“Ana ‘abdu man ‘allamani harfan wahidan”
Saya adalah budak bagi seseorang yang mengajari saya sekalipun hanya satu huruf.
Di atas, adalah salah satu pernyataan yang diucapkan oleh Sayyidina Ali r.a., menantu Rasulullaah saw, sekaligus sahabat yang terkenal dengan kecerdasan dan pengetahuannya yang dalam terhadap suatu ilmu. Bahkan Rasulullaah saw. menyebutnya sebagai sang Babul Ilmi (pintu ilmu). Di mana jika hendak memasuki sebuah kota, pastinya melewati pintu terlebih dahulu.
Dari kutipan di atas, jika Sayyidina Ali sang pintu ilmu rela menjadikan dirinya sebagai budak dari guru yang mengajarinya walau satu huruf, bagaimana dengan kita yang sangat jauh tingkat ke’alimannnya dengan sahabat Ali?
Perkataan sayyidina Ali tesebut merupakan bentuk hormat yang dipersembahkan untuk sang guru. Ia rela menjadi budak dari seseorang yang telah mengajarinya. Bagaimanakah budak di hadapan tuannya? Harus siap menerima segala apa yang dititahkan. Bahkan, murni merupakan hak periogeratif sang tuan, apakah ia akan memerdekakan atau tetap menjadikannya sebagai budak.
Akan halitu, kita teringat beberapa kasus yang terjadi pada guru di negara kita. Seorang guru diprotes wali murid, digugat, sampai pada peristiwa yang tidak masuk akal, namun benar-benar terjadi. Seorang guru dilaporkan pada pihak berwajib sebab hal-hal sepele yang bahkan ketika diselidiki, justru memang pelanggaran yang dilakukan oleh murid. Menurut penulis, banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya, banyaknya wali murid yang tidak mengenali karakter anaknya dan belum pernah mengalami bagaimana menjadi guru di lembaga formal.
Saat ini, di masa pandemi yang belum berakhir, mayoritas dari orang tua di rumah, dituntut menjadi guru untuk mendampingi pembelajaraan anak, khususnya anak didik di Sekolah Dasar (SD). Dan pastinya hal itu tidaklah mudah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah resmi meluncurkan program “Belajar dari Rumah” sebagai alternatif belajar di tengah pandemi virus Covid-19. Kemendikbud RI, Nadiem Makarim ingin memastikan bahwa dalam kondisi darurat seperti saat ini masyarakat terus mendapatkan kesempatan untuk melakukan pembelajaran di rumah, salah satunya melalui televisi.
Sejak bulan Maret, kemendikbud mengadakan pembelajaran alternatif dari rumah melalui salah satu siaran televisi di Indonesia. Pembelajaran diadakan secara shiffting dan rombel sesuai dengan tingkatan kelas. Dimulai dari kelas satu sampai kelas tiga SD selama dua jam, dan seterusnya. Hal ini tidak bertahan lama. Pembelajaran satu arah, menurut penulis menjadi alasan utama sistem pembelajaran melalui televisi tidak bertahan lama.
Tuntutan kurikulum terus berjalan. Pendidik di lembaga formal tidak bisa diam dengan keadaan ini. Bagaimanapun harus ada solusi agar pembelajaran tetap berlangsung. Akhirnya, mayoritas sekolah di setiap jenjang pendidikan mengadakan alternatif dengan menggunakan pembelajaran daring online, baik menggunakan aplikasi zoom, WA, e-learning, ataupun yang lainnya.
Teringat beberapa miggu lalu, ketika salah satu program dari sekolah “guling (guru keliling)” bertepatan di rumah kami. Saat itu guru yang datang bercerita tentang banyaknya wali murid yang menanyakan kapan pembelajaran tatap muka dimulai. Para orang tua mencurahkan keluh kesah saat mendampingi putra-putri mereka dalam pembelajaran daring yang hanya dua jam di setiap harinya. Mayoritas diantara mereka kewalahan menghadapi pola tingkah anak-anak. Bahkan, kami sempat tidak percaya, ketika guru yang berkunjung menceritakan salah satu wali murid yang mengirimkan video ketika sedang mendampingi putranya. Alih-alih membantu putranya untuk menjelaskan pelajaran, menurut cerita guru – tanpa menyebutkan identitas orang tua -, wali tersebut justru membentak anaknya yang mulai capek dan males mengikuti pembelajaran. Menurut pengakuan wali, sengaja video itu dikirim agar para guru tahu bahwa orang tua di rumah sudah mendampingi secara maksimal, namun tetap saja anak-anak malas untuk mengikuti pelajaran. Wali tersebut juga berharap, agar pertemuan tatap muka segera dilaksanakan.
Tidak hanya itu, beberapa bulan yang lalu penulis sempat membaca peristiwa pembunuhan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, hanya disebabkan anak yang tidak menaati perintah ibunya untuk mengerjakan tugas ketika pembelajaran daring berlangsung. Seorang bocah perempuan yang masih duduk di kelas satu SD mengehembuskan napas terakhir sebab dianiaya ibunya. Dibantu oleh suaminya yang tak lain ayah sang bocah, mayat korban dikubur tak layak di sebuah pemakaman umum di Kabupaten Lebak, Banten. Kala itu, korban sedang mengikuti pembelajaran online, namun karena korban tidak serius mengikutinya membuat ibunya kesal dan menganiaya korban.
Dari peristiwa di atas, terdapat hikmah besar yang dapat diambil. Kita bisa tahu, bagaimana ketelatean, pengorbanan, dan perjuagan para guru di sekolah menghadapi anak didik. Para murid dengan karakter, minat, dan kepribadian yang tidak sama. Tidak hanya satu, puluhan bahkan ratusan siswa, mereka, para guru hadapi setiap hari. Belum lagi demo atau tumtutan orang tua kepada guru karena beberapa hal.
Bersyukur, mungkin itulah sikap yang seharusnya kita kerjakan terlebih di masa pandemi ini. Tidak ada musibah yang turun tanpa kehendak Allah swt. Oleh karena itu, hendaknya kita sebagai hamba Allah bersyukur atas segala keadaan yang ada. Mencoba atau berusaha menguak hikmah dari kejadian yang terjadi, bukan fokus pada masalah yang ada, tapi mencoba mencari apa kira-kira hikmah yang ada.
Seperti saat pandemi ini, jangan kita fokus pada kekhawatiran yang menyebabkan parno yang terlalu. Jika kita mencoba ambil hikmah dari peristiwa ini, diantaranya kita bisa hidup lebih bersih, pola hidup sehat untuk pribadi kita. Untuk IT kita bisa lebih mellek IT. Asalnya tidak pernah bervirtual, internet hanya hiburan. Sekarang bisa jauh lebih produktif dengan intermet. Belum juga dengan manfaat seperti yang telah disebutkan, kita sebagai orang tua di rumah yang sedang mendampingi anak daring bisa tahu bagaimana rasanya menjadi guru, lebih menghargai terhadap guru.
Kita bisa sadar bahwa betapa hebat dan harus berterimakasihnya kita kepda para guru yang setiap harinya telah mengajari anak kita. Dari banyak sisi, jelas guru di sekolah bebannya lebih banyak. Dari segi jumlah anak didik, jika kita hanya satu mereka para guru di sekolah berjumlah puluhan bahkan ratusan. Yang mereka ajar adalah ragam latar belakang anak yang berbeda, yang para gruu tidak tahu latar belakangnya, bukan anak sendiri. Sedangkan kita, jelas yang kita ajari adalah anak kandung kita sendiri. Yang secara emosional dan kepriadian jelas lebih tahu. Sehari jam daring hanya terhitung kurang lebih dua jam, relatif lebih singkat dengan pembelajaran di sekolah.
Walaupun, ada yang mengatakan bahwa jika anak sendiri memang lebih sulit, karena anak memang benar-benar apa adanya. Jika tidak, tidak, jika iya, iya. Sedangkan kepada guru, masih ada sungkan sehingga terkadang walau terpaksa, tetap emngerjakan.
Terlepas dari itu semua yang jelas kita sebagai orang tua dengan adanya daring ini merasakan betapa guru-guru mengajari anak kita dengan penuh kesabaran. Menijnggalkan segala masalah yang berada di rumah, untuk tetap semangat membimbing anak-anak kita dengan balutan senyum penuh semangat. Tanpa daring, karena banyak kesibukan menyapa guru tak lebih dari dua kali dalam satu tahun, ketika penerimaan raport dan ketika membayar tanggungan. Nah kali ini dengan adanya daring kita bisa lebih intens. Daring juga sekilas menggambarkan pada kita sebagai orang tua terhadap model pembelajaran dan kurikulum di sekolah.
Tak perlu lagi kita menjadikan daring sebagai kambing hitam, daring online justru merupakan kesempatan dalam kesempitan,. Kesempatan juga untuk ikut merasakan bagaimana perjuangan para guru dalam mengantar ribuan anak didik menjadi penerus bangsa yang dapat diandalkan atau membanggakan. Tidak hanya atau insyaAllah tidak akan ada istilah pelaporan guru kepada pihak berwajib, karena hal sepele. Selain itu, dengan adanya daring bagi siwa SD sinergitas antara guru, orang tua dan murid lebih intens. Nah, dari daring di sini, kita sudah mengoptimalkannya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam az-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’allim, bahwa di dalam mendalami suatu ilmu diharuskan adanya sinergisitas antara murid, guru, dan ayah (orangtua).
Harapan kita agar Covid-19 segera berlalu pastinya selalu dipanjatkan.Oleh karenanya ini adalah sebuah kesempatan untuk pintar-pintar mengambil hikmah di masa yang insyaAllah dan semoga lekas berlalu ini. “Kun mustafidan kulla yaumin Ziyadatan.”
Ditulis oleh: Rifqatul Husna, ibu rumah tangga tinggal di Paiton Probolinggo