Oleh: Nama : Ahmad Fauzi
Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Teologi merupakan salah satu pondasi pada suatu agama yang memiliki fungsi yang penting, pemikiran teologi dari seseorang yang ahli teolog akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap umat penganutnya. Mengapa demikian?, karena sebagai pondasi agama yang penting, teologi akan menjadi dasar dan rujukan pertama jika seseorang penganut tersebut akan melakukan suatu hal yang dia ragukan. Sebab demikian, menurut Hasan Hanafi, maka dibutuhkan konsep teologi Teosentris dan Antroposentris sebagai penunjangnya.
Biografi Hasan Hanafi
Hasan hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di kota Kairo, Mesir. Ia memiliki darah Maroko, karena kakeknya berasal dari Maroko dan neneknya berasal dari bani Mur (Mesir).. (Achmad Baidhowi, Tafsir Tenatik menurut Hasan Hanafi, jurnal studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Vol. 10, No. 1, 2009, Hal. 38.)
keilmuan Hasan hanafi sudah terlihat sejak ia sekolah dijenjang Tsanawiyah, dimana ia sudah aktif dalam mengikuti kajian-kajian pada kelompok Ikhwanul Muslimin sehingga ia paham sedikit banyaknya tentang pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok dan aktivitas-aktivitas social yang dilakukan oleh kelompok ini. Dimasa perkuliahan ia tertarik dengan pemikiran-pemikiran sayyid Al-Quthb yang mengkaji tentang keadilan social dan keislaman. Setelah ia merampungkan perkuliahan pertamanya di kairo, selanjutnya ia melanjutkan pendidikan-nya di salah satu universitas yang cukup terkenal di Negara Perancis, disana ia memiliki fokus poembelajaran pada kajian pemikiran Barat modern dan Pra-Modern. (Khudori Sholeh, Filsafat Islam, (Sleman: Ar-Ruzz Media, 2014), Hal. 65).
Puncak karir yang didapat hasan hanafi di dunia intelektual dimulai pada tahun (1967-an), dimana pada tahun tersebut ia diangkat menjadi Lektor, kemudian pada (1973) ia diangkat sebagai Kepala Lektor, (1980) Profesor filsafat, selain itu ia juga aktif dibeberapa Negara dan perguruan tinggi Internasional sebagai dosen tamu maupun moderator dalam seminar-seminar Internasional, bahkan ia juga pernah menjadi penasihat program di Universitas PBB Jepang pada tahun (1985-1987). (AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), Hal. 16).
Hasan Hanafi selain menggeluti dunia akademik, ia juga aktif dalam organisasi kemasyarakatan, seperti: pada Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir (sebagai sekretaris umum), Anggota Ikatan penulis Asia-Afrika dan wakil presiden masyarakat Filsafat Arab. Pemikiranya tersebar di banyak belahan dunia Arab dan Eropa. Pada tahun 1918an Hasan Hanafi terjerat kasus yang mengakibatkan dirinya terbelenggu dijeruji penjara, hal tersebut terjadi karena ia menulis sebuah jurnal yang bertujuan untuk memojokkan dan memancing reaksi keras dari penguasa mesir pada saat itu, belum jelas apa yang dimaksud tersebut karena sejak tulisan itu terbentuk jurnal yang di himpun hasan hanafi tidak pernah berhasil publish.
Pada bukunya Khozuo Shimogaki yang berjudul “Kiri Islam” mengatakan bahwa Hasan Hanafi adalah seorang Modernis-Liberal, seperti Luthfi Asy-Sayyid, taha Husain dan Al-Aqqad. Hal tersebut bisa dibuktikan pada tulisanya yang memancing reaksi kemarahan dari penguasa mesir pada saat itu. (Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula (Yogyakarta: LKiS, 2021), Hal. 5).
Pemikiran Hasan Hanafi
Salah satu keprihatinan Hasan Hanafi adalah bagaimana ia bisa melajutkan suatu proyek yang selama ini belum bisa terselesaikan dengan baik yang ia desain untuk membuat khazanah islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Adanya pengaruh dari dunia barat yang pekat sehingga mengakibatkan Proyek yang ia susun tidak bisa terealisaikan.
Melihat kondisi umat islam dan pengaruh barat yang tidak bisa ditangkis lagi, Hasan Hanafi mengusulkan adanya gerakan refolusioner yang bernama “Kiri Islam” (al-Yasal al-Islami) dengan tiga pilar pokok dalam mewujudkan kebangkitan umat islam, revolusi islam dan kesatuan umat, Yaitu: Pertama, Revitalisasi Khazanah Islam Klasik. Kedua, Perlu adanya penentangan kepada peradaban barat. Ketiga, Analisis atas realitas dunia islam. (Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula (Yogyakarta: LKiS, 2021), Hal. 9).
