Dr. Fahruddin Faiz: Ratu Kalinyamat Tidak Sibuk Kampanye Kanan Kiri, Tetapi Fokus Membangun Perekonomian Rakyatnya

Oleh: Muhammad Fikri Al-Ghazali

Haul tokoh terlupakan edisi ke-4 oleh Petjut.id ini dihadiri oleh pengampu Ngaji Filsafat MJS Jogjakarta, Dr. Fahruddin Faiz, yang mengupas tentang nilai-nilai budaya, biografi Ratu Kalinyamat serta nilai-nilai yang berusaha disampaikan oleh Sang Ratu pada generasi berikutnya. Secara runtun Dr. Fahruddin Faiz selama hampir 3 jam beliau menjelaskan pada audiens yang direspon dengan antusias.

Budaya adalah kemuliaan. Budi dan daya. Budi ini intelejensi. Budaya adalah identitas, berkaitan dengan way of life dan way of thinking. Nenek moyang telah memberikan panduan bagaimana jalan hidup dan cara berpikir cukup banyak untuk generasi selanjutnya. Yang ketiga budaya adalah idealitas. Keinginan luhur nenek moyang akan idealnya masyarakat seperti apa yang kemudian dimanifestasikan dalam sebuah budaya. Tentu saja saat zaman berubah maka metodenya juga akan berubah. Budaya untuk saat ini adalah identitas dan idealitas untuk menuju kemuliaan.

Teks budaya akan melahirkan 3 gerak motorik pada manusia. Fanatik, kritis dan reseptif. Gaya fanatik akan menjadikan budaya sebagai museum. Tidak terima budayanya disenggol, dihinakan atau dikritik. Namun di sisi lain tidak menghidupkan budaya itu sendiri. Nguri-uri budaya hanya menjadi wacana yang tidak direalisasikan. Lalu gaya kritis, yang satu harus dilakukan secara sistematis, menyeluruh dan proporsional menghindari kenaifan. Terakhir adalah reseptif, memasukkan teks dalam diri yang kemudian diaktualkan dalam tindakan.

Dalam penjelasannya, pak Fahruddin Faiz memaparkan budaya patriarki yang ada tidak serta merta dapat digeneralisir bahwa di Indonesia perempuan tidak dapat berperan dalam ruang yang lebih besar. Peran sentral putri relijius Ken Dedes di Singosari, Tribuana Tunggadewi, sosok ratu Majapahit yang menggetarkan Nusantara, hingga Ratu Kalinyamat Jepara. Dalam kisah Ratu Kalinyamat dapat diambil hikmah perihal ketegaran hati. Sang ratu ditinggal terlebih dahulu oleh suaminya, ia meneruskan tampuk kepemimpinan bahkan dapat memperluas wilayahnya, tanpa menikah lagi.

Beliau juga menjelaskan tafsir bertapa telanjang Ratu Kalinyamat. Pertama adalah telanjang yang dimaksud bukan tidak memakai pakaian sama sekali, melainkan melepas segala bentuk atribut kebangsawanan dalam upaya mengetuk hati petinggi-petinggi kerajaan, punggawa-punggawanya agar sadar pada kekacauan yang terjadi. Persis seperti apa yang dilakukan Drupadi dalam kisah pewayangan yang tidak menggunakan mahkota serta tidak mengikat rambutnya sebagai bentuk protes pada ketidakadilan. Kedua, telanjang tadi bukan bentuk kemarahan pada apa yang terjadi, dendam pada apa yang menimpanya. Justru topo udo yang ia lakukan adalah bentuk protes spiritual, menghamba dengan sebenar-benarnya hamba, melepas segala yang ia miliki dan menundukkan diri penuh kepasrahan pada Sang Maha Kuasa.

Sufisme jawa menghadirkan ibadah yang disertai dengan budi luhur. Kemudian lebih daripada akhlak adalah wirani, yakni seseorang dengan pemahaman holistik di mana ia menyadari tidak hanya benar dan salah, lebih dari pada itu pantas atau tidak pantas. Maka pada puncaknya adalah wong topo, yakni seseorang yang batinnya sudah tidak lagi terikat pada keinginan-keinginan duniawi. Ratu Kalinyamat dalam konteks topo inilah telah meninggalkan godaan-godaan duniawi, bahkan status keputriannya. Ratu Kalinyamat mencapai tahap profetik ketika telah kembali dengan keramaian, berjuangan dengan daya yang ia miliki, berjuang bersama orang-orangnya, hingga memberi kemanfaatan pada sekelilingnya. Berkali-kali bertempur membantu Kesultanan Aceh dan Kesultanan Johor melawan Portugis, berusaha membangkitkan semangat membangun perekonomian ketimbang perebutan kekuasaan, Ratu Kalinyamat memiliki banyak kader namun lebih memilih memakmurkan rakyatnya, bertempur dengan orang asing namun tidak bersinggungan dengan saudaranya sendiri.

Terakhir yang dapat diambil dari biografi dan perjalanan hidup Ratu Kalinyamat ialah bagaimana seseorang tetap menjaga nilai spiritual dalam dirinya, mendekatkan diri dengan tuhan meski diri dalam gelimang harta. Apa yang terjadi saat ini adalah kita banyak terkecoh pada hal-hal yang tidak penting bahkan cenderung negatif. Fasilitas yang dimiliki saat ini justru sering membuat seseorang lalai pada jalan spiritualnya. Kemudian memperjuangkan keadilan sesuai dengan batasannya. Ratu Kalinyamat memperjuangkan kematian suaminya, tidak, beliau tidak peduli dengan jabatan, akan tetapi fokus kepada keadilan atas kematian suaminya. Beliau tidak sibuk kampanye kanan kiri, tetapi fokus membangun perekonomian rakyatnya. Ketiga, mikul duwur mendem njeru, upaya melakukan prestasi yang besar dalam rangka mengangkat derajat orang tua dan nenek moyang sehingga dengan prestasi yang memuncak hebat itu membuat orang tidak lagi peduli pada dosa, salah, dan hal buruk orang tua dan nenek moyang dulu.

Rekomendasi