Oleh: Damhuri Muhammad
Bisakah puisi dan agama bersekutu, lalu mendedahkan kebenaran yang sama? Bila pertanyaan ini diajukan pada Adonis, dipastikan jawabannya: mustahil. Bagi penyair Arab terkemuka itu, puisi dan agama bagai dua sumbu kebenaran yang bertolak belakang. Puisi adalah pertanyaan, sementara agama adalah jawaban. Puisi adalah pengembaraan yang dituntun oleh