Opini  

Berjamaah Melawan Islamofobia

Berjamaah Melawan Islamofobia - dawuh guru

Oleh: Hermansyah Kahir

Warga Nahdliyin, Penulis Buku Menjadi Santri 4.0

Tentu kita masih ingat, beberapa waktu silam terjadi aksi pembakaran mushaf Al-Qur’an oleh seorang politisi anti-imigran dan ekstremis sayap kanan bernama Rasmus Paludan. Aksi tersebut ia lakukan di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm. Bahkan, dari pemberitaan di pelbagai media, aksinya telah mendapatkan izin dari pejabat Swedia.

Aksi Paludan menyebabkan gelombang demonstrasi di beberapa negara. Umat Islam marah dan mengutuk keras aksi intoleran tersebut. Apa pun alasannya, pembakaran kitab suci Al-Qur’an tidak dapat dibenarkan. Kebebasan berekspresi tidak dapat dilakukan dengan cara-cara yang justru melanggar hak orang lain. Atas dasar apa pun perbuatan intoleransi dan rasis tidak boleh terjadi, baik dilakukan terhadap umat Islam, kristiani maupun agama-agama lain.

Apa yang dilakukan Paludan bukanlah kali pertama. Aksi serupa pernah terjadi di beberapa negara. Pada 2022, Lars Thorsen, pimpinan kelompok anti-Islam di Norwegia membakar Al-Qur’an. Pada 2012 juga terjadi pembakaran Al-Qur’an di Afganistan yang dilakukan oleh belasan tentara Amerika Serikat. Bahkan, aksi tentara AS tersebut memicu demonstrasi dan menewaskan setidaknya 30 orang.

Apa yang terjadi di Swedia, Afganistan, dan Norwegia merupakan tindakan kebencian terhadap Islam yang dilakukan secara terbuka. Gejala yang lazim disebut “Islamofobia” ini sangat merugikan umat Islam karena mereka menjadi objek diskriminasi.

Islamofobia merupakan prasangka, kebencian, dan rasa takut terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Sikap ini tentu saja bukan bagian dari Islam, melainkan propaganda dan alat politik kelompok tertentu yang ingin melemahkan Islam. Dalam konteks ini, Hamidulloh (2018) mempertegas bahwa Islamofobia tidak murni dari Islam, karena hanya klaim “Islam itu teroris”, propaganda, dan sarat kepentingan politik.

Baca Juga  Salaman Inside Offside: Melacak Akar Sejarah Tradisi Salim Wolak-Walik Ala Santri

Banyak faktor yang melatarbelakangi lahirnya Islamofobia, seperti dangkalnya pengetahuan tentang ajaran Islam, konstelasi politk global yang sering kali menjadikan agama sebagai kendaraan politik, ketakutan berlebihan dunia Barat terhadap kebangkitan Islam, dan belum optimlanya kampanye Islam rahmatan lil ‘alamin.

Istilah Islamofobia sudah ada sejak akhir abad 19. Islamofobia semakin populer setelah peristiwa serangan bunuh diri di New York City dan Washington D.C pada 11 September 2001. Pihak Amerika Serikat menyerukan peperangan terhadap terorisme. Di titik inilah, komunitas Islam dipandang sebagai penyebab segala permasalahan dan mereka menjadi sasaran tuduhan tersebut.

Sebagai sebuah agama, Islam tidak pernah mengajarkan kebencian terhadap kelompok lain. Justru sebaliknya, Islam membawa misi rahmatan lil ‘alamin, yaitu Islam yang kehadirannya ingin mewujudkan kedamaian dan kasih sayang di tengah kehidupan masyarakat. Islam sangat menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Islam Rahmatan Lil ‘Alamin

Menguatya Islamofobia perlu kita lawan bersama agar dampak yang ditimbulkan tidak semakin meluas, apalagi sampai memakan korban jiwa. Banyak cara yang dapat dilakukan, salah satunya adalah mempromosikan Islam rahamatn lil’ alamin. Menghadapi Islamofobia tidak boleh dihadapi dengan cara destruktif yang justru jauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Umat Islam dituntut menampilkan wajah Islam yang membawa kasih sayang kepada semua makhluk sebagaimana dicontohkan oleh Nabi akhir zaman.

Hal yang perlu terus dipromosikan adalah pesan-pesan Islam penuh kedamaian, mencerahkan, dan toleransi. Promosi ini dapat memanfaatkan platform digital sehingga ajaran Islam yag menyejukkan tersebar luas ke seluruh penjuru dunia. Dakwah digital ini sangat penting untuk menangkal narasi-narasi menyesatkan tentang Islam. Para ulama, santri, ustadz, dan pendakwah harus memberikan uswah hasanah dan menarasikan keindahan Islam kepada pihak lain.

Baca Juga  Jelang Muktamar NU, Bagaimana Sikap Kita Sebagai Santri?

Strategi lain untuk melawan Islamofobia adalah membangun dialog. Para ulama dunia, pemimpin, dan tokoh bangsa perlu duduk bersama untuk membimbing umat agar pemahaman Islam rahmatan lil ‘alamin menjadi konsensus umat Islam di seluruh dunia. Perlu juga membangun dialog antaragama karena fobia atas nama agama apa pun akan berdampak buruk terhadap keberagaman, solidaritas, dan persatuan umat.

Akhirnya, aksi tak terpuji Rasmus Paludan pelu dijadikan sebagai pelajaran dan momentum bagi kita untuk lebih giat lagi mendakwahkan Islam yang damai, mencerahkan, dan mencerdaskan sehingga terwujud tata kehidupan yang saling menghargai antarumat beragama.

Tinggalkan Balasan