Oleh : Bintang Pahlevi
Hari Guru Nasional kembali menjadi momen renungan bagi saya. Di tengah-tengah renungan ini saya teringat kembali beberapa dawuh dan kajian dari para kyai dan masyayikh tentang guru, pengajaran, dan bagaimana kita memaknai kembali istilah guru pada hari ini. Beberapa waktu yang lalu, saya juga sempat berbincang membahas akan hal ini secara tidak langsung, dengan beberapa kolega yang merupakan sesama “calon guru”, dari beberapa kampus pendidikan di Jawa Timur. Opini ini sangat dianjurkan untuk dibahas dan ditelaah bersama, atau menjadi bahan diskusi lanjutan oleh para pembaca, saya sangat mengharap adanya pembanding tulisan ini dari aspek atau sudut pandang yang berbeda.
Ketika disebutkan kata guru, yang banyak muncul di pikiran kita dan masyarakat umum, adalah sosok pengajar yang ada di sekolah, yang berseragam, aktif mengajar di kelas-kelas dan berhadapan langsung dengan murid. Setidaknya itu yang saya dapatkan dari lingkungan sekitar saya. Dalam KBBI pun, definisi guru adalah “orang yang pekerjaannya (profesinya) mengajar”. Tapi sejatinya, istilah guru pada awalnya tidak hanya terbatas pada hal-hal tersebut. Kata guru berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya adalah pendidik, pengajar ilmu pengetahuan, yang dihormati (karena jasanya). Jauh sebelum adanya pengaruh aspek sosial-ekonomi, istilah guru digunakan untuk menggambarkan sosok-sosok yang dihormati dan berjasa dalam bidang pendidikan. Bahkan dalam tradisi Hindu, istilah guru identik dengan sosok pendidik manusia dalam aspek spiritual. Sebut saja Sai Baba dan Dalai Lama, orang-orang India menyebut mereka dengan sebutan guru, meski yang mereka ajarkan bukan hanya tentang Hinduisme.
Mengajar, menurut hemat saya, adalah sebuah aktivitas yang dapat dilakukan oleh siapa saja, tentu sesuai dengan kapasitas mereka sendiri, dan tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat ekonomi-politik dan keprofesian. Rasulullah ﷺ misalnya, beliau adalah guru bagi para sahabat, dan bahkan bagi umat muslim seluruh dunia di hari ini, beliau masih menjadi guru yang utama dalam hal beragama dan berkehidupan. Tapi nyatanya, beliau tidak pernah meminta dan menerima imbalan yang bersifat materiil dalam hal pengajaran agama ini. Jadi dapat dimaknai bahwa Rasulullah ﷺ adalah seorang guru dan pendidik, secara status sosial, bukan secara profesi. Jika ada yang bertanya, kemudian apa profesi Rasulullah ﷺ? Profesi Rasulullah ﷺ adalah seorang pedagang dan penggembala.
Guru dalam arti seorang pendidik, adalah sebuah status sosial. Ia tidak terikat dengan aspek politik-ekonomi, melainkan merupakan sebuah tanggungjawab moral sosial. Mengajar adalah amaliyah nabawiyah. Kalau boleh saya elaborasi hadits Rasulullah ﷺ tentang ulama’ atau cendekiawan adalah pewaris para nabi, maka tanggungjawab inilah yang juga diwarisi oleh mereka, yang berbanding lurus bersamaan dengan ilmu dan kebijaksanaan yang dimiliki. Mengajar sejatinya bukan untuk urusan perut, keuangan, atau modal menjalani kehidupan sehari-hari, tetapi tentang bagaimana mendidik masyarakat untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik di hari esok. Salah seorang kolega pernah menyampaikan pandangannya pada saya, bahwa untuk menjadi seorang kyai, atau seorang pendidik yang benar-benar “mendidik”, maka haruslah menjadi sosok yang “sudah selesai dengan dirinya sendiri”. Dia tidak menghabiskan waktu dan energinya untuk memikirkan dirinya sendiri, tetapi lebih banyak berbuat untuk mendidik umat. Saya rasa hal-hal inilah yang mulai hilang dalam masyarakat kita.
Semua nabi dan rasul, tidak berprofesi sebagai guru, tidak mencari penghidupan dengan cara mengajar. Nabi Adam, adalah seorang petani. Nabi Idris, adalah seorang penjahit. Nabi Dawud adalah seorang pengrajin tenun, yang memilih untuk tidak makan dari hasil pengelolaan kerajaannya melainkan hanya makan dari hasil jualannya. Nabi Musa dan Muhammad ﷺ, yang keduanya merupakan pengajar Kitabullah, adalah seorang penggembala. Status sosial sebagai pendidik tidak terlepas dari beliau kesemuanya, dan dengan profesi yang berbeda-beda itulah beliau kesemuanya mencari penghidupan. Karena perbedaan yang jelas dan tidak bersinggungan inilah, proses pengajaran yang beliau lakukan tidak terkendala dengan aspek yang lain. Pengajaran ala Rasulullah ﷺ yang mengajar dengan penuh tulus ikhlas dan tanpa mengharap imbalan, telah membawa agama ini menghasilkan generasi terbaik yakni pada era pembesar-pembesar sahabat memimpin Islam sepeninggal Rasulullah ﷺ.
Al-Qur’an juga telah memberikan rambu-rambu kepada umat tentang bagaimana cara menemukan “guru” yang tepat. Yakni dalam QS. Yasin ayat 21, “Ittabi’ū man lā yas’alukum ajran wa hum muhtadūn”. Ikutilah mereka yang tidak meminta imbalan padamu, dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Jadi salah satu, indikator kemurnian atau keikhlasan dalam mendidik adalah “tidak meminta imbalan”. Lebih baik lagi, jika seorang pendidik tersebut tidak hanya “tidak meminta imbalan”, tetapi juga “tidak mengharapkan imbalan”. Dengan memurnikan niatnya untuk mendidik umat dan generasi bangsa, seorang pendidik akan lebih fokus dan telaten untuk mendampingi muridnya, tanpa terpikirkan tentang bagaimana kondisinya sendiri di hari esok. Tetapi sekali lagi, hal ini sangat tidak mudah, jika kita berkaca pada kondisi kita sekarang. Dengan tingkat kesejahteraan guru yang relatif rendah, maka kualitas pendidikan pun juga akan mendapat pengaruhnya. Aspek ekonomi-politik terlalu kuat mempengaruhi aspek pendidikan dan kehidupan sosial kita. Tapi apa yang bisa kita lakukan sebagai seorang guru? Selain fokus untuk ikhlas beramal dan menata niat kembali. Biarlah soal ekonomi-politik diperjuangkan oleh kolega kita dari politisi dan akademisi. Mengubah diri sendiri akan lebih mudah dibandingkan menyalahkan keadaan tanpa ada usaha untuk perbaikan. Yang terakhir, untuk menutup tulisan ini, sudahkah kita selesai dengan diri sendiri?