Oleh : Admin
Biografi
Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi dikenal sebagai ulama Jawa terkemuka, alumus Pesantren Tremas, Pacitan. Ia banyak mengarang kitab penting dan mengajar di Masjid Al-Haram Makkah pada paruh akhir abad-19. (Pesantren, 2003; Azra, 1999).
Syaikh Mahfud dilahirkan di Desa Tremas pada tahun 1285 H atau tahun 1842 M, dengan nama Muhammad Mahfudh(Azra, 1999). Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad, Muhammad Mahfudh Al-Tarmasi ibn ‘Abd Allah ibn ‘Abd Al-Manan ibn Demang Dipomenggolo I. Ia lebih dikenal dengan nama “Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi Al-Jawi.” Ayah kakeknya, yaitu Demang Dipomenggolo I, masih keturunan seorang punggawa Keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot. (Ma’murin, 1984).
Ketol Jenggot adalah orang pertama yang membuka hutan di daerah Pacitan yang akhirnya diberi nama Tremas. Desa Tremas terletak di Kelurahan Tremas, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan, Karesidenan Madiun, Propinsi Jawa Timur. Kota Pacitan adalah sebuah kota di Tepi Pantai Selatan, dan merupakan Kota yang terletak paling Selatan dari seluruh Kota Kabupaten yang ada di Pulau Jawa.
Ihwal penamaan Tremas, menurut Kiai Hasyim Ikhsan, seorang tokoh masyarakat Tremas, bahwa ketika Ketok Jenggot membuka hutan di Pacitan, ia menemukan sebuah “patrem” (bhs. Jawa), yaitu sebuah senjata mirip sebilah keris, dan “patrem” itu terbuat dari “emas.” Akhirnya, daerah itu diberi nama “Tremas” yang merupakan kependekan dari “patrem emas.” Nama Tremas akhirnya terkenal sampai saat ini. (Ma’murin, 1984). Jadi, kata “Al-Tarmasi” adalah nisbat pada Daerah Tremas, tempat di mana Syaikh Mahfudh dilahirkan dan menuntut ilmu pertama kali sebelum pergi dan menetap di Makkah.
Riwayat Pendidikan
Mahfudh Al-Tarmasi adalah keturunan ulama bangsawan. Demang Dipomenggolo I, adalah seorang bangsawan terpandang di Daerah Pacitan yang sangat agamis. Pada saat Pacitan diperintah oleh seorang bupati yang gemar menyi’arkan Islam bernama Mas Tumenggungg Jayakarya I, di Desa Semanten, Ki Demang Dipomenggolo I mendirikan sebuah pesantren yang diasuh sendiri. Demang Dipomenggolo cukup terkenal, disegani sekaligus dihormati oleh semua lapisan masyarakat Pacitan. Untuk memberikan contoh pada masyarakat, ia mulai dari keluarganya sendiri. Putranya yang bernama Mas Bagus Sudarso, ia kirim untuk menggali ilmu agama ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo, sebuah pesantren yang cukup terkenal saat itu.
Sepulang dari pesantren Tegalsari, Mas Bagus Sudarso dikenal oleh masyarakat dengan nama Kiai ‘Abd Al-Manan. Kiai muda ini, ikut aktif mengembangkan Pesantren Semanten Pacitan. Pada saat itu, Desa Tremas diperintah oleh Demang Ngabei Honggowijoyo yang punya hubungan dekat dengan Demang Dipomenggolo. Keduanya masih keturunan Tetok Jenggot. Demang Ngabei Honggowijoyo tertarik dengan kiai muda ‘Abd Al-Manan, putra Demang Dipomenggolo. Lalu ia menikahkan putrinya dengan Kiai ‘Abd Al-Manan dan membuatkan pesantren baru di Tremas. Pesantren itu berdiri tahun 1830 M., saat-saat perang Diponegoro mulai surut, dan Kiai ‘Abd Al-Manan adalah pengasuh pertama.
