Oleh: Mambaul Athiyah, Penulis, penikmat Sastra Arab
Ketika dinasti Turki Utsmani berada di puncak kejayaannya, kerajaan Islam lainnya mulai berdiri. Pada awalnya kerajaan ini berasal dari aliran tarekat Safawi yang kemudian dari kelompok agama berubah menjadi kekuatan politik. Perkembangan yang pesat menjadikan tarekat Safawi kian besar hingga kemudian berubah menjadi sebuah kerajaan.
Perbedaan mendasar dari kerajaan Safawi dengan kerajaan Turki Utsmani serta kerajaan Mughal yang berdiri sezaman itu, adalah kerajaan Syafawi dengan tegas langsung menjadikan Syi’ah sebagai mazhab negara. Selanjutnya, ini menjadi cikal bakal berdirinya negara Iran yang kita kenal sekarang.
Setelah menahbiskan Syi’ah sebagai faham dan mazhab negara, kerajaan Syafawi kemudian banyak sekali berselisih paham dengan kerajaan lainnya. Terutama, kerajaan Turki Utsmani yang letaknya berdekatan.
Kekuatan tarekat Syafawi yang berbasis di daerah Ardabil yang masuk wilayah Azerbaijan itu kemudian menjadi kekuatan politik besar sampai menjadi kerajaan tidak bisa dipisahkan dengan nama Safi Al Din, konon menjadi keturunan Imam Syi’ah yang keenam yaitu Musa Al-Kazim.
Kepiawaian Safi Al Din mengorganisir pengikutnya dari niat awal memerangi mereka yang ingkar dengan gerakan tarikatnya berubah menjadi kekuatan masif dalam memerangi mereka yang dianggap menjalankan bid’ah. Tarekat Syafawi kemudian berkembang ke berbagai daerah dengan niat pemurnian agama, menyebar majlis-majlis kepanjangan tangannya di Persia hingga Anatolia hingga akhirnya menjadi gerakan besar di Persia dan menjadikannya kerajaan Islam baru.
Hal ini diawali dari kefanatikan penganut tarekat yang beranggapan kalau tanpa kekuasaan maka mereka akan susah mengembangkan dan mempertahankan Syi’ah sebagai mazhabnya. Karena itu mereka kemudian meleburkan diri dalam politik dengan membentuk prajurit-prajurit dan melakukan invasi. Tepatnya dipimpin oleh Juneid antara tahun 1459-1460 M yang mencoba menguasai desa Kara Koyunlu sebuah bagian etnis Turki Utsmani yang jelas membuat mereka marah dan berimbas pada kekalahan Juneid. Dia diasingkan ke daerah Diyar Bakr.
Selama di Diyar Bakr, sang penguasa memberikan jamuan istimewa kepada Juneid karena notabenenya penguasa Diyar Bakr yang sama-sama etnis Turki berselisih paham dengan Kara Koyunlu. Penguasa Diyar Bakr bernama AK Koyunlu, memiliki pejabat kepercayaan yang bernama Uzun Hasan. Uzun Hasan menguasai sebagian besar dataran Persia. Salah satu putra Juneid menikahi cucu Uzun Hasan dan kemudian menggantikan Juneid yang meninggal dan juga melanjutkan kepemimpinan Uzun Hasan yang telah menua.
Putra Juneid yang bernama Haidar itulah yang akhirnya melanjutkan tampuk kekuasaan. Putra Haidar yang bernama Ismail menjadi awal kebangkitan Syafawi dengan mendirikan kerajaan Syafawi di Persia dan menjadikan Syiah sebagai mazhab resmi negara.
Tentunya perjuangan Ismail hingga menjadikan kerajaan Syafawi di Persia tidak mulus. AK Koyunlu yang iri kepada kekuasaan Haidar memerangi Haidar kemudian memenjarakan semua anak Haidar termasuk Ismail. Ali, saudara tertua Ismail yang saat itu menggantikan Haidar harus memimpin prajurit ayahnya yang sangat setia untuk melakukan perlawanan.
Ali terbunuh di Shirwan dan Ismail berhasil selamat kemudian membentuk basis kekuatan dan kekuasaan di daerah Gilan. Pasukan elit yang kemudian dibentuk oleh Ismial diberi nama Qizilbash artinya Baret Merah.
