Oleh: Ilfin Nadhir Alamsyah
Psikologi tidak hanya berkembang dikalangan ulama dan teolog. Tetapi, psikologi juga dikembangkan dikalangan para sufi. Di dunia tasawuf, psikologi tidak dikembangkan terutama untuk tujuan teoritis, melainkan untuk kepentingan dalam melakukan transformasi jiwa. Karena bagi para sufi transformasi jiwa adalah hal yang sangat penting dalam menimba ilmu. Ilmu yang tidak menghasilkan tranformasi jiwa dipandang rendah, betapapun canggihnya ia secara teoritis (Soehendar, 2012). Begitupun dengan perspektif tasawuf sangatlah berbeda dengan perspektif psikologi pada umumnya. Perbedaan antara tasawuf dan psikologi tersebut didasari atas perbedaan sudut pandang yang digunakan terhadap objek itu sendiri, yakni manusia.
Menurut argumen Hafil (2020), Psikologi sufi merupakan aspek yang lebih khusus dari psikologi islam, karena dalam psikologi sufi tidak jauh berbeda memahami dan mengamalkan ajaran islam. Pun argumen yang ditambahi oleh Nurhayati (2014:82), bahwa psikologi sufi merupakan bagian dari perkembangan disiplin pengetahuan (tashawuf) dalam islam. Ia mengatakan bahwa empat pilar pengetahuan tersebut adalah fiqih, kalam, filsafat, dan tasawuf. Dengan demikian disimpulkan bahwa psikologi sufi adalah psikologi islam yang membahas tentang beberapa pandangan psikologi dan tasawuf.
Secara garis besar ada dua teori yang berpengaruh dalam membentuk tasawuf, yaitu teori yang berasal dari ajaran atau unsur islam, dan teori yang berasal dari ajaran atau unsur di luar islam. Disamping itu kalangan cendekiawan muslim memberikan pendapat bahwa sumber utama ajaran tasawuf adalah bersumber dari Al-Quran dan hadist. Sedangkan unsur di luar islam menurut teori Ignas Goldizer, tasawuf sebagai salah satu warisan ajaran dari berbagai agama dan kepercayaan yang mendahului dan bersentuhan dengan islam. Ada juga teori yang mengatakan bahwa tasawuf juga dipengaruhi oleh unsur Yunani. Menurut Abuddin Nata, bahwa metode berfikir filsafat Yunani telah memengaruhi pola berfikir umat islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Hal ini terlihat dari pemikiran Al-Farabi, Al-Kindi, dan Ibnu Sina tentang filsafat jiwa. Kemudian menurut teori Margaret Smith, mengatakan bahwa ajaran tasawuf merupakan produk samping dari persinggungan islam dengan tradisi agama-agama yang lebih tua di sekelilingnya (Syamsyuddin, 2006:23). Namun secara umum, tasawuf dapat dikatakan sebagai paham dikalangan pemeluk islam yang berusaha membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela dalam rangka mendekati Allah (Sudardi, 2003:13). Ajaran ini pada mulanya dimaksudkan sebagai ilmu tarbiyah atau akhlaq ruhani, yaitu mengamalkan prilaku yang baik dan meninggalkan prilaku tercela (Alifasari, 2016). Inti dari ajaran tasawuf adalah pencapaian kesempurnaan serta kesucian jiwa manusia (Syukur, 1999:165). Kesucian jiwa yang dimaksud adalah hasil perjuangan yang tiada henti, sebagai cara perorangan yang terbaik dalam mengontrol diri pribadi, setia dan senantiasa merasa dihadapan Allah SWT.
Sedangkan mengenai faktor gerakan sufisme Neurozzaman Shiddiqi (1996), menyatakan bahwa sufisme lahir pada mulanya sebagai oposisi diam terhadap pihak penguasa (gaya hidup para khilafah yang terlalu berat ke dunia dan kebijakan yang terlalu membebani rakyat). Hal itu di jelaskan pula dalam tesis yang di tulis oleh Mohammad Abduhzen (1997), bahwa asal mula munculnya sufisme disebabkan oleh kondisi-kondisi sosial-politik pemerintah di akhir abad ke-1 Hijriyah sampai 7 Masehi dan awal abad ke-2 Hijriyah sampai 8 Masehi. hal itu juga dikatakan sebagai awal munculnya dan menyebarnya pola hidup zuhud sebagai protes tajam kepada pemerintah agar menerapkan semangat islam yang orisinil, yang sederhana dan bersahaja. Sedangkan pendapat yang disampaikan Syamsyuddin Arif (2006:23), mengatakan bahwa istilah “sufisme” pertama kali diperkenalkan dan dipakai oleh ahli ketimuran asal inggris yang ditugaskan di India. Ada juga istilah “dervish”( dalam bahasa Parsi artinya miskin darwis) atau istilah “faqir” yang konon mempunyai konotasi eksotik dan eksentrik bagi para orientasi barat.