Dari pernikahan Kiai ‘Abd Al-Manan dengan putri Demang Ngabei Honggowijoyo, terlahir ‘Abd Allah. Demi menyipkan kader yang mumpuni, ‘Abd Allah dikirim untuk belajar ke pelbagai pesantren di Jawa Timur dan ketanah Hijaz. Akhirnya, tatkala Kiai ‘Abd Al-Manan meninggal tahun 1962 M., Kiai ‘Abd Allah ibn ‘Abd Al-Manan menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Tremas.
Jadi, Mahfudh Al-Tirmasi lahir ketika usia Pesantren Tremas berumur 12 tahun. Sejak kecil, ia hidup dalam keluarga pesantren yang cinta ilmu dan rajin ibadah. Ia sempat belajar ilmu agama pada kakeknya. Namun ia lebih banyak belajar pada ayahnya sendiri, Kiai ‘Abd Allah ibn ‘Abd Al-Manan, terutama di bidang Ilmu Tauhid, al-Qur’an, dan Ilmu al-Qur’an, dan ilmu Fiqih. Di bawah gemblengan ayahnya, ia belajar sistem sorogan (sistem individual). Dimana seorang murid membaca al-Qur’an atau Kitab Kuning langsung dihadapan gurunya. Semantara, gurunya akan memperhatikan secara seksama hingga akan ketahuan kadar kemampuannya. Sistem sorogan merupkan bagian paling sulit dari seluruh sistem pendidikan Islam tradisional. Sebab sistem ini, menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi dari murid (dhofier, 1994). Kitab-kitab klasik yang ia pelajari secara sorogan dari ayahnya antara lain; Syarh Al-Ghazah li Ibn Qasim Al-Ghazi, Minhaj Al-Qawim, Fath Al-Mu’in, Syah Syarqawi ‘ala Al-Hakim, dan Tafsir Al-Jalalain.
Setelah cukup lama belajar pada ayahnya, ia belajar ke Semarang pada Syaikh Muhammad Shaleh ibn ‘Umar Al-Samarani, ulama terkemuka Jawa Tengah pada abad-19 atau lebih dikenal dengan sebutan “Kiai Shaleh Darat.” Dengan gurunya ini, Mahfudh Al-Tarmasi menghatamkan beberapa kitab (Ma’murin, 1984), antara lain: Tafsir Al-jalalai ( khatam dua kali),syarh Syarkawi ‘ala Al-Hakim, Wasilat Al-Thullan, dan syarh Al-Maridini fi Al-falak.
Pada saat Pesantren Tremas dipimpin Kiai ‘Abd Allah ibn ‘Abd Al-Manan, perkembangannya semakin pesat. Murid-muridnya terus berdatangan dari perbagai penjuru pulau Jawa. Kiai ‘Abd Allah pernah belajar dibeberapa pesantren di Jawa dan pernah belajar di Tanah Suci Makkah. Pesantren Tremas dikenal dengan Ilmu Gramatika Arab-nya (Dhofier, 1994). Melihat perkembangan ini, Kiai ‘Abd Allah merasa perlu mempersiapkan pengganti yang lebih baik dari dirinya,. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengirim kedua putranya Muhammad Mahfudh dan adiknya, Dimyathi ke Makkah untuk menuntut ilmu dan memperdalam ilmu agamanya. Kejadian ini tejadi pada tahun 1872 M., saat umur Mahfudh Al-Tarmasi genap 30 tahun.
Bagai mendapatkan durian runtuh, keinginan Kiai ‘Abd Allah disambut gembira oleh Mahfudh Al-Tarmasi. Sebab ia memang bercita-cita untuk bisa selalu dekat dengan Rasul Allah atau Baiat Allah. Ia bercita-cita ingin wafat di Makkah atau di Madinah (Ma’murin, 1984). Begitu menginjakkan Tanah Haramain, ia langsung berniat untuk tinggal disana sampai akhir hayat. Bersama adiknya (Dimyathi), ia mulai menimba ilmu pada ulama terkemuka di Makkah dan Madinah.