Pada tahun 1501 M Ismail berhasil menguasai semua daerah AK Koyunlu di Persia dan menahbiskan dirinya menjadi penguasa pertama dinasti Syafawi di Persia dengan julukan Ismail I.
Ismail I setelah berhasil membangun kekuasaannya di Persia mulai menggali kekuatan prajuritnya dengan banyak berperang serta membangun kota-kota baru sebagai basis kekuatan dan kekuasaannya. Kenyataannya, ambisi Ismail I begitu besar untuk menguasai dan menaklukkan daerah sekitar Persia yang saat itu sudah dikuasai kerajaan Turki Utsmani.
Langkah nyata dilakukan oleh Ismail I dengan melakukan peperangan melawan Sultan Salim I yang menguasai Turki Utsmani. Sayangnya, Ismail I kalah dan malah membuat wilayah Tabriz yang termasuk daerah potensial kerajaan Syafawi berhasil diduduki Sultan Salim I.
Kekalahan ini berimbas pada hilangnya kepercayaan diri Ismail I,. menjadikannya lemah mental dan hanya melakukan hura-hura sekembalinya ke istana di Persia.
Hal ini memicu usaha perebutan kekuasaan antar suku di Persia, termasuk suku-suku yang berafiliasi pada keturunan Turki juga di tengah prajurit istimewa Qizilbash. Hanya saja mereka belum melakukan gerakan secara terbuka.
Kemunduran dinasti Syafawi semakin tampak nyata karena mereka lebih fokus memerangi Turki Utsmani yang sedang dilanda perpecahan dalam negerinya meskipun belum berhasil menaklukkan kerajaan Turki Utsmani.
Pada masa Ismail II kerajaan Syafawi kian melemah karena memaksakan diri memerangi Turki Utsmani sementara keadaan di dalam negeri juga carut marut.
Pada masa kepemimpinan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M) nyaris saja kerajaan Syafawi runtuh. Namun, ketika Abbas I berkuasa kerajaan Syafawi berhasil bangkit dan menjadi negara yang kuat.
Pada masa Abbas I kerajaan Syafawi mengalami masa kejayaan, dimana semua masalah dalam negeri yang berebut kekuasaan berhasil ditumpasnya dan disatukan pada satu komando, sementara itu, daerah kekuasaan Syafawi yang lepas ditaklukkan Turki Utsmani semasa Ismail I hingga Ismail II juga berhasil direbut kembali.
Kemajuan Dinasti Syafawi terlihat nyata pada masa Abbas I. Setelah berhasil mengatasi persoalan-persoalan dalam negeri yang bercerai berai karena ingin menjadi penguasa Syafawi langkah selanjutnya Abbas I adalah menaklukkan kembali wilayah negaranya yang dulu.
Keberhasilannya membaca perpecahan di kubu Turki Utsmani mampu membawa Abbas I merebut kembali daerah kekuasaan yang lama. Hal ini membuat prajurit menjadi lebih percaya diri, pejabat istana juga semakin mempercayai dan rakyat juga bersemangat mendukungnya sebagai penguasa Syafawi.
Berikut ini kemajuan Dinasti Syafawi pada masa Abbas I :
-
Kemajuan di bidang Ekonomi.
Abbas I merebut jalur perdagangan Barat dan Timur dengan mengubah kepulauan Hurmuz dan pelabuhan Gumrun menjadi Bandar Abbas. Rute perdagangan akhirnya melalui dua daerah tersebut dan mendatangkan kestabilan ekonomi dinasti Syafawi.
Pada sektor pertanian juga semakin meningkat setelah daerah Bulan Sabit subur (Fertile Crescent) berhasil diduduki kembali dari Turki Utsmani dan diolah dengan baik sehingga hasil pertanian semakin meningkat.
-
Bidang Ilmu Pengetahuan.
Persia selama ini dikenal sebagai negara dengan peradaban ilmu yang tinggi. Hal ini oleh Abbas I juga diperhatikan dan dikembangkan dengan sangat baik.