Konsep Dasar Psikologi Para Sufisme
Menurut Robert Frager (2014:31), konsep dasar dalam psikologi bagi sufisme adalah hati, diri, dan ruh. Masing-masing adalah istilah teknis dan memiliki sejarah konotasi yang berbeda dari pengunaanya dalam bahasa sehari-hari. Frager membagi konsep dasar dalam psikologi sufi menjadi tiga konsep dasar yakni : (1) Hati Frager (2014:32), menyatakan bahwa maksud dari hati adalah hati spiritual. Menurutnya, hati menyimpan kecerdasan dan kearifan kita yang terdalam. Ia fokus makrifat gnosis, atau pengetahuan spiritual. Hati menyimpan percikan ruh ilahiah di dalam diri kita. Karenanya, hati adalah kuil tuhan.
(2) Diri menurut Frager (2014:32), diri, jiwa, atau nafs adalah aspek awal di dalam diri kita, yakni sebagai musuh terberat. Namun ia dapat tumbuh menjadi sesuatu yang tidak ada batas nilainya. Dalam hal itu menurutnya nafs terendah adalah nafs tirani. Nafs tirani adalah nafs yang menjauhkan kita dari jalan spiritual. Nafs tirani juga bisa dikatakan dengan nafs amarah, nafs yang bangga terhadap diri sendiri, secara leluasa juga dikatakan mengunggulkan diri di luar kuasa Tuhan.
(3) Ruh, Frager (2014:35), Menjelaskan bahwa psikologi sufi mencakup sebuah model ruh manusia yang didasari oleh prinsip evolusi. Ruh memiliki tujuh aspek atau dimensi: mineral, nabati, hewani, pribadi, insani dan rahasia, serta maharahasia. Ia mengulas kembali bahwa setiap diri kita memiliki tujuh tingkat kesadaran. Tingkat kesadaran itu di dalam tasawuf agar bekerja seimbang dan selaras. Sedangkan menurut Ibnu Arabi dalam buku karya Ahmadi (2019:27), ruh adalah zat murni yang esensinya lebih tinggi, hidup dan hakekatnya berbeda dengan tubuh, tubuh dapat diketahui dengan panca indera, sedangkan ruh menyatu kedalam tubuh. Maka ruh lebih dominan sebagai esensi yang menyatukan antara manusia dengan Tuhan.
Adapun berbagai macam praktik tasawuf menurut Frager (2014:232), praktik dasar sufi di dalam ajaran tasawuf adalah berpuasa, mengasingkan diri, adab, mengingat tuhan, dan mengingat kematian. Hal itu bertujuan untuk menetralisasi sifat buruk kita agar terbukanya hati secara leluasa untuk mendekatkan diri kepada Allah. 1) Berpuasa, menurut Frager (2014:233), berpuasa hampir ada di seluruh agama dan tradisi spiritual yang ada di dunia, setiap Agama memiliki cara berpuasa tersendiri, hal tersebut merupakan praktik dasar di dalam praktik Judaisme, yoga, dan Bhudhisme. Sedangkan puasa menurut islam adalah menahan dan mencegah keinginan hawa nafsu, Ketika berpuasa nafsu kita akan tunduk dan melemah, karena di dalam tubuh kita tidak terisi oleh makanan. Sedangkan menurut Ali Wasil El Helwany menyatakan bahwa puasa merupakan wujud kesetaraan ruhani yang di kehendaki syari’ah pada manusia (Umiarso dan Makhful, 2017:130). Kesetaraan ini mewujudkan antara Tindakan manusia dengan nyatanya, bahwa ada hidup yang sejati di balik kehidupan yang sementara ini.
2) Mengasingkan diri, menurut Frager (2014:239), pengasingan diri adalah kesempatan untuk mengingat Tuhan, para darwis yang mengasingkan diri pada umumnya berdiam diri dan tidak bertemu dengan siapapun. Pun argumen yang dikatakan Saifulloh (2017:27), bahwa khalwat atau mengasingkan diri adalah menyendiri dari pengaruh duniawi. Yang berarti penyendirian seorang salik ke tempat pengasingan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.