Pada pemikiran Hasan Hanafi, ia memakai atau mengajukan suatu konsep baru tentang Teologi Islam. Pada hal ini bertujuan untuk menjadikan Teologi islam tidak sekedar suatu doktrin keagamaan yang kosong tanpa adanya makna, tetapi ia bisa dijadikan sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, sehingga menjadikan keimanan memiliki fungsi yang actual sebagai landasan dasar dan motivasi yang dijadikan oleh umat manusia.
Gagasan Hasan Hanafi tersebut memiliki suatu makna dan tujuan, untuk mengubah teologi yang bersifat Teosentris menuju Antroposentris, dari Tuhan kepada Manusia, dari Tekstual menuju Kontekstual, dari suatu Teori menuju Tindakan, dari Taqdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini berlandasan dua alasan. Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah teologi yang jelas ditengah pertarungan global yang dikelilingi berbagai ideologi. Kedua, tentang pentingnya suatu teologi baru yang bukan hanya memiliki sifat teoritik, akan tetapi sekaligus juga memiliki praktis yang juga bisa mewujudkan suatu gerakan dalam konteks sejarah. (AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, Itqa Press. Yoyakarta, 1998, Hal. 50).
Hasan Hanafi lagi-lagi memberikan sumbangsinya untuk Teologi islam, pada kali ini ia menawarkan suatu teori yang digunakan untuk mengantisipasi kekurangan teologi klasik yang bersifat teosentrik. Yaitu: Pertama, Analisa Bahasa. menurutnya bahasa dan lain-lainya pada teologi klasik memiliki nilai yang sangat tinggi, dimana hal tersebut merupakan suatu warisan yang diberikan oleh umat islam terdahulu yang seolah-olah menjadi suatu doktrin yang khas. Menurut Hasan Hanafi istilah-istilah dalam teologi islam pada masa klasik dulu sebenarnya tidak hanya merujuk pada hal yang bersifat Transendental dan Ghaib saja. Akan tetapi teologi juga berusaha mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan (empiric dan Rasional), seperti: iman, amal, dan imamah. Sedangkan teori kedua, Hasan hanafi menawarkan suatu teori yang bernama “Analisis realitas sosial”, teori ini ia rasa sangat diperlukan untuk mengetahui suatu latar belakang Historis-Sosiologis tentang munculnya suatu istilah Teologi pada zaman klasikdan bagaimana pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat yang memikutinya. (hanafi, Ideologi dan pembangunan, Hal. 408)
Hasan Hanafi tidak hanya menawarkan suatu cara tersebut saja, akan tetapi ia juga memberikan suatu arahan atau cara untuk merealisasikan teori yang ia sebutkan tersebut. Hasan hanafi menggunakan tiga metode berfikir sebagai penunjangnya tersebut, yaitu: Dialektika, Fenomenologi dan Hermeneutik. (Bertens, Filsafat Abad XX Prancis, Gramedia, Jakarta 1996, hal.235)
Pertama, menggunakan metode Dialektika, merupakan suatu metode pemikiran yang didasarkan atas asas perkembangan proses sejarah yang terjadi lewat konfrontasi dialektis saat tesis melahirkan antitesis dan selanjutnya melahirkan sintesis.
Kedua, Hasan Hanafi menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisis, memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, poltik dan ekonomi, realitas khazanah Islam dan tantangan Barat, yang kemudian dibangunlah revolusi. “Sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, katanya, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisa Islam di Mesir”. Dengan metode ini, Hasan Hanafi ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri, bahwa Islam adalah Islam yang harus dilihat dari kaca mata Islam sendiri, bukan dari Barat. (Hanafi, Muqaddimah fi ilm al-Istighrab, Kairo: Dar al-Faniyah, 1981, hal. 63)
Ketiga, metode hermeunetik untuk menjelaskan gagasannya mengenai antroposentrisme-teologis, dari wahyu kepada kenyataan, dari logos sampai praktis, dari pikiran tentang Tuhan sampai pada manusia. Apa yang disebut hermeunetik, bagi Hanafi bukanlah sekedar ilmu interpretasi, tetapi ilmu yang menjelaskan tentang keinginan Tuhan kepada tingkat dunia, dari yang sakral menjadi realitas sosial. Hermeunetik Hanafi dipengaruhi metode hermeneutik Bultmann, tetapi tidak terlalu siknifikan. Kelihatannya Hanafi menggunakan aturan hermeneutik secara umum yang bersifat triadic kemudian mengisinya dengan nuansa Islam sehingga menjadi khas Hanafian. (Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, Pustaka Firdaus Jakarta, 1991, hal.1)