Opini  

Betapapun ‘Pincangnya’ Ibadahmu, Berterima Kasihlah!

oleh: Tyas Ary

Doa tahiyat akhir yang sudah di luar kepala mengalir, ditutup salam seraya menangkupkan tangan ke wajah. Dan sholat dhuhur ini berakhir sudah. Doa dipanjatkan tanpa berpanjang-panjang, bergegas menyiapkan makan siang.

Ashar yang lebih senggang terkadang diuji dengan memikirkan banyak agenda, sekedar menyiram tanaman atau menyelesaikan bacaan. Dan lebih sering adalah persiapan cemilan untuk suami nanti malam, sebuah ritual yang jarang bisa dilewatkan.

Menimbang mengingat setiap sujud dalam sembahyang, kadang ada pertanyaan muncul di benak. Mempertanyakan setiap ibadah yang disetorkan ke hadiratNya, yang acapkali sambil tergesa. Yang diwarnai melayangnya pikiran ke mana-mana, mulai dari menu esok hari sampai ketukan pintu oleh tetangga.

Sudahkah kita benar-benar menikmati dzikir kita? Benarkah ibadah yang kita lakukan sudah sempurna sehingga layak mendapat predikat diterima? Dan dari sekian ibadah yang amburadul ini masihkah ada gunanya?

Adalah Gus Baha, seorang ulama yang sekitar dua tahun belakangan saya kenal dan cukup menyita perhatian banyak masyarakat. Mulai rakyat biasa hingga para pejabat. Apa yang akan saya sampaikan ini saya peroleh dari mendengarkan tausyiah beliau di spotify, pun bisa disimak di Youtube. Bukan berniat menggurui siapapun yang membaca tulisan ini, lebih kepada semangat untuk menebarkan dawuh beliau, sehingga kita beragama dengan nyaman dan gembira. Sekaligus menjawab kegundahan yang mungkin singgah di sebagian dari kita.

Dalam mendekatkan diri kepada Allah pincang-pincanglah kita tetaplah berjalan begitu Gus Baha menegaskan. Khasnya tarikat Syadziliyyah tidak pernah menganggap kesalahan-kesalahan itu suatu kesalahan (yang dimaksud adalah kesalahan di luar hal-hal maksiyat). Amal yang sedikit dan kita berterimakasih kepada Allah itu lebih baik dibandingkan kita beramal banyak tetapi selalu merasa salah. Sholat meskipun tidak begitu khusyu adalah lebih baik daripada yg tidak pernah sholat. Sujud tidak khusyu juga lebih baik dibanding mereka lupa bersujud namun melakukan dugem.

Baca Juga  Menulis, Tradisi Intelektual Santri

Pertanyaan yang melintas dan berulang; “Apakah sholatku barusan sah dan apakah diterima oleh Allah?” adalah hal yang membuat perasaan menjadi was-was tidak tenang bahkan lebih buruk lagi menjadi tidak nyaman dalam menjalankan ibadah itu sendiri.

Menurut Gus Baha ibadah jangan dianggap problem, karena itu adalah cita-cita tertinggi syaitan. Menganggap ibadah tidak sempurna sebagai problem bahkan bagian dari kesyirikan. Karena siapalah kita, kita adalah manusia biasa dan wajar saja manusia tidak sempurna.

Ada cerita saat beliau Gus Baha menolak mengajar karena takut melakukan kesalahan dan menganggap ilmunya belum seberapa. Justru beliau ditegur oleh salah satu guru beliau. “Takut salah itu keangkuhan. Kamu ini siapa, bukan nabi saja kok takut salah“, begitu kira-kira tegurannya. Jadi perlu kita ingat betul bahwa ingin sempurna adalah keangkuhan.

Madzhab Syadiliyah yang tercermin dalam kitab Al Hikam menceritakan bahwa syaitan itu sudah cukup miris melihat kita bersujud kepada Allah, dan itu harus kita syukuri. Biar bagaimanapun sujud adalah pemberian Allah. Di zaman akhir ini masih bersujud, masih sedekah meskipun sambil ingat hutang adalah lebih baik daripada memaksakan menjadi sempurna.