Guru Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi Al-Jawi
Ulama-ulama yang menjadi guru besarnya antara lain; yang pertama, Syaikh Ahmad Al-Minsyawi. Pada ulama ahli qira’ah sab’ah ini, ia belajar tartil al-Qur’an menurut qira’ah Imam ‘Ashim. Juga mengkhatamkan dua kitab yaitu, al-Qur’an Qira’atu ‘Ashim fi Riwayati Khalaf bima Tayassara min Al-Tajwid dan Syarah Al-‘Allamah Ibn Al-Qasih ‘ala Al-Sathibiyyah.
Kedua, Syaikh ‘Amr ibn Barkat Al-Syami. Kepada ulama besar asli Syam yang juga murid dari Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi belajar Syarh Syadzuru’. Ketiga, Syaikh Musthafa ibn Muhammad ibn Sulaiman Al-‘Afifi. Ulama yang terkenal dengan ilmu Gramatika Arab dan ilmu Ushul Fiqihnya ini, Mahfudh Al-Tarmasi menghatamkan dua kitab, yaitu; Syarh Makhqiq Al-Mahla ‘ala Jawami’ Al-Jawami’, dan Mughni Al-Lubab.
Keempat, Al-Imam Al-Hasib wa Al-Wari’ Al-Nasib Al-Sayid Husein ibn Muhammad ibn Al-Husein Al-Habsyi. Pada ulama ahli hadits yang juga terkenal zuhud dan wira’inya ini, Mahfudh Al-Tarmasi menghatamkan dua kitab hadits utama yaitu: Shahih Al-Bukhari dan Shahih Al-Muslim. Kelima, Syaikh Sa’ad ibn Muhammad Bafasil Al-Hadrami. Pada ulama pakar ilmu fiqih ini, yang juga menjabat sebagai Mufti Syafi’iyyah Kota Makkah pada saat itu, Mahfudh Al-Tarmasi belajar dua kitab: Syarh ‘Uqud Al-Yaman dan Syifa’un li Al-Qadhi’iyyadh.
Keenam, Syaikh Muhammad Al-Sarbini Al-Dimyathi. Pada ulama pakar fiqih dan qira’ah yang berasal dari kota Dimyath, Mesir dan bermukim di Makkah ini, Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi menghatamkan beberapa kitab, antara lain: Syarh ibn Al-Qasis’ala Al-Syathibiyyah, Syarh Al-Dhurar Al-Mudhi’ah, Tibyan Al-Nasyri fi Al-Qira’ah Al-‘Asyri, Raudh Al-Nadzir li Al-Mutawalli, Itkhaf Al-Basari fi Qira’at al-Qur’an Al-Arba’ata ‘Asyar li ibn Battak, Al-‘Iddah li Al-Syathibiyyah, Tafsir Al-Baidhawi.
Ketujuh, Syaikh Al-Jalil Sayid Muhammad Amin ibn Ahmad Ridhwan Al-Daniyyi Al-Madani. Pada ulama terkemuka di Madinah pada zamannya ini, Amhfudh Al-Tarmasi menghatamkan dan mengambil ijazah beberapa kitab, antara lain: Al-Dalil Al-Khairat, Al-Ahzab, Al-Burdah, Al-Auliyat Al-Aljuni, Al-Mutawalli, Al-Mutawatta’li Al-Imam Malik ibn Anas.
Kedelapan, Syaikh Sayid Abu Bakar ibn Al-Sayid Muhammad Satha’. Pada ulama yang mendapat julukan “Syaikh Al-Masyayikh” atau “Guru besarnya para guru besar” ini, Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi belajar ilmu Syari’ah, ilmu Adab, ilmu Ushul, dan lain sebagainya.
Di tengah konsentrasinya dalam pengembaraan intelektual di Tanah Haramain, ia dan adiknya dipanggil ayahnya untuk pulang ke Jawa guna menggantikan posisinya sebagai Pimpinan Pondok Pesantren Tremas. Namun ia justru minta ijin pada ayahnya untuk bermukim di Makkah dan mempersilahkan kepada adiknya, yaitu Kiai Dimyathi, untuk memenuhi panggilan tugas mulia menggantikan kedudukan ayahnya. Memang kelak, setelah Kiai ‘Abd Allah meninggal, tampuk Pimpinan Pesantren Tremas dipegang Kiai Dimyathi.
