Dawuh Gus Rifqil Muslim : Untuk menjadi muslim yang baik tidak diwajibkan memakai gamis, imamah dll. Karena pakaian tidak bisa dijadikan tolak ukur keimanan. Jadi menurut hemat saya, dalam berpakaian jangan terlalu saklek. Yang penting pakaian itu bersih, suci dan menutup aurat.
Dalam kehidupan seorang Muslim, berpakaian adalah salah satu aspek penting yang harus diperhatikan. Banyak perdebatan dan diskusi tentang apa yang dianggap pakaian yang sesuai dengan syariat. Salah satu pandangan yang sering muncul adalah bahwa untuk menjadi Muslim yang baik tidak diwajibkan memakai gamis, imamah, atau pakaian tradisional Islami lainnya. Pakaian tidak bisa dijadikan tolak ukur keimanan seseorang. Yang paling penting adalah pakaian tersebut bersih, suci, dan menutup aurat sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (QS. Al-A’raf: 26). Ayat ini menekankan bahwa tujuan utama dari pakaian adalah untuk menutupi aurat dan sebagai perhiasan, tetapi yang paling utama adalah pakaian takwa, yaitu kesalehan dan ketakwaan kepada Allah.
Islam mengajarkan bahwa berpakaian harus memenuhi tiga kriteria utama: bersih, suci, dan menutup aurat. Pakaian yang bersih adalah pakaian yang tidak terkena najis dan kotoran. Rasulullah SAW bersabda: “Kebersihan adalah sebagian dari iman” (HR. Muslim). Kebersihan dalam berpakaian mencerminkan iman dan ketakwaan seseorang. Suci berarti pakaian tersebut tidak mengandung najis yang bisa menghalangi sahnya shalat. Menutup aurat adalah kewajiban yang jelas dalam syariat Islam. Bagi laki-laki, aurat yang harus ditutupi adalah antara pusar dan lutut, sedangkan bagi perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Namun, meskipun menutup aurat adalah kewajiban, Islam tidak menentukan secara saklek jenis pakaian apa yang harus dikenakan. Islam memberikan kebebasan dalam memilih pakaian selama memenuhi kriteria tersebut. Rasulullah SAW mengenakan pakaian yang sesuai dengan tradisi dan budaya Arab pada zamannya. Beliau tidak memaksakan satu model pakaian tertentu untuk diikuti oleh semua umat Islam di berbagai belahan dunia yang memiliki budaya dan tradisi berbeda.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuhmu dan tidak pula kepada rupamu, tetapi Dia melihat kepada hatimu” (HR. Muslim). Hadits ini menegaskan bahwa yang paling penting dalam pandangan Allah adalah hati dan niat kita, bukan penampilan luar. Oleh karena itu, kita tidak boleh menilai keimanan seseorang hanya berdasarkan pakaiannya. Sebaliknya, kita harus fokus pada bagaimana mereka menjalankan perintah Allah dan menjaga ketakwaan dalam hati mereka.
Dalam sejarah Islam, banyak tokoh besar yang berpakaian sesuai dengan budaya lokal mereka tetapi tetap menjadi teladan dalam keimanan dan ketakwaan. Salah satu contohnya adalah Imam Abu Hanifah, pendiri salah satu mazhab terbesar dalam Islam. Beliau adalah seorang ulama besar yang dihormati tetapi berpakaian seperti orang-orang pada zamannya tanpa mengikuti model pakaian tertentu.
Pandangan ini juga didukung oleh tokoh dunia, seperti Nelson Mandela, yang berkata: “Untuk bebas tidak hanya melepaskan rantai seseorang, tetapi hidup dengan cara yang menghargai dan meningkatkan kebebasan orang lain.” Kebebasan dalam memilih pakaian adalah bagian dari penghargaan terhadap keragaman budaya dan tradisi. Islam mengakui keragaman ini dan memberikan ruang bagi umatnya untuk mengekspresikan diri selama sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Dalam kehidupan modern, banyak Muslim yang tinggal di negara-negara dengan budaya dan tradisi berpakaian yang berbeda. Mereka seringkali harus menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka sambil tetap mempertahankan prinsip-prinsip Islam. Memaksakan satu model pakaian tertentu kepada semua Muslim di seluruh dunia bisa menjadi bentuk kekakuan yang tidak sesuai dengan semangat Islam yang fleksibel dan inklusif.
Albert Einstein pernah mengatakan: “Kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan, tetapi imajinasi.” Ini bisa diartikan bahwa kecerdasan dan ketakwaan dalam berpakaian bukan hanya tentang mengikuti aturan secara kaku, tetapi tentang memahami esensi dan tujuan dari aturan tersebut. Pakaian dalam Islam adalah sarana untuk menjaga kesopanan, kebersihan, dan ketakwaan, bukan tujuan itu sendiri. Oleh karena itu, fleksibilitas dalam berpakaian dengan tetap memenuhi kriteria dasar Islam adalah cerminan dari kecerdasan dan pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama.
Kita juga harus mengingat bahwa Islam adalah agama yang universal dan rahmatan lil ‘alamin, membawa rahmat bagi seluruh alam. Universalitas Islam tercermin dalam fleksibilitasnya dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk berpakaian. Apa yang penting adalah bahwa kita menjaga kesucian, kebersihan, dan menutup aurat sesuai dengan ajaran Islam, bukan pada jenis pakaian tertentu.
Dalam menghadapi perbedaan pendapat tentang pakaian, kita harus saling menghormati dan tidak cepat menghakimi orang lain. Setiap orang berhak memilih pakaian yang sesuai dengan budaya dan tradisi mereka selama memenuhi kriteria dasar yang ditetapkan oleh Islam. Toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan adalah bagian dari ajaran Islam yang harus kita junjung tinggi.
Sebagai kesimpulan, untuk menjadi Muslim yang baik tidak diwajibkan memakai gamis, imamah, atau pakaian tradisional Islami lainnya. Pakaian tidak bisa dijadikan tolak ukur keimanan seseorang. Yang paling penting adalah pakaian tersebut bersih, suci, dan menutup aurat sesuai dengan ajaran Islam. Dengan memahami esensi dari berpakaian dalam Islam dan menghargai keragaman budaya, kita bisa menjadi pribadi yang lebih toleran, inklusif, dan mencerminkan ajaran Islam yang sebenarnya. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam setiap langkah kita dan memberikan kita pemahaman yang benar tentang agama-Nya. Aamiin.