Jangan sampai karena memaksakan ikhlas (sempurna) kemudian justru kita tidak melakukan ibadah apapun. Lakukanlah semampu kita tanpa menunggu sempurna. Termasuk dalam hal merawat anak, pasangan, dan orang tua. Andai orang tua atau guru kita memanggil, tak perlulah harus sempurna pakaian kita, bawaan kita, hadirlah segera dan itu lebih baik. Seperti itulah kurang lebih dalam kita beribadah kepada Allah.

Betapa pilunya syaitan menangis memandang manusia akhir zaman bersujud. “Hai Bani Adam kalian disuruh bersujud dan kalian berhak syurga, sedangkan aku enggan bersujud dan kelak mendapat neraka”, begitu kira-kira ratapan syaitan menyaksikan sujud kita. Bukankah sebuah kesuksesan yang pantas disyukuri, ibadah kita berhasil membuat syaitan tercabik perasaannya. Jadi mempertanyakan apa masih ada gunanya ibadah tanpa keikhlasan sudah terjawab bukan?

Baca Juga  Kearifan Budaya, Walisongo dan Islam Nusantara

Berkali-kali saya diingatkan oleh beliau bahwa hakikatnya manusia itu ya memang bersujud, tanda takdhim kepada Allah. Terlepas dari khusyu tidaknya, manusia yang bersujud telah menunaikan penghormatannya kepada Sang Pencipta. Sebuah simbol ketertundukan kita kepada Allah.

Yakin bahwa ibadah kita adalah rahmat Allah. Saat baca Quran entah kita paham betul atau tidak, bersyukurlah. Yang dibaca adalah Quran yang diturunkan melalui Jibril dipanitiai puluhan ribu malaikat kok saya yang hina ini Engkau izinkan membacanya.

Imam Syafii berdoa menjelang akhir hayatnya, “Saya ingat dengan dosa saya, tapi Engkau memiliki ampunan yang lebih besar. Kalaupun Engkau menyiksa saya, saya pun tidak berputus asa dari rahmatMu meskipun diri saya karena dosa saya masuk neraka.

Gus Baha melanjutkan, jika ingin ideal, sampaikanlah kepadaNya sebelum sholat “Ya Allah saya ingin sholat dalam rangka penghormatan kepadaMu, saya ingin Fatihah, rukuk, sujudnya benar dalam rangka hormat kepadaMu”. Itu sudah cukup tanpa harus memaksakan. Allah maha Tahu kekurangan kita.

Kalimat ini semakin mencubit-cubit saya, mencabik-cabik kesombongan berbalut nafsu. Jangan-jangan selama ini kesempurnaan ibadah yang dicita-citakan bukan dalam rangka penghormatan kepadaNya. Lebih pada keinginan memetik buah-buah surga didampingi puluhan bidadari di sana. Padahal cukuplah ketaatan ini diniatkan penghormatan dan syukur kepadaNya.

Saya jadi tersenyum mengenang bertahun-tahun sholat barangkali minim kekhusyukan sambil ditunggangi dua anak balita saya. Rukuk dan sujud yang terbata-bata, lama bukan karena meresapi namun sambil menunggu anak turun dari punggung ibunya. Semoga senyum ini adalah pertanda, bahwa Gusti Allah ingin menyampaikan, “Rapopo ndhuk, selama kamu masih bersyukur semua akan baik-baik saja”.

bio penulis:

ibu dari dua anak, Usia 41 tahun, Lulusan S1 Teknik Informatika, pernah bekerja di sebuah BUMN selama 9 tahun sebelum menjadi ibu rumah tangga. Penyayang kucing, suka berkebun dan membaca. Sangat menikmati mendengar ceramah Gus Mus dan Gus Baha. 

 

Baca Juga  Merasa Seperti Sampah dan Bagian dari Sampah Masyarakat? Saatnya Berfilosofi

 

 

 

Respon (1)

Tinggalkan Balasan