Oleh: Akbar Kolisudin, Guru Ngaji, (Jamaah Muhibbin Ning Atikoh Ganjar Nusantara)
Sorot matanya begitu tajam, jas yang dikenakannya tampak sangat rapi, dan meskipun rambutnya terlihat agak ‘gondrong’ dan kurang klimis. Nada bicaranya khas Madura, selalu datar, namun dengan intonasi yang kuat. Ucapannya terstruktur, bahkan saat ia sedang menyimpan kekecewaan atau amarah. Inilah kebiasaan sehari-hari Mahfud MD yang tercatat dalam ingatan saya, seorang jurnalis yang sering berada di Mahkamah Konstitusi. Pria kelahiran 13 Mei 1957 ini selalu merespons setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya dan lembaga yang dipimpinnya. Mahfud tetap rendah hati, walaupun sanjungan dan dukungan terus mengalir untuk segala prestasinya.
Ia menerima berbagai kritik sebagai usaha perbaikan diri. Mantan Menteri Pertahanan ini meyakini bahwa kebijaksanaan selalu berasal dari ilmu yang mendalam, sesuai dengan filosofi hidup yang diterapkan oleh Nabi Sulaiman yang diajarkan oleh ayahnya ketika ia masih kecil. “Ketika dulu Nabi Sulaiman ditawari oleh Allah SWT untuk menjadi raja, memperoleh kekayaan, atau ilmu, beliau memilih ilmu. Karena dengan ilmu, ia mencapai kedudukan sebagai raja dan juga memperoleh kekayaan. Bahkan, beliau memperoleh Ratu Balqis, perempuan tercantik. Oleh karena itu, saya selalu didorong untuk mencari ilmu, dan saya juga mewariskannya kepada anak-anak saya. Semua akan mengejar ilmu jika mereka memiliki pengetahuan,” ungkap Mahfud pada suatu waktu. Pesan dari ayahnya mendorong Mahfud untuk selalu belajar di mana pun dan kapan pun. Ia tidak hanya memperdalam ilmu hukum, tetapi juga menggeluti ilmu politik dan agama.
“Saya yakin bahwa ilmu adalah kunci untuk mencapai segalanya. Ibu saya mengajarkan kesabaran dan pengorbanan, ia bahkan menjual perhiasannya untuk membiayai pendidikan saya. Ayah saya, seorang polisi dengan gaji kecil, membesarkan tujuh anak, dan saya adalah anak keempat,” kata Mahfud dengan nada terharu saat mengingat pengorbanan ibunya.
Keteguhan Mahfud dalam menjunjung kebenaran adalah hasil dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtuanya. Ada pula dorongan kuat yang datang dari ulama-ulama yang dekat dengannya. Meskipun banyak yang menghujatnya ketika ia membuka rekaman Anggodo Widjojo dalam sidang MK atau saat ia mengungkap ‘uang persahabatan’ dari Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin kepada Sekjen Janedjri M. Gaffar, Mahfud tidak pernah goyah. Beberapa ulama bahkan memberikan dukungan penuh terhadap tindakannya saat ia bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam konferensi pers.
Mahfud mulai moncer dunia politik Indonesia ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengangkatnya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Pengalaman ini sangat berkesan bagi Mahfud, seorang lulusan Ponpes Al Mardhiyyah dan SDN Waru di Pamekasan, yang sebelumnya tak pernah membayangkan hal semacam ini. Posisinya sebagai Menhan dianggapnya sebagai peluang emas untuk memasuki panggung politik nasional. Oleh karena itu, dia memandang Gus Dur sebagai salah satu dari tiga individu yang ditakdirkan Tuhan memiliki pengaruh besar dan berarti dalam perjalanan hidupnya.