Meskipun tidak terjun langsung membenahi Pesantren Tremas, namun sumbangan pemikirannya dalam membesarkan dan mengembangkan Pesantren Tremas cukup besar. Perannya tidak sebatas pada pengembangan Pesantren Tremas semata, namun sebagian besar pesantren terkemuka di Pulau Jawa. Sebab hampir semua ulama terkemuka pengasuh pesantren di Pulau Jawa awal abad-20, pernah belajar padanya.
Pada paruh akhir abad-19, ada beberapa ulama dari Indonesia yang kepakaran dan keilmuannya di bidang agama diakui dunia Islam. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengajarkan ilmunya di Masjid Al-Haram. Setidaknya ada tujuh nama ulama yang dikenal luas, mereka adalah Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi (kelahiran Tremas, Pacitan), Syaikh Nawawi Al-Bantani (kelahiran Banten), Syaikh Ahmad Khatib kelahiran Al-Minangkabawi (kelahiran Minagkabau), Syaikh Mukhtarom (kelahiran Banyumas), Syaikh Bakir (kelahiran Banyumas), Syaikh Asy’ari (kelahiran Bawean) dan Syaikh ‘Abd Al-Hamid (kelahiran kudus).
Syaikh Mahfudh, dan Syaikh Nawawi serta ulama lainnya adalah para ulama Jawa yang pada akhir abad ke-19 diakui kebesarannya di Timur Tengah. Mereka adalah ulama yang menjadi kebanggaan Bangsa Melayu yang kualitas keilmuannya berkaliber internasional dan menjadi guru besar dan pengajar tetap di Masjid Al-Haram. Hal menarik dari perkembangan agama di Nusantara saat itu adalah, ada parameter yang menjadi konvensi para ulama bahwa para pelajar dari berbagai daerah Jawa yang belajar di Makkah, mereka baru dianggap berhasil menyempurnakan keilmuannya apabila telah memperoleh bimbingan terakhir dari para ulama kenamaan tersebut.
Pada saat itu, dunia pesantren di Jawa berkembang opini bahwa seorang penagsuh pesantren kurang afdhal, jika belum belajar ke Tanah Suci dan mengambil hikmah dari nama-nama yang mashur itu. Tak heran, jika Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asya’ari juga belajar pada Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi dan ulama lainnya di Tanah Suci. Ketika K.H. Wahab Hasb Allah selesai belajar di Tebuireng, Jombang, sebelum terjun memegang pesantren, dia dinasihati oleh K.H. Hasyim Asy’ari untuk mematangkan ilmunya terlebih dahulu di Tanah Haram. Ia pun pergi dan menetap di Makkah selama empat tahun dan belajar pada ulama terkemuka disana, termasuk Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi (Dhofier, 1990). Selain K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah, para Kiai yang pernah belajar secara langsung pada Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi antara lain: K.H.R. Asnawi (ulama karismatik Kudus), K.H. Bisyri Samsuri, K.H. Shaleh Tayu, K.H. Dahlan Kudus dan lain sebagainya.
Parameter keilmuan ini mempunyai andil besar dalam proses homogenisasi dan keseragaman kitab-kitab yang dipakai di pesantren-pesantren di Jawa. Pada gilirannya, homogenisasai tersebut berlanjut pada keseragaman faham keagamaan dan kehidupan kultural para Kiai di Jawa pada khususnya dan persada Nusantara pada umumnya. Selain itu, semakin meningkatnya kualitas keilmuan para Kiai sebagai hasil dari ketekunannya belajar di Makkah yang memakan waktu lama, membawa dampak kepada peningkatan mutu pesantren. Peningkatan mutu tersebut berupa usaha yang dilakukan para Kiai untuk menanamkan semangat dan memperkenalkan sistem pendidikan baru (madrasah) di pesantren. Sistem pendidikan baru di pesantren ini, berhasil menarik minat masyarakat untuk berbondong-bondong belajar di pesantren (Dhofier, 1994).
