Dawuh Gus Baha tentang Memahami Simbolisme

Dawuh Gus Baha
Sumber : Dawuh Guru
“Orang desa kalo nggak bawa keris itu nggak nyaman tapi dibilang syirik. Orang kota kalo nggak bawa ATM & HP juga nggak nyaman, tapi nggak dibilang syirik.”
KH. Ahmad Bahauddin Nursalim

Perbedaan gaya hidup antara orang desa dan orang kota sering kali mencerminkan beragam nilai budaya, simbolisme, dan kebutuhan praktis. Dalam konteks ini, pernyataan bahwa “Orang desa kalau nggak bawa keris itu nggak nyaman tapi dibilang syirik. Orang kota kalau nggak bawa ATM & HP juga nggak nyaman, tapi nggak dibilang syirik,” mencerminkan pandangan yang menarik tentang bagaimana masyarakat memandang dan menilai simbol-simbol tertentu dalam kehidupan sehari-hari.

Keris bagi masyarakat desa, terutama di Jawa, bukan sekadar senjata atau alat pertahanan diri. Keris adalah simbol warisan budaya, identitas, dan kebanggaan. Dalam banyak upacara adat, keris hadir sebagai elemen penting yang membawa makna spiritual dan historis. Keris sering kali dianggap memiliki kekuatan magis yang dapat melindungi pemiliknya dari bahaya dan memberi keberkahan. Bagi banyak orang desa, membawa keris adalah bagian dari tradisi yang memberikan rasa aman dan nyaman.

Namun, dalam konteks modern, membawa keris sering kali mendapat stigma negatif dan dianggap sebagai praktik syirik atau menyekutukan Allah. Hal ini karena ada keyakinan bahwa kekuatan yang ada pada keris dianggap bersumber dari kekuatan gaib yang bertentangan dengan ajaran Islam tentang tauhid. Pendapat ini sering kali muncul dari interpretasi keagamaan yang ketat dan kurang mempertimbangkan aspek budaya dan tradisi lokal.

Di sisi lain, masyarakat kota sangat bergantung pada teknologi modern seperti ATM dan ponsel (HP). ATM dan HP adalah simbol kenyamanan dan kemudahan hidup modern. ATM memberikan akses cepat dan mudah ke keuangan, sementara HP memungkinkan komunikasi instan dan akses informasi yang luas. Kehidupan di kota yang serba cepat dan dinamis membuat kedua perangkat ini menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari. Tanpa ATM dan HP, banyak orang kota merasa kehilangan kendali dan kemudahan dalam menjalani rutinitas mereka.

Baca Juga  “Janganlah kita mencintai keindahan yang bukan milik kita, akan tetapi cintailah apa yang kita miliki, karena itu akan menjadi indah.” Ning Sheila Hasina

Ketergantungan ini, meskipun sangat tinggi, jarang sekali dikaitkan dengan praktik syirik. Ini menunjukkan adanya perbedaan cara pandang terhadap simbolisme dan nilai budaya antara masyarakat desa dan kota. Ketergantungan pada teknologi dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan bagian dari kemajuan, sedangkan ketergantungan pada simbol-simbol tradisional sering kali dipandang dengan kecurigaan dan disalahartikan.

Sebagai perbandingan, Bung Karno, proklamator kemerdekaan Indonesia, pernah menyatakan pentingnya menghargai tradisi sambil tetap membuka diri terhadap kemajuan. Ia berkata, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya memahami dan menghargai warisan budaya kita, sambil tetap beradaptasi dengan perkembangan zaman. Keris sebagai simbol tradisi tidak boleh diabaikan atau dianggap sebagai sesuatu yang kuno atau berlawanan dengan agama tanpa memahami konteks budaya yang menyertainya.

Meskipun modernisasi membawa banyak manfaat, penting untuk mempertimbangkan dampak dari perubahan ini terhadap identitas budaya dan spiritual masyarakat. Teknologi seperti ATM dan HP memudahkan kehidupan, tetapi juga membawa tantangan baru seperti kecanduan teknologi dan hilangnya interaksi sosial yang lebih mendalam. Kehidupan kota yang serba cepat dan bergantung pada teknologi sering kali membuat orang kehilangan keseimbangan dan koneksi dengan nilai-nilai tradisional dan spiritual.

Sebaliknya, masyarakat desa yang tetap memegang teguh tradisi mereka melalui simbol-simbol seperti keris, sering kali memiliki koneksi yang lebih kuat dengan nilai-nilai spiritual dan kebudayaan. Ini tidak berarti bahwa satu cara hidup lebih baik daripada yang lain, tetapi penting untuk menghargai dan memahami perbedaan ini tanpa memberikan label negatif yang tidak adil.

KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pernah menekankan pentingnya pendidikan yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan modern. Ia berkata, “Kita harus mendidik umat untuk bisa berpikir maju, namun tetap berlandaskan pada ajaran agama yang benar.” Pesan ini relevan dalam konteks perbedaan pandangan antara simbol tradisional seperti keris dan simbol modern seperti ATM dan HP. Keseimbangan antara menghargai warisan budaya dan memanfaatkan kemajuan teknologi adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan beradab.

Baca Juga  KH. Abdullah Kafabihi Mahrus : Ilmu itu tidak mungkin didapatkan dengan santai-santai ataupun senang-senang.

Simbolisme dalam kehidupan sehari-hari, baik di desa maupun di kota, mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut. Ketergantungan pada keris sebagai simbol tradisi di desa dan ketergantungan pada ATM dan HP sebagai simbol modernitas di kota, menunjukkan adanya kebutuhan akan rasa aman dan nyaman yang dirasakan oleh masing-masing kelompok. Namun, penilaian terhadap simbol-simbol ini sering kali tidak adil dan penuh prasangka.

Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan pemahaman dan toleransi terhadap perbedaan-perbedaan ini. Masyarakat perlu diajak untuk melihat bahwa baik keris maupun teknologi modern memiliki peran penting dalam kehidupan mereka, sesuai dengan konteks budaya dan kebutuhan masing-masing. Alih-alih memberikan label syirik atau memandang rendah simbol-simbol tertentu, kita perlu menghargai keragaman dan mencari cara untuk menyatukan nilai-nilai tradisional dengan kemajuan modern.

Sebagai kesimpulan, pernyataan bahwa orang desa merasa tidak nyaman tanpa keris dan orang kota merasa tidak nyaman tanpa ATM dan HP, tetapi hanya orang desa yang sering kali diberi label negatif, mencerminkan perbedaan cara pandang dan penilaian yang ada di masyarakat kita. Dengan meningkatkan pemahaman dan toleransi terhadap perbedaan-perbedaan ini, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan menghargai keragaman budaya dan spiritual yang ada. Ini sejalan dengan semangat Bung Karno dan KH. Ahmad Dahlan untuk menghargai warisan budaya sambil tetap maju dengan teknologi dan ilmu pengetahuan modern.