Mahfud mengakui bahwa tanpa Gus Dur, dia tak akan memiliki identitas dalam politik nasional dan kepemimpinan negara. Sikap “akrobat” dalam politik yang sering ditempuh oleh Mahfud juga terinspirasi oleh tindakan kontroversial Gus Dur. Dua tokoh lain yang mempengaruhi perjalanan hidupnya adalah KYai Mardhiyan, guru utama di Ponpes Mardliyah Pamekasan yang memperkuat moral keagamaannya, dan Profesor Affan Gaffar, dosen pembimbingnya di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Affan Gaffar memberikan semangat yang luar biasa sehingga Mahfud, yang pernah kehilangan rasa percaya diri, mampu menyelesaikan gelar doktor Ilmu Hukum di UGM hanya dalam waktu 2,8 tahun, yang jauh lebih cepat dari biasanya yang memerlukan 6-8 tahun. Selain itu, Mahfud juga meraih gelar profesor pada usia 41 tahun, menjadikannya profesor termuda di UGM. Selain itu, Mahfud menjunjung tinggi prinsip-prinsip kejujuran, percaya diri, keadilan, dan kebenaran. Baginya, jujur adalah pondasi untuk hidup yang baik dan damai. Dia meyakini bahwa ketidakjujuran akan mengakibatkan kegelisahan, bahkan jika seseorang memiliki kekayaan dan keberhasilan material. Prinsip kejujuran pula yang mendorongnya untuk berbicara terbuka tentang “uang persahabatan” dari Nazaruddin dan mengungkap rekaman Anggodo Widjojo tentang manipulasi kasus di KPK kepada publik.
Semua tindakan ini dilakukan dengan keyakinan dan percaya diri yang kuat. Mahfud menganggapnya sebagai suatu keharusan untuk meyakinkan bahwa gagasan dan tindakannya diterima oleh banyak orang. Sebagai seorang hakim, dia menilai bahwa integritas, kejujuran, dan kepercayaan diri adalah nilai-nilai yang tak bisa dikompromikan. Mahfud terpilih sebagai hakim Mahkamah Konstitusi pada 16 Maret 2008 dan kemudian menjadi ketua MK pada 19 Agustus 2008, menggantikan Jimly Asshidiqie. Di samping itu, lelaki yang menghafal Alquran dan hadits ini memulai rutinitasnya ketika kebanyakan orang masih tertidur nyenyak. Pada pukul 03.00, ia menyempurnakan shalat malam, diikuti oleh shalat subuh dan berzikir. Setelah subuh, ia mulai menulis artikel, yang sebetulnya adalah hobinya.
Mahfud, yang pernah menjadi anggota Fraksi PKB di DPR, mampu menyelesaikan satu artikel dalam waktu satu jam saat menunggu pesawat atau terjebak dalam kemacetan lalu lintas, antara perjalanan dari rumah dinasnya ke kantor MK yang berada di Jalan MH Thamrin. Selain menulis, ia juga aktif sebagai pengajar. Sehari-hari, Mahfud mengajar selama empat jam dan memperoleh bayaran sekitar satu juta rupiah per jamnya.
Selain pendapatan dari pengajaran dan tulisannya di media massa, ia juga mengandalkan pendapatan dari pensiun sebagai mantan menteri dan sebagai pembicara dalam berbagai seminar. Saat ini, sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi, gajinya mencapai sekitar 35 juta rupiah. “Saya merasa puas sebagai seorang hakim konstitusi. Ketika saya berada di DPR, argumentasi saya dalam perdebatan seringkali diabaikan. Sekarang, hal itu bukan lagi masalah uang,” ungkapnya.
Setelah selesai kerja di kantor, Mahfud biasanya pulang sekitar pukul 17.00. Ia melaksanakan shalat dzuhur dan ashar di kantornya, sementara shalat maghrib dan isya dilakukan secara berjamaah di rumahnya. Ia juga memiliki minat dalam kuliner, dan hidangan favoritnya termasuk sop dan sate kambing, peyek teri, serta sambal. Di masa lalu, di rumah pribadinya di Tanjung Barat, Pasar Minggu, Mahfud sering menikmati sate ayam Madura atau ketoprak yang dijual oleh pedagang keliling, dan kadang-kadang ia berbagi hidangan dengan tetangganya. “Oleh karena itu, saya lebih memilih untuk tinggal di sini daripada di perumahan dinas,” ujarnya pada saat itu.
Mahfud hampir tidak pernah mengambil cuti. Jika ada waktu luang pada akhir pekan, ia biasanya pergi bersama keluarganya untuk bersantai atau bersantap bersama. Ini merupakan bentuk kesatuan di luar aktivitas shalat berjamaah. Ia juga memperlakukan keluarganya dan stafnya tanpa perbedaan, semuanya menjadi bagian dari komunitas besar yang makan dan beribadah bersama.
Kesederhanaan Mahfud masih sangat mencolok. Ia lebih memilih untuk diidentifikasi sebagai lulusan pesantren daripada alumni universitas. Karakter sederhananya tidak tergoyahkan, bahkan ketika seorang politikus meremehkan universitas tempat Mahfud berkuliah dulu dan menganggapnya lebih rendah daripada universitas yang menjadi almamaternya sendiri.