Karya
Meskipun usia Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi lebih muda dibandingkan Syaikh Nawawi Al-Bantani, namun tidak bisa dikatakan Syaikh Mahfudh adalah murid Syaikh Nawawi Al-Bantani. Data sejarah menyebutkan bahwa keduanya sama-sama ulama dari Jawa yang terkenal kedalaman ilmunya. Sama-sama mengajar di Masjid Al-Haram. Dan sama-sama produktif menulis karya.
Di kalangan para Kiai di Jawa, Syaikh Mahfudh dikenal sebagai seorang, muhaddits, atau ahli hadits. Ia diakui sebagai seorang isnad (mata rantai) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran Sahih Al-Bukhari. Ia berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai Sahih Al-Bukhari. Ijazah tersebut berasal dari Imam Bukhari sendiri yang ditulis sekitar seribu tahun yang lalu dan diserahkan secara berantai melalui 23 generasi ulama yang telah menguasai karya Imam Bukhari. Syaikh Mahfudh merupakan mata rantai yang terakhir pada waktu itu.
Ketika berada di Makkah, Syaikh Mahfudh sempat mengajarkan ilmunya kepada Syaikh Hasyim Asy’ari. Ia mengajarkan ilmu-ilmu syari’ah, ilmu-ilmu alat, ilmu-ilmu etika dan ilmu-ilmu hadits, sehingga dengan pengajarannya ini, Syaikh Hasyim Asy’ari mampu menguasai ilmu ma’qul dan ilmu manqul (Al-Junbaniy, 1415 H.:4). Dengan ketekunannya belajar dan kemahirannya dalam bidang hadits, maka Syaikh Mahfudh memberikan ijazah kepada Hasyim Asy’ari untuk mengajar Sahih Al-Bukhari. Kualitas dan kapabilitas keilmuan Syaikh Mahfudh, terutama dalam bidang hadits mendorong Hasyim Asy’ari untuk menganjurkan kepada murid-muridnya yang berbakat dalam hadits untuk meneruskan pelajaran haditsnya ke Makkah, untuk memperoleh bimbingan dan ijazah langsung dalam pengetahuan Hadits Al-Bukhari dari Syaikh Mahfudh. Dalam masalah hadits ini, Syaikh Mahfudh yang dikenal sebagai ulama Hadits Melayu Indonesia melacak isnad (mata rantai hadits)hingga kepada Al-Sarqawi (Azra, 1998).
Dalam bidang hadits, karya Syaikh Mahfudh yang paling terkenal di kalangan pesantren adalah kitab “Al-Minhah Al-Khairiyyah fi Arba’in Haditsan min Abaditsi Khair Al-Bariyyah.” Kitab setebal 51 halaman ini, berisi empat puluh hadits pilihan, dan ditulis dalam rangka memenuhi sabda Rasul Allah saw yang berbunyi:
“Barangsiapa di antara umatku menghafal empat puluh hadits tentang masalah agamanya maka kelak akan dibangkitkan Allah pada Hari Kiamat dalam golongan fuqaha’ dan ulama.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Maka akan dikatakan padanya, “Masukilah pintu syurga yang kau inginkan.” (diriwayatkan ‘Ali ibn Abi Thalib)
Maka ia menghimpun empat puluh hadits pilihan dengan harapan agar mudah dihafalkan dan dipahami oleh umat. Ihwal pengumpulan empat puluh hadits ini, Syaikh Mahfudh bukanlah orang yang pertama. Banyak sekali ulama sebelumnya yang telah melakukan hal yang sama. Adapun ulama yang pertama kali menghimpun empat puluh hadits, adalah Imam ‘Abd Allah ibn Mubarak, seorang tabi’in kenamaan. Lalu, diikuti banyak ulama setelahnya, termasuk Imam Nawawi sendiri mengarang kitab “Arbain Nawawi”. Ulama setelah Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi yang mengarang Kitab Hadits Arba’in seperti Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa Al-Fadani yangmengumpulkan empat puluh hadits lengkap dengan sanadnya dari awal sampai akhir. Lalu Syaikh ‘Isma’il ‘Utsman Al-Yamani yang menghimpun empat puluh hadits yang diberi nama “Arbain Haditsan min Kalam Khair Al-Anam fi Al-Mawaidh wa Al-Nashaih wa Al-Ahkam.” Terakhir adalah Al-‘Alim Al-Sayid Shalih ibn Ahmad Al-‘Aidrus menulis kitab yang diberi nama “Faidh Al-‘Alam fi Arba’in Haditsan fi Al-Salam.”
