Filsafat Sejarah Menurut Ibnu Kaldun

Oleh :Ghina Mufidah

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya

Ibnu Khaldun merupakan seorang tokoh filsuf Islam yang lahir di Tunis, pada 1 Ramadhan 732 H atau setara dengan 27 Mei 1332 M. Beliau merupakan keturunan Hadramaut yang berasal dari Yaman dan hijrah ke Andalusia. Ayahnya dan kakeknya merupakan seorang ‘alim dan bernasabkan Abd al-Raḥmān bin Muḥammad bin Muḥammad bin al-Ḥassan bin Jabīr bin Muḥammad bin Ibrāhīm bin  Abd al-Raḥmān bin Khaldūn[1].

Dalam sebuah karyanya yang ia ciptakan di awal karirnya yang berjudul Muqaddimah, Ibn Khaldun menafsirkan bahwa sejarah memiliki berbagai macam pendekatan. Sejarah membawa kita menggeluti kondisi yang terjadi di masa lalu dan membuat kita menjadi kenal dengan tokoh-tokoh, pemimpin beserta dengan kebijakan-kebijakanya. Penulisan sejarah pun juga tidak bisa asal-asalan. Seorang penulis sejarah harus memiliki kelengkapan data serta banyaknya referensi dan keahlian dalam beberapa cabang ilmu agar tercipta sebuah dokumentasi sejarah yang mumpuni. Seorang sejarawan harus berpemikiran spekulatif agar terhindar dari kesalahan dalam penulisannya.

Ibnu Khaldun menjabarkan bahwa pemerintahan merupakan bagian penting dari sejarah. Ia menyatakan bahwa pemerintahan merupakan alat untuk mempromosikan produk-produk pendidikan dan keahlian serta mengangkat informasi dan peristiwa historis. Daulah yang dibawa harus benar dan tanpa adanya unsur yang mempengaruhi seperti unsur pribadi, pertikaian, pengkhianatan, dll. Realitas sejarah juga bergantung pada pergantian kekuasaan. Ibnu Khaldun memandang bahwa jika suatu daerah telah berganti penguasanya, maka mau tidak mau adat di suatu daerah itu juga akan sedikit berubah mengikuti kebijakan sang penguasa baru tersebut, meskipun adat itu sudah terjadi sejak nenek moyang suatu daerah itu.

Ibnu Khaldun menggali kajian sejarah karena ia ingin menguasai banyak cabang ilmu. Khaldun yang suka membaca ini tidak merasakan keberatan dengan membaca banyak sekali buku dibandingkan ia penasaran seumur hidup. Namun, menurutnya ilmu sejarah merupakan ilmu yang istimewa. Dalam mengkaji sejarah, ia menemukan banyak hal yang tidak masuk akal seperti riwayat peperangan di Israel yang disebut sejarah menyertakan 600,000 orang pasukan dari salah satu pihak, sementara wilayah kronologinya tidak dapat terbayangkan pasukan sebanyak itu. Termasuk juga ia mengkritisi penafsiran sejarah yang ada di dalam al-Qur‘ān, saat itu para penafsir sering menukil Surat al-Fajr ayat 6-7, yang menafsirkan bahwa kaum ‘Ad merupakan penduduk asli Iram. Iran sendiri menurut Khaldun bukanlah sebuah kota, melainkan pilar atau orang pilar[2].

Baca Juga  Filsafat Sejarah

Latar Belakang Pemikiran Filsafat Sejarah Ibn Kaldun

Ibnu Khaldun memulai pemikirannya dengan menganalisis lingkungan disekitar beliau. Ia memulainya dengan menganalisa sebuah suku yang berada di Afrika Utara yang bernama suku Al Barbar. Al barbar adalah penduduk asli Afrika Utara yang sudah ada sejak jaman nomaden dan menyebar di seluruh Mediterania.

