Oleh: Abdul Halim Fathani*
Sering kita mendengar, pernyataan yang memiliki kata kunci ‘sederhana’. Misalnya: Bahagia itu sederhana, Orang itu sederhana, rumahnya sederhana, penampilannya sederhana, mobilnya sederhana, dan pernyataan-pernyataan lain yang sejenisnya. Kata ‘sederhana’, inilah titik tekannya. Sebenarnya, apa sih arti dari kata sederhana ini.
Jika kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘sederhana’ memiliki arti: (1) bersahaja; tidak berlebih-lebihan; (2) sedang (dalam arti pertengahan, tidak tinggi, tidak rendah, dan sebagainya); (3) tidak banyak seluk-beluknya (kesulitan dan sebagainya); tidak banyak pernik; lugas. Dari arti tersebut, jelas sekali bahwa sederhana itu berada posisi ‘netral’. Merujuk pada arti dalam KBBI tersebut, kita perlu melekatkan kata ‘sederhana’ ini dalam kehidupan yang kita lakoni sehari-hari.
Sebagai manusia, tentu kita memiliki kebutuhan dasar agar dapat memiliki ketahanan dalam mengarungi kehidupan. Kebutuhan dasar tersebut tentu merupakan sesuatu yang penting untuk dipenuhi. Di antara kebutuhan dasar tersebut adalah: makan, minum, istirahat, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan.
Dalam hal memenuhi kebutuhan dasar tersebut, kadang masih ditemukan di antara kita yang memiliki paradigma yang ‘salah kaprah’. Salah kaprah di sini maksudnya adalah salah dalam memaknai kebutuhan hidup tersebut. Kadang memiliki pemahaman yang tidak utuh untuk membedakan antara mana yang termasuk kebutuhan dan mana yang termasuk keinginan. Misalnya saja, terkait dengan kebutuhan untuk memiliki ‘mobil. Perlu atau tidak ? Ini merupakan kebutuhan atau keinginan?
Kalau dalam kenyataannya, jarak dari rumah tempat tinggal dengan tempat kerja, cukup dekat, dan bisa ditempuh menggunakan kendara bermotor roda dua, maka apakah perlu ‘terdesak’ untuk berupaya membeli mobil? Atau jangan-jangan dengan membeli mobil tersebut, justru dapat membantu keluarga, jika ada acara keluar kota, untuk silaturrahim ke keluarga yang lain. Atau bisa jadi jika ada acara keluar kota, masih bisa dicari solusi dengan menyewa mobil sesuai dengan lama kebutuhannya. Tentu, harus cerdas memilih, antara kebutuhan atau keinginan? Ini suara hati yang tulus atau suara akal yang tidak jernih? Di sinilah pentingnya memiliki mental menjadi orang yang senantiasa pandai untuk bersyukur.
Hakikatnya, Islam mengajarkan kita semua untuk selalu hidup sederhana. Islam tidak pernah mengajarkan manusia hidupnya dilakoni secara ‘berlebih-lebihan’. Dalam Islam, istilah ‘sederhana’, ini bisa disebut dengan istilah ‘washatiyah’. Hidup yang penuh dengan kesederhanaan itu bukan berarti hidup yang selalu dalam posisi yang terus merasa kekurangan, bukan juga berarti hidup secara pasif, tanpa mau berikhtiar. Tetapi, sederhana dalam kehidupan itu memiliki makna hidup yang seimbang, ”Khayru umurin awshatuha” sebaik-baiknya perkara itu adalah yang sederhana atau seimbang.
Nabi Muhammad saw sudah mengajari kita dalam urusan mendidik keluarganya dan umatnya, untuk mengajarkan kesederhanaan dalam dinamika kehidupan. Tidak sedikit, manfaat yang akan diperoleh dari perilaku hidup sederhana. Di antaranya adalah kita akan bebas dari perasaaan was-was secara terus-menerus, perasaan yang penuh dengan kekhawatiran, kita akan memiliki mental tangguh yang percaya diri dalam melakoni kehidupan sehari-hari. Dengan hidup sederhana, kita juga akan dijauhkan dari sikap atau mental dari ‘keinginan’ untuk berbuat jahat. Ada anonim menarik yang perlu kita renungkan, “Ketika kamu menyukai apa yang kamu miliki, kamu memiliki semua yang kamu butuhkan.”
Perilaku hidup sederhana juga dapat mendorong seseorang menjadi individu yang memiliki untuk senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah swt yang dianugerahkan kepada hamba-Nya. Dengan memiliki mental bersyukur, maka kita sebagai hamba Allah swt, akan memiliki sikap positif dalam hidupnya, yang tentu akan dapat mempengaruhi perilaku sehari-hari dalam kehidupannya. Kita akan lebih mudah melakukan adaptasi menghadapi setiap perubahan dalam menghadapi kehidupan, termasuk dalam menghadapi masa pandemi Covid-19 ini.
Imam al-Ghazali telah mengingatkan kepada kita semua bahwa cara bersyukur kepada Allah swt itu dengan hati, lisan, dan amal perbuatan. Allah swt, surat Ibrahim ayat 7, berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhan kalian memaklumatkan, “Sesungguh¬nya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Sekarang, apa yang penting kita tanamkan? Kata kuncinya adalah membangun kesadaran diri dan memiliki kebiasaan hidup sederhana, yang selalu dilandasi karakter bersyukur atas segala nikmat yang telah dianugerahkan Allah swt. Gaya hidup sederhana dan selalu bersyukur atas nikmat Allah swt ini merupakan obat yang paling ampuh dalam menjalani kehidupan. Jika kita memiliki komitmen yang serius terhadap hal ini, maka niscaya dalam mengarungi kehidupan, kita akan selalu mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Semoga kita selalu mendapatkan kekuatan untuk menjadi pribadi yang ‘tahu diri’, komitmen untuk hidup sederhana, dan tidak lupa selalu bersyukur. Semoga menginspirasi. [ahf]