Ketistimewaan kibta “Al-Minhah Al-Khairiyyah fi Arba’in Haditsan min Ahaditsi Khair Al-Bariyyah” karya Syaikh Mahfudh Al-Tarmisi dibandingkan dengan kitab sejenis lainnya adalah bahwa kitab ini berisi 22 hadits “Tsulatsiyyat Al-Bukhari.” Hadits “Tsulatsiyyat” adalah hadits yang antara periwayat sampai Rasul Allah hanya terdapat tiga perawi. Jadi dalam “Tsulatsiyyat Bukhari” antara Imam Al-Bukhari sampai kepada Rasul Allah hanya terdapat tiga perawi saja, sehingga nilai keshahihannya sangat tinggi. Jika ditilik dari keshahihan sanad dan matan, karya Syaikh Mahfudh bisa dikatakan terdepan di antara karya-karya sejenis. Syaikh Mahfud menerima tsulastiyat itu, sebagaimana yang dikemukakan dalam muqaddimah-nya, diperoleh dari gurunya yaitu Syaikh Al-Sayid Abu Bakar ibn Al-Sayid Muhammad Syatha’.
Kitab hadits ini, telah diterbitkan oleh Pondok Pesantren Betengan Demak atas prakarsa cucu pengarang yaitu, K.H. Harir ibn Muhammad ibn Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi dan telah beredar luas di seantero pesantren di Jawa. Dalam kata pengantarnya, K.H. Maimun Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, menjuluki Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi sebagai “Syaikh Al-Masyaikh Al-A’lam wa Qudwatu Al-Anam” atau “Maha gurunya para guru besar yang berilmu dan panutan manusia.” Sebuah julukan yang wajar, sebab memang dari tangannya telah lahir puluhan ulama besar dan puluhan karya monumental.
Dalam bidang ilmu Hadits, Syaikh Mahfudh menuangkan keilmuannya dalam sebuah karya yang diberi nama Minhaj Al-Dzawi Al-Nazhar (Azra, 1999). Kitab Minhaj Al-Dzawi Nadzar merupakan syarh atau penjelasan atas Kitab Mandhumat Ilmi Al-Atsar.Kitab ini diterbitkan pertama kali oleh percetakan Musthafa Bab Al-Halabi, sebuah percetakan tertua di Kota Kairo. Beberapa Guru Besar Ilmu Hadits Universitas Al-Azhar menganggap kitab tersebut sebagai kitab syarh terbaik atas Kitab Mandhumat Ilmi Al-Atsar.
Selain dikenal sebagai pemberi ijazah hadits dan ilmu hadits, Syaikh Mahfudh juga dikenal sebagai maha guru qira’ahsab’ah, khususnya qira’ah riwayat Imam ‘Ashim. Sanad dan ijazahnya pada para Kiai, Huffadz dan Qurra’ di Jawa masih bisa ditemukan sampai sekarang. Misalnya pada mata rantai sanad yang ada pada Pondok Pesantren Putri Tahfidz al-Qur’an “Al-Aziziyyah” Bringin, Semarang. Dalam mata rantai sanad itu, Ibu Nyai ‘Azizah Al-Hafidhah, Pengasuh Pesantren menerima ijazah dari K.H. Tarmidzi Taslim Kauman Semarang dari K.H.R. Muhammad ibn Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi dari Syaikh Muhammad Dimyathi Al-Tarmasi dari Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi dan seterusnya sampai kepada Imam ‘Ashim dari ‘Abd Rahman dari ‘Utsman ibn ‘Affan dari Ubay ibn Ka’ab, dari Muhammad Rasul Allah saw.