Ibnu Khaldun mulai menganalisis mereka sejak jaman nomaden, yang mana pada jaman ini merupakan zaman yang amat tertinggal dari perkembangan. Pada zaman nomaden manusia masih dikuasai oleh alam, mereka hidup di alam dan bergantung pada alam. Pada zaman ini, sumber makanan yang tersedia menjadi salah alasan untuk tinggal di suatu tempat. Jika dirasa sumber makanan sudah habis dan lingkungan yang mereka tinggali sudah tidak cocok, maka mereka akan berpindah tempat, mencari tempat baru yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Penjelajahan pemikiran Ibn Khaldun tidak berhenti sampai disitu. Dari zaman nomaden ia berspekulasi bahwa pada akhirnya zaman nomaden ini terhenti akibat manusia menciptakan pemukiman yang pada akhirnya menjadi sebuah Negara. Negara berasal dari kumpulan suku-suku yang mau berada di bawah satu naungan ashabiyyah. Ashabiyyah sendiri artinya kekerabatan atau saudara. Dengan begitu terciptalah suatu Negara.

Ibnu Khaldun melanjutkan pemikirannya dengan menyatakan bahwa suatu Negara akan terhenti juga setelah 4 generasi. Ia menjelaskan 4 generasi tersebut adalah sebagai berikut;

  1. Sang Pendiri, adalah generasi orang-orang yang masih memiliki rasa persatuan, di mana kekerabatan yang paling dasar telah terbentuk. Mereka terdidik oleh alam sehingga paham dengan situasi yang mesti mereka tempuh secara praktik.
  2. Anaknya, adalah yang diajarkan olehnya, terbilang inferior dari bapaknya. Meskipun dia diajarkan langsung oleh bapaknya namun keahlian yang didapati lewat studi teori akan berbeda dengan keahlian diketahui lewat praktiknya langsung.
  3. Generasi selanjutnya akan terbiasa dalam meniru generasi sebelumnya, dan ia bersandar dari tradisi yang telah ada.
  4. Generasi terakhir inferior dari generasi-generasi sebelumnya, ia tidak lagi memahami bangunan dari kejayaan bangsanya. Ia membayangkan bahwa bangunan tersebut tidak diraih berdasarkan usaha dan pengaplikasian, melainkan dikarenakan nasab keturunannya. Ia berpikir bahwa kejayaan pada masanya adalah sesuatu hal semacam kewibawaan yang dimiliki oleh orang-orang sebelumnya dan didapatnya berdasarkan keturunan. Ia tidak mengerti bagaimana kehormatan padanya berasal selain dari karena nasabnya yang tinggi. Ia juga menjauh dari ikatan yang tidak satu pandangan dengannya, sebab ia merasa lebih baik dari mereka. Ia menganggap rakyatnya taat padanya sebagai hal yang semestinya.
Baca Juga  Pemikiran Nasionalisme KH. Wahab Chasbullah

Lalu apakah hubungan semua ini dengan Filsafat? Ibnu Khaldun mempelajari Filsafat Yunani yang mana dibedakan antara gagasan materi dan forma. Dalam pengertian ibnu Khaldun, forma adalah sejarah, dan sejarah yang ia bahas adalah tentang Negara. Dalam pengkajiannya Ibn Khaldun tidak berfokus kepada struktur masyarakat. Meskipun masyarakat masih berhubungan dengan pembahasanya, sejarah dalam pandangan Ibn Khaldun adalah sebuah pengulangan atau perputaran, seperti naik turunnya tahta kerajaan, atau revolusi yang terjadi karena munculnya kekuatan rakyat. Terlebih sejarah ini bergantung pada kepemimpinan atau pemerintahan sebuah negara, ke mana mereka akan membawanya. Kesimpulannya,Ibn Khaldun mengartikan sejarah bukan sekedar perputaran waktu saja, sejarah adalah milik manusia, dan terjadi karena aktivitas manusia di dalamnya.

[1] Syed Farid Alatas, ibn Khaldun, (New Delhi: Oxford University Press, 2015), hal. 1

[2] Ibn Khaldun, Muqaddimah, Cet.I (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2011), hal.18

Penulis: Ghina MufidahEditor: Tim Dawuh Guru

Tinggalkan Balasan