehidupan yang taat pada adat istiadat, dan norma-norma agama Islam akan melahirkan jiwa ‘Ksatria’ dalam diri kita.

Karena begitu menakjubkan sekali pandangan-pandangan (KH Ahmad Mursyidi) yang melalui ketajaman batinnya memberikan pedoman dalam bidang literasi dalam hal ini adalah Kitab Tadzkir Dzawil al’uqul fi Istbat Shidiq al-Rasul, yang sangat menyentuh relung jiwa. Kiai Mursyidi lahir dari keluarga pejuang dan dari kalangan santri tradisional yang kehidupan sehari-harinya berurusan langsung dengan sosial, agama, dan tradisi budaya betawi.

“Ada mata yang berbinar-binar setelah menceritakan kembali kisah perjuangan Kiai Mursyidi. Ada pertemuan antara rindu dan ilmu yang begitu syahdu dan saling menggembirakan kalbu. Jejak-jejak bijak beliau (Kiai Mursyidi) yang mengajak kepada kebaikan serta warisan keilmuan yang terabadikan dalam karya “Tadzkir Dzawil al’uqul fi Istbat Shidiq al-Rasul”. Jelas segala hal-hal yang berkaitan dengan simpul tali tradisi dan kontribusi Ulama betawi terhadap negeri ini, tentu semua itu menguras perasaan takdzim saya saat mendengar kisah beliau dan menuliskannya.

Sebagaimana, pasukan cinta telah berkemah di benakku, lalu memberikan petuah padaku ; “Cinta terbaik itu adalah rasa cinta kepada seseorang yang membuat akhlak kita semakin baik.”

Mataku meneteskan butiran air penyesalan karena berdosa, mengaduk derita cinta ini kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW di hatiku melalui karya risalah “Tanda Cinta”, saya menyebutnya begitu sebagai ungkapan cinta dari seorang santri kepada sosok Kiai yang saya kagumi dan hatiku mengirim air mata keta’dhiman dari pengajaran Agama yang terabadikan dalam risalah: Tadzkir Dzawil al’uqul fi Istbat Shidiq al-Rasul, karya dari ulama betawi yang tidak menonjol-nonjolkan diri, beliau memainkan peran terpuji dan menghasilkan efek yang luar biasa bagi ilmu pengetahuan Agama serta melestarikan tradisi khazanah literasi manuskrip karya ulama betawi yang masyhur di Jakarta Timur (KH Ahmad Mursyidi) hingga se-antero DKI Jakarta.

Orang tahu bahwa saya adalah seorang pemuda yang sedang jatuh cinta pada karya risalah yang ditulis oleh KH Achmad Mursyidi.

(Penulis adalah lulusan Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok. Dan lulusan dari Program Studi (KPI) Komunikasi dan Penyiaran Islam, STAI INDONESIA JAKARTA). Penulis juga aktif menulis Cerpen di dawuhguru.com)

Tinggalkan Balasan