Komering, sebagai sebuah lokus peradaban, sesungguhnya memiliki khazanah kekayaan sejarah. Sebagai satu dari dua entitas ulayat Melayu Kuno di Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel), selain Rejang di Provinsi Bengkulu, Komering memiliki data sejarah yang berhubungan dengan jaringan inti penyebaran Islam di Nusantara serta lini tengah Kedatuan Sriwijaya.
Secara umum, baik Rejang maupun Komering memang memiliki identitas seperti umumnya tradisi lokal Sumbagsel yang menampakkan karakter sebagai pewaris peradaban Kedatuan Sriwijaya dan jaringan inti penyebaran Islam di Nusantara. Namun, secara khusus, yang paling unik pada keduanya dibandingkan dengan umumnya kearifan lokal di Sumbagsel adalah perihal bahasa.
Ya, bahasa Rejang dan Komering amat unik atau sangat berbeda dengan bahasa-bahasa lokal lainnya di Sumbagsel. Namun, tulisan ini tidak akan mengulas keunikan bahasa Rejang dan Komering itu. Akan tetapi, tulisan ini mencoba mengulas sekilas tentang kecakapan berbahasa tokoh Komering. Utamanya kecakapan membaca dan menulis yang belakangan kita kenal sebagai gerakan literasi. Khususnya literasi kitab kuning sebagai bahan ajar atau materi pembelajaran agama Islam.
Tokoh Komering? Yang menyusun kitab kuning? Ulama Komering penyusun atau penulis kitab kuning? Apakah benar ada? Menjawab pertanyaan-pertanyaan demikian apalagi oleh generasi kelahiran tahun 2000 ke sini, apalagi tidak punya hubungan biologis atau ideologis dengan leluhur Komering, tentu akan susah. Apalagi membayangkan Komering, sebagaimana daerah-daerah adat dan ulayat lain di Sumbagsel, yang kearifan tradisinya tergerus oleh fenomena modern (terdesak oleh perkara sabu, perkara korupsi, dan perkara anti toleransi).
Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah jua, secara bertahap fokus Pusat Kajian Komering Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) STKIP Nurul Huda dapat dibangun. Salah satu kegiatan pusat studi unggulan kampus milik Pondok Pesantren Nurul Huda (PPNH) Sukaraja ini adalah kajian teks Komering. Darinya memungkinkan data demi data terkait aktivitas literatif tokoh Komering terkumpul. Begitu juga data mengenai ulama Komering tokoh literasi kitab kuning dan jaringannya pun dapat dihimpun.
Sesungguhnya banyak tokoh Komering yang ulama. Bahkan ulama besar yang mengajar dan menjadi mufti atau tokoh yang bertugas memberikan fatwa di Haromain (Mekkah dan Madinah) ada. Juga diriwayatkan di antara mereka merupakan penulis kitab-kitab kuning. Akan tetapi, dalam kesempatan ini penulis berupaya mengetengahkan sosok tokoh Komering yang kitab kuning karyanya sangat dekat dengan keseharian penulis.
Kontak Jaringan Ulama Komering
Pertama kali keterangan mengenai keberadaan ulama Komering dan jaringannya kami dapatkan dari KH. Affandi, pendiri dan pengasuh PPNH Sukaraja. Dari tokoh petani transmigran Jawa di Sumbagsel ini dapat digali banyak informasi terkait sejarah dunia pesantren di Sumatera Selatan (Sumsel).
Namun hal paling mengakar yang dapat digali dari Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Sumsel yang putera transmigran di Belitang ini adalah keberadaan jaringan ulama pribumi Komering. Yaitu jaringan ulama Komering Campang Tiga dan jaringan ulama Komering Kotanegara. Tulisan ini coba mengulas jaringan ulama Komering Campang Tiga dan tokohnya yang aktif dalam literasi kitab kuning.
Abuya KH. Abbas Husein adalah tokoh yang pertama kali terakses dari jaringan ulama ini. Namanya disebutkan pertama kali oleh Kiai Affandi karena sempat bertemu dan berinteraksi langsung. Sebagai santri, Kiai Affandi aktif di komunitas masjid Desa Trimoharjo, lokasi keluarga besarnya bertransmigrasi dari Jember, Jawa Timur.
Kiai Affandi, yang kala itu masih kecil, bahkan sering diminta oleh Kiai Abbas Husein untuk memijat kakinya di setiap kali kunjungannya sebagai pejabat urusan agama ke Trimoharjo. Karena itu pula Kyai Affandi pernah bersilaturahim ke kediaman Kyai Abbas Husein sebagai bentuk ta’dzhim dan tabarruknya kepada tokoh ulama Komering ini.
Selain KH. Abbas Husein, Kyai Affandi juga mengenal tokoh yang bernama KH. Hasan Qolay. Tokoh yang akan kita coba ulas lebih di sini dikenal Kyai Affandi dari gurunya yaitu KH. Tolchah. KH. Tolchah adalah putera dari KH. Dawawi, imam masjid Trimoharjo yang rumahnya sering dikunjungi oleh KH. Abbas Husein.
Dari Kyai Tolchah inilah diketahui betapa literatifnya Kyai Hasan Qolay. Dari keterangan Kyai Tolchah dan puterinya serta keterangan Kyai Affandi, memiliki karya ilmiah berupa rumuz ilmu Falaq dan syair-syair ilmu agama. Selain itu, Kyai Hasan Qolay, melalui karya-karya ilmiahnya, juga menjadi bagian inti dari apa yang disebut tarbiyah diniyah salafiyah atau pendidikan keagamaan tradisional. Karya-karyanya diakses pembelajaran baca tulis (gerakan literasi) kitab kuning di Komering. Baik oleh masyarakat pribuminya maupun masyarakat pendatang.
Jaringan Ulama Campang Tiga
Kapasitas seperti KH. Hasan Qolay di atas tentu tak terlepas dari jaringan gurunya. Dimana sebelum ke Mekkah, KH. Hasan Qolay berguru kepada KH. Kiemas Oemar di Palembang dan KH. Husein di Komering. Dari KH. Husein, muncullah empat kerabat ulama asal Campang Tiga yaitu KH. Abbas Husein, KH. Mallawie Husein, KH. Hasan Qolay dan KH. Saleh Muzany. KH. Husein sendiri sesungguhnya ulama Campang Tiga yang berkiprah di pentas nasional. Namun, dokumentasi tentang itu masih terbatas sekali.
Yang jelas, lewat kiprah dan ketokohan KH. Husein, muncul keempat kerabat ulama Campang Tiga dengan keunggulan keilmuan mereka masing-masing. KH. Abbas Husein yang juga ayahanda dari Bupati OKU Mulkan Aziman memiliki keunggulan di bidang Ulumul Qur’an. KH. Mallawie Husein memiliki keunggulan di bidang Mawaris dan ilmu Falaq.
Sementara itu, KH. Hasan Qolay memiliki keunggulan di bidang Fiqih, syi’iran atau syair Melayu dan juga ilmu Falaq. Sedangkan KH. Saleh Muzany yang merupakan saudara kandung Gubernur Sumsel Ahmad Bastari memiliki keunggulan di bidang ilmu Qira’at. Dari sini saja, dapat diketahui bahwa Campang Tiga tidak hanya menjadi salah satu gudangnya para ulama Komering. Tapi juga basisnya para ulama pejuang kemerdekaan.
Tiga dari keempat tokoh ulama Campang Tiga ini dalam peran sosial dakwah mereka juga pernah menduduki kursi Kepala KUA Belitang secara bergiliran pada kisaran tahun 1960-an. KH. Hasan Qolay merupakan pejabat kedua Kepala KUA Belitang sesuai periodenya. Lalu dilanjutkan secara berturut oleh KH. Abbas Husein dan kemudian diteruskan oleh KH. Mallawie Husein.
Mallawie Husein yang dengan keunggulan di ilmu Falaq kemudian bertugas sebagai Kepala Kantor Pengadilan Agama Lubuk Linggau. Beliau dilantik oleh KH. Abubakar Bastari, ulama Komering asal Kotanegara. Pendiri Madrasah Sullamul Fallah dan pernah menjadi Anggota Konstituante ini kala itu merupakan Kepala Kantor Pengadilan Agama Palembang.
Sementara KH. Abbas Husein setelah bertugas sebagai Kepala KUA Belitang lebih fokus pada pembinaan jaringan dakwah di Belitang dan pendidikan Al Quran dengan mengaktifkan Taman Pendidikan Al Quran “Sija Carana” di Desa Campang Tiga. Sedangkan KH. Saleh Muzany berbeda tugas sosialnya dari ketiga kerabatnya tadi. Beliau memilih berperan di pemerintahan secara umum yaitu sebagai Pesirah.
Adapun KH. Hasan Qolay sendiri, seusai bertugas sebagai Kepala KUA Belitang, beliau lebih banyak mengembangkan perjuangan dakwah di daerah Bangka Belitung. Itulah kemudian nama Hasan Qolay diabadikan ke nama gedung Auditorium Mas’ud Hasan Qolay Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bangka Belitung. Kantor ini berdiri pada tahun 2002 dengan Kepalanya yang pertama adalah almarhum Mas’ud Hasan Qolay. Putera KH. Hasan Qolay dari istri keduanya yang asli Bangka.
Biografi KH. Hasan Qolay
Hasan Qolay bin KH. Abdul Muin bin KH. Arief Qolay lahir pada tahun 1901di Desa Campang Tiga, Kecamatan Cempaka, Kabupaten OKU Timur (pemekaran dari Kabupaten OKU), Provinsi Sumatera Selatan. Sejak kecil, KH. Hasan Qolay gemar menuntut ilmu bahkan sempat bermukim di Mekkah selama 17 tahun (menahun) dan di Mesir selama 3 tahun.
Dalam dunia kepenulisan, KH. Hasan Qolay tampak lebih mengemuka terutama dibandingkan dengan ketiga kerabatnya tadi. Hal ini ditunjukkan dari dokumentasi karya tulisnya yang dapat terkonfirmasi. KH. Hasan Qolay sempat menyusun beberapa karya yang di antaranya adalah kitab “Taudhihush Sholah”, kitab “Syair Tiga Setangkai”, “Syair Kubur”, “Rumuz Ilmu Falaq”. Secara tematik, masing-masing karya tersebut mempunyai spesifikasi tersendiri. Karya beliau masih ada yang dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan tradisional (salafiyah) terutama di Bangka Belitung.
Kitab Taudhihus Sholah membahas tentang Fiqih Sholat yang di bagian ujungnya terdapat Sayir Nasihat Diniyah. Kitab ini dengan jelas menegaskan ajaran Fiqih Syafiiyah sebagai acuannya. Juga mengulas dengan perspektif tasauf (sufistik) selain persepktif fiqih (normatif). Karena itu ia pantas disebut produk literasi fiqih sufistik ulama Komering. Sementara kitab Syair Tiga Setangkai membahas Nabi Muhammad dari tiga perspektif yang diulas dengan tiga buah syair dengan tematik masing-masing.
Pertama, syair yang bertema Nabi Muhammad di kandung ibunya. Kedua, syair yang bertema keluarga Nabi Muhammad. Ketiga, syair yang bertema bilangan nabi dua puluh lima. Sementara Syair Kubur adalah syair yang membahas tentang ilmu Tauhid yang ini masih hidup di dalam kesadaran masyarakat Bangka. Adapun rumuz ilmu Falaq merupakan karya di bidang ilmu Falaq yang masih terkonfirmasi di Komering bahkan pada masyarakat pendatang Jawa. Hal ini diceritakan oleh salah seorang puteri KH. Tolchah, guru KH. Affandi.
Dari sudut keluarga, KH. Hasan Qolay memiliki 2 orang istri dan 11 orang putera. Dari istri pertamanya yang juga kelahiran Campang Tiga, KH. Hasan Qolay berputera 4 orang. Keempatnya adalah Solhah, Abdul Hamid, Mahmud dan Marwan. Sementara dari istri keduanya yang kelahiran Bangka, KH. Hasan Qolay berputera 7 orang. Ketujuh puteranya itu adalah Marzuk, Mas’ud, Husnah, Saudah, Mastur, Masdar dan Koribah. Hasan Qolay memiliki pola dalam pemberian nama putera-puterinya. Dimana yang putera cenderung berawalan M dan bagi yang puteri berakhiran “h” (ta’ marbuthah). Dari mereka ini yang masih hidup adalah Husnah di Bandung, Saudah di Jambi, Mastur di Bandung, Masdar di Bangka dan Koribah di Bandung.
Sulung KH. Hasan Qolay adalah Drs. KH. Abdul Hamid, SM.Hk. Ia mewarisi keterampilan literatif sang ayah. Sebagaimana ditulis oleh Hafidhuddin Z. Abto, di antara karyanya adalah “Indeks Terjemah Al-Qur’anul Karim” (5 Juz). “Indeks Hadis Nabawi” (14 Juz”. “Seputar Masalah Sayyidina”. “Sholat Sunnah” (4 Juz). “Jenazah: Akhir Petualangan Manusia”.
Selain itu, tokoh ini juga memberikan syarah atas Kitab Taudhihus Sholah karangan ayahnya. Ia juga menyiarkan Islam di Lampung, di Campang Tiga, kampung halamannya, dan di Sukarami, Sungai Rotan, Muara Enim, tempatnya berpulang pada usia 92 tahun. Sebelum bergerak menyiarkan Islam, sosok telah pula melakukan pengembaraan demi ilmu pengetahuan.
Sebelumnya, tokoh ini telah menempuh studi di Pondok Pesantren Nurul Islam (PPNI) Sri Bandung selama enam tahun dengan asuhan KH. Anwar. Madrasah Nurul Falah Palembang selama 3 tahun dengan asuhan KH. Muhammad Daud Rusydi (tokoh ulama Komering juga). Juga Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Jaho Padang Panjang selama 7 tahun dengan asuhan Buya Dalil Dt. Maninjun. Kemudian Kuliyah Syar’iyah Bukittinggi dengan asuhan Buya Mansyur. Langkah kaderisasi jaringan ulama Komering Campang Tiga melalui puteranya ini tampak jelas dari KH. Hasan Qolay.
Menurut Koribah, dulu pernah beredar heboh cerita mengenai karomah KH. Hasan Qolay yang terjadi di Dusun Busali Desa Campang Tiga Ilir. Pernah ada saudaranya yang kehilangan padi yang telah disimpan di bawah rumahnya dalam jumlah yang sangat banyak. Dengan doa tahajud dan amalan KH. Hasan Qolay, pencuri beras tersebut yang ternyata preman kampung datang ke rumahnya. Sembari bersujud, ia mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Tak ada pesan yang disampaikan oleh KH. Hasan Qolay kepadanya kecuali taubat dan yang bersangkutan pun insyaf.
- Hasan Qolay wafat pada hari Minggu jam 11 siang tanggal 21 Agustus 1983 di usia 82 tahun dan dimakamkan di pemakaman Desa Campang Tiga. Kedua istrinya juga bermakam di Campang Tiga. Secara silsilah, KH. Hasan Qolay disebutkan juga keturunan Puyang Said Hamimul Hamim gelar Tuan di Pulau. Tokoh ini merupakan sosok leluhur paling melegenda di wilayah adat dan ulayat Komering. Beliau bermakam di komplek pemakaman Desa Negeri Sakti, yang lokasinya berada di seberang Desa Campang Tiga.
Sementara di lokasi pemakaman di depan komplek MTs Negeri Campang Tiga, bermakam pula Puyang Junjungan Sayyid Hamim Ukasyah Sulthon Negeri Pasai Madinaturrasul. Tokoh ini berputera Puyang Rizal Tuha yang bermakam di pesisir sungai Lematang, tak jauh dari situs Candi Bumi Ayu, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten PALI. Lokasi yang tidak jauh dari tempat tinggal dan makamnya KH. Abdul Hamid Hasan Qolay di Desa Sukarami, Kecamatan Sungai Rotan, Kabupaten Muaraenim.