Saat ini, sanad ijazah membaca al-Qur’an riwayat Imam ‘Ashim baik binadzar (dengan melihat mushaf) atau bil ghaib yang ada di pelbagai pesantren di Jawa mayoritas melalui dua jalan sanad. Yang pertama melalui pintu Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi terus ke atas sampai ke Imam ‘Ashim; yang kedua melalui pintu Syaikh Arwani Kidus dari Syaikh Muhammad Munawwi dari Syaikh Yusuf Al-Dimyathi terus ke atas sampai kepada Imam ‘Ashim (Mahalli, 2003). Selain riwayat ‘Ashim, Syaikh Mahfudh juga fasih membaca dan mengajarkan tartil al-Qur’an dengan riwayat Imam Abi ‘Amru, Imam ibn Katsir, Imam Hamzah dan Imam Nafi’. Kepiawaiannya dalam qira’ah tidak terbatas pada riwayat tujuh Imam (qira’ah sab’ah), namun juga sampai pada riwayat sepuluh imam (qira’ah ‘asyrah). Bukti otentik ini adalah pada karyanya mengenai ilmu qira’ah ‘asyrah yang tertuang dalam karyanya “Unyat Al-Thalabah bi Syarh Nudhum Al-Thayyibah fi Qira’at Al-‘Asyriyyah.” Ini adalah hal yang wajar sebab ia adalah murid seorang “Syaikh Al-Maqari” atau “Maha Gurunya Para Ahli Qira’ah” dari Dimyat, Mesir yaitu Syaikh Muhammad Al-Sarbini Al-Dimyathi.
Di samping pakar dalam bidang hadits, ilmu hadits dan qira’ah, Syaikh Mahfudh juga mahir dalam bidang fikih. Ini terbukti dari kitab syarh (commentary) terhadap fikih Syafi’i yang dikarangnya. Dia mengarang Kitab Muhibbah yang merupakan kitab Syarah dari karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (w.1567) (Federspiel, 1995). Kitab Muhibbah ini merupakan karya Syaikh Mahfudh yang sudah diterbitkan. Kitab ini terdiri dari lima jilid, namun yang diterbitkan baru empat jilid (Dhofier, 1994). Dalam bidang Ushul fiqih, Syaikh Mahfudh mengarang sebuah kitab bernama Nail Al-Ma’mul bi Hasyiyat Ghayat Al-Wushul fi ‘Ilm Al-Ushul yang terdiri dari tiga jilid.
Dalam bidang tasawuf, Tarekat Syadziliyyah menunjukkan perkembangan yang drastis dalam diskursus religio-intelektual para ulama Jawi. Sejak pertengahan abad ke-17 hingga awal abad ini, para ulama Al-Haramain, baik ulama Jawi maupun non-Jawi mempunyai otoritas untuk menyebarluaskannya di Nusantara. Perkembangan Tarekat Syadziliyyah di Nusantara, terutama di Jawa tidak lepas dari peran Syaikh Mahfudh yang memperoleh otoritas, dalam bidang tasawuf, selain otoritas ilmu-ilmu agama lainnya dari ulama Makkah dan Madinah, untuk mentransmisikan ilmu-ilmu dan otoritas tersebut kepada para ulama di Nusantara (Azra, 2000: 50).
Syaikh Mahfudh juga memberikan perhatian serius terhadap ilmu faraidh. Mengingat ilmu ini sangat penting bagi keadilan sosial di masyarakat muslim. Apalagi ilmu ini disinyalir Rasul Allah sebagai ilmu syari’ah yang pertamakali akan hilang dari khazanah keilmuan umat Islam. Maka, Syaikh Mahfudh menggoreskan penanya dan terciptalah sebuah kitab berbobot bernama “Hasyiyah Takmilah Al-Minhaj Al-Qawin ila Al-Faraidh.”