Para ilmuwan yang haus ilmu difasilitasi untuk mengenyam pendidikan bahkan dari negeri yang jauh. Abbas I juga membentuk diwan-diwan ilmu pengetahuan yang difasilitasi istana dan dijamu di majelis istana.
Antara lain tokoh ilmuwan yang menjadi kebanggaan Persia saat itu adalah Bahaudin Al Syaerazi, Sadar Al-Din, juga Muhammad Al Baqir seorang filsuf juga ilmuwan yang sudah mampu meneliti lebah.
-
Bidang Arsitektur
Abbas I setelah berhasil merebut kembali daerah kekuasaan Syafawi yang sebelumnya dari tangan Turki Utsmani segera membentuk rapat dewan dan menetapkan Isfahan sebagai ibukota kerajaan.
Abbas I memerintahkan para arsitek untuk membangun kota Isfahan agar terlihat cantik dan indah. Masjid-masjid dibangun dengan megah, pojok-pojok kota dibuat taman, sudut kota dipercantik hingga bangunan utama dan istana dibuat begitu megah.
Kebun-kebun diberdayakan sehingga memanjakan mata para pelancong juga pedagang yang singgah di Persia juga menjadikan banyak tempat peristirahatan bagi penjelajah.
Abbas I membuat 162 masjid, 48 sekola6dan akademi pengetahuan, serta ribuan bangunan indah di Isfahan.
***
Sebuah Fanatisme Agama dan Kemunduran Dinasti Syafawi
Pada tahun 1628 M Abbas I meninggal dan kemudian digantikan oleh cucunya yang bernama Safi Mirza. Mengabaikan semua petuah agama, Safi Mirza lebih banyak mengisi pemerintahan dengan hura-hura dan bermabuk-mabukan. Pendapat para mufti Syi’ah diabaikan juga para pembesar kerajaan tidak dianggap olehnya. Siapapun yang mengkritiknya akan dibantai dan dienyahkan.
Lambat laun kekuatan kerajaan berkurang dan melemah. Banyak sekali masyarakat Persia yang bersikap tidak mau tahu dengan rajanya.
Setelah Safi Mirza, Dinasti Syafawi dipimpin oleh Abbas II. Nyatanya menyandang nama sang kakek tidak membuat Abbas II berkuasa dengan baik. Dia juga mabuk-mabukan dan suka menghukum mereka yang memprotes kebijakannya.
Wilayah Persia semakin habis direbut oleh kerajaan Mughal yang sedang di atas angin. Hingga akhirnya kerajaan Syafawi dipimpin oleh seorang raja yang alim dan taat beragama. Namun, tidak cakap memimpin kekuasaan.
Shah Husein nama raja berikutnya menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada para pemuka agama. Karena saat itu Syi’ah ditetapkan sebagai mazhab resmi negara maka pemuka ulama Syi’ah semakin bengis terhadap kelompok sunni yang juga diberikan kebebasan semasa Abbas I berkuasa.
Mereka mulai melakukan penyiksaan kepada para penganut Sunni yang kebanyakan berasal dari sekitar Azerbaijan dan Afghanistan. Akibatnya pemberontakan terjadi di mana-mana dengan meletakkan perbedaan aliran agama sebagai pemicu serta pengaruh kekuasaan yang tidak kompeten dan tidak bisa mengakomodir semua kepentingan warga negara.
Digempur oleh pemberontakan di dalam negeri juga penyerangan kerajaan Mughal di luar wilayah kekuasaan negara, kerajaan Syafawi Persia akhirnya mengalami kemunduran dan lambat laun runtuh. Dan akhirnya hilang dari peradaban menyisakan kota-kota kecil yang tercerai berai.
Kenyataannya meskipun menahbiskan diri berasal dari sebuah tarekat yang berbasis keagamaan lambat laun keturunan Syafawi tetap silau atas dunia dan mabuk-mabukan seperti sultan Abbas II, Safi Mirza dan Sulaiman. Juga enggan menyentuh kerajaan diserahkan kepada para ulama’yang begitu fanatik kepada Syi’ah sehingga menutup kebebasan mazhab lainnya seperti Shah Husein. Keduanya menjadi dasar kehancuran dinasti Syafawi yang menjadi salah satu kerajaan Islam yang pernah ada di dunia.