3) Adab, Frager (2014:241), menyebutkan bahwa adab adalah perilaku yang baik atau tata krama yang baik pula. Adapun menurut Hasyim Asy’ari, Adab bukan hanya sekadar sopan santun, tetapi adab adalah mengangkat harkat serta martabat sesuatu berdasarkan keputusan Allah (Tahir, 2015:20). Dengan demikian, adab adalah menjunjung tinggi nilai-nilai substansi yang baik atas dasar perilaku seorang manusia itu sendiri.
4) Mengingat tuhan atau dzikir, Frager (2014:254), menyebutkan bahwa salah satu amalan utama sufi adalah dzikir, dzikir dalam artian pengulangan doa-doa ataupun nama nama-tama Tuhan. Sedangkan menurut Basyrul (2018:40), dzikir adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pengagungan kepada Tuhan, dzikir dapat dilakukan dimana saja dalam semua keadaan.
5) Mengingat mati, merenungkan sebuah kematian atau mengingat mati bagi para sufi adalah Latihan untuk memperdalam kesadaran terhadap kematian (Frager, 2014:292). hal itu dilakukan dengan merenungi bahwa jasad kita di dunia ini akan fana, tidak ada yang abadi di dunia ini. Maka dengan demikian dalam praktik dasar sufi yang terakhir sekaligus sebagai jalan maqom dasar bagi orang-orang sufi untuk melatih sikap tasawuf adalah mengingat atau merenungi kematian.
Dengan demikian, pada kajian yang dimaksud dengan psikologi sebagai benang merah pada dunia sufisme sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pembawaan nilai-nilai psikolgi dan tasawuf di dalamnya, karena melihat dengan pandangan psikologi kejiawaan seorang sufi, sama halnya kita menengok nilai ajaran tasawuf yang dialami oleh sufisme sendiri. Hal tersebut diperkuat oleh nilai-nilai yang terkandung, yakni tentang , jiwa, ruh, dan hati dan beberapa konsep dasar praktik dalam psikospiritual (psikologi dan tasawuf) itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. (2019). Psikologi sastra. Surabaya:Unesa University press
Abduhzen, M. (1997). Tasawuf: Epistimologi sufisme suatu kajian teori pengetahuan
Al-Ghazali. Tesis di terbitkan. Jakarta: UI.
Arif, S. (2006). Manipulasi dalam kajian tentang sufisme. Jurnal Telaah
Utama ISLAMIA. Vol. III. No. 1: 25.
Alifasari, D. (2016). Teori sufisme Ibnu Arabi: Gambaran umum, konsep-konsep,
implikasi metodologis, dan contoh analisis. URL: http://alifasaridhea.blogspot.com/2016/06/teori-sufisme-ibnu-arabi-gambaranumum.html?m=1 .
Basyrul, M. (2018). Zikir dalam tarekat sebagai metode pembentukan Akhlak
perspektif kh. Albazi nawawi dan Kh. Mohammad nizam ash-shafa. Tesis
diterbitkan. Surabaya: UINSA.
Frager, R. (2014). Psikologi sufi (untuk transformasi hati, jiwa, dan ruh). Jakarta:
Zaman.
Hafil, M. (2020). Psikologi dalam pandangan sufi. URL: https://www.republika.co.id/berita/qgiojz430/psikologi-dalan-pandangan-sufi
Nurhayati, N. (2014). Psikologi sufi. Jurnal An-Nuha. Vol. 1. No. 1: 82.
karya Ardian Kresna (Kajian Sosiologi Sastra). Jurnal Sastranesia. Jilid 8.
Nomor 3: 103.
Saifulloh, M. (2017). Khalwat menurut sihabuddin `umar As-suhrawardi dalam kitab
awarif Al-ma`arif dan kesehatan jiwa dalam pandangan psikologi barat.
Skripsi diterbitkan. Semarang:UIN Walisongo.
Soehendar,N.(2012).Psikologi sufi.URL: http://nanangsoehendar.blogspot.com/2012/01psikologi-sufi.hmtml?m=1 .
Syukur, M. A. (1999). Menggugat tasawuf: Sufisme dan tanggung jawab sosial
Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tahir, G. 2015. Sinergitas ilmu dan Adan dalam perspektif Islam. Jurnal Adabiyah.
Vol. XV (1).
Umiarso & Makhful. (2018). Puasa dan pendidikan Agama Islam dalam membangun
manusia penaka “Tuhan”: tinjauan kritis terhadap sisi epistemologik dan
aksiologik (pembelajaran) pendidikan Agama Islam. Jurnal pendidikan Islam.
Vol. 12 (1).