Secara lebih lengkap, karya Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi sebagai berikut:
- Al-Siqayah Al-Mardhiyyah fi Asami Kutub Al-Shabuna Al-Syafi’iyyah.
- Mauhibbah Dzi Al-Fadhl Hasyiyah Syarh Mukhtashar Bafadhl.
- Al-Minhaj Al-Khairiyyah fi Arba’in Haditsan min Abadits Khair Al-Bariyyah.
- Al-Khali’ah Al-Fikriyyah bi Syarhi Al-Minhah Al-Khairiyyah.
- Kifayah Al-Mustafid fima ‘Ala min Al-Asanid.
- Al-Fawaidh Al-Tamsiyyah fi Asanid Al-Qira’at Al-Asy’ariyyah.
- Al-Badr Al-Munir fi Qira’at Al-Imam Ibn Katsir.
- Tanwir Al-Shadr fi Qira’at Al-Imam Abi ‘Amr.
- Insyirah Al-Fu’ad fi Qira’at Al-Imam Hamzah.
- Ta’mim Al-Manafi fi Qira’at Imam Al-Nafi’.
- Is’af Al-Mathali’ bi Syarh Badr Al-Lami’ Nadhmi Al-Jam’u Al-Jawami.
- ‘Unyatu Al-Thalahah bi Syarhi Nadhmi Al-Thayyibah fi Qira’at Al-Asy’ariyyah.
- Hasyiyah Takmilah Al-Minhaj Al-Qawim ila Al-Faraidh.
- Minhaj Al-Dzawi Al-Nadhar bi Syarhi Mandhumat Al-Ilmi Al-Atsar.
- Nail Al-Ma’mul bi Hasyiyah Ghayah Al-Wushul fi ‘Ilmi Al-Ushul.
- ‘Inayah Al-Muftaqar fima Yata’allaq bi Sayidina Al-Hidhir.
- Bughyah Al-Adzkiya’ fi Al-Bahtsi’an Karamat Al-Auliya’.
- Fathu Al-Khabir bi Syarhi Miftah Al-Sair.
- Tahyiah Al-Fikr Al-Fiyyah Al-Sair.
- Tsulatsiyyat Al-Bukhari.
Sebagian besar karya itu telah dicetak dan tersebar di seantero dunia Islam. Pun dengan sebagian karya itu dapat dengan mudah ditemukan di Toko Kitab Musthafa Bab Al-Halabi yang terletak di belakang Masjid Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Wafat
Setelah bermukim dan mengajarkan ilmu di Makkah selama kurang lebih empat puluh dua tahun, pada tahun-tahun 1338 H, bertepatan dengan tahun 1920 M. Syaikh Mahfudh Al-Tarmasi berpulang ke Rahmatullah. (Azra, 1999). Ia wafat dengan meninggalkan warisan ilmiah yang tiada ternilai harganya. Cita-citanya untuk wafat dan dimakamkan di Makkah atau di Madinah tercapai. Ia di makamkan di Ma’la Makkah berdekatan dengan makam Ummul Mukminin Sayidah Khadijah, isteri Baginda Nabi Muhammad saw. (Ma’murin, 1984).
Daftar Pustaka
Wikipedia, Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, sumber Wikipedia, diakses 3 Juni 2022
Budi, Biografi Syeikh Mahfudz at-Tarmasi, sumber Laduni.id, diakses 3 Juni 2022
Miatul Qudsia, Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Mahfudz At Tarmasi, sumber Tafsir Quran.Id, diakses 3 Juni 2022
Alhikmah, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Ulama Hadits Nusantara yang Mendunia, sumber Al-Hikmah.ac.id, diakses 2022
M. Abror Rosyidin, Syaikh Mahfudz at Tarmasi, Ulama Indonesia Diakui Dunia (Bagian 1), sumber Tebuireng Online, diakses 3 Juni 2022