Tokoh Pergerakan Nasional
Beliau termasuk salah seorang tokoh pergerakan nasional, organisatoris, prinsipil (dalam akidah) tetapi luwes dalam mengejawantahkan nilai-nilai luhur Islam, dan terkenal tokoh yang toleran. Abdul Halim dilahirkan tanggal 4 Syawal 1304 H (26 Juni 1887) di Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Ayahnya, KH. Muhammad Iskandar, dari Banten yang menjadi Penghulu di Jatiwangi, kemudian mempersunting gadis setempat, Siti Mutmainah, yang kemudian dikaruniai tujuh anak dengan Abdul Halim sebagai anak bungsu.
Abdul Halim mendapatkan pendidikan agama sejak dini, baik dari keluarganya sendiri maupun masyarakat sekitar. Ayahnya meninggal dunia saat Abdul Halim masih kecil sehingga Beliau diasuh oleh Ibu dan kakak-kakaknya. Sejak kecil, Abdul Halim termasuk orang yang gemar belajar dan cinta terhadap Ilmu. Beliau banyak belajar ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu kemasyarakatan. Ketika berumur 10 tahun, Abdul Halim belajar al-Quran dan al-Hadits kepada KH. Anwar, seorang ulama terkemuka dari Ranji Wetan, Majalengka dan merupakan guru pertamanya diluar keluarganya sendiri. Abdu Halim sebagai penggemar ilmu, tidak mau ketinggalan mempelajari disiplin ilmu lainnya, tidak pandang Beliau harus belajar kepada orang sealiran ataukah tidak –termasuk orang-orang diluar Islam– asalkan dapat bermanfaat untuk perjuangannya kelak. Semangat ini terlihat ketika beliau belajar bahasa Belanda dan huruf latin Van Hoeven, seorang pendeta dan missionaris Kristen di Cideres, Majalengka.
Abdul Halim yang mulai menginjak usia remaja, belajar di berbagai Pondok Pesantren. Diantaranya: Pesantren Lontangjaya Penjalin Leuwimunding Majalengka asuhan KH. Abdullah, Pesantren Bobos Sumber Cirebon asuhan KH. Sujak, Pesantren Ciwedus Timbang Cilimus Kuningan asuhan KH. Ahmad Shobari, Pesantren Kedungwangi Kenayangan Pekalongan asuhan KH. Agus.
Pada usia 21 tahun, Abdul Halim menikah dengan Siti Murbiyah putri KH. Ilyas (Penghulu Landraad Majalengka) yang kemudian hari dikaruniai 7 orang anak. Walaupun sudah berkeluarga, Abdul Halim tidak lantas berhenti belajar. Sebagai pecinta ilmu, Beliau meneruskan dan memperdalam ilmu-ilmu keislaman di tanah kelahiran Islam, yaitu Mekah. Di Tanah Suci, Beliau berguru kepada ulama-ulama besar, satu diantaranya ialah Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Beliau berangkat ke tanah suci Makkah. Disana KH. Abdul Halim terkenal sangat toleran kepada teman-temannya, baik dari kalangan pembaharu maupun kalangan tradisionalis. Hal itu di buktikan bahwa KH. Abdul Halim banyak bergaul dengan KH. Mas Mansyur (tokoh Muhammadiyah) dan KH. Wahab Hasbullah (tokoh Nahdlatul Ulama) hingga hubungan mereka bertiga menjadi sangat dekat dan akrab –walaupun kedua sahabat karib beliau berbeda tempat pengabdian. Selain itu juga ditunjang dengan pembacaan beliau yang beraneka ragam terhadap ilmu-ilmu keislaman dan sosial-kemasyarakatan. Setelah tiga tahun belajar di Tanah Suci Mekah, KH. Abdul Halim kembali ke Tanah Air.
KH Abdul Halim Ulama besar tanah Pasundan ini menghadap Allah SWT 7 Mei 1962 dan dikebumikan di Majalengka dalam usia 74 tahun. Selurh harta peninggalannya diwakafkan untuk madrasah dan institusi pendidikan. Bahkan rumah pribadinya diberikan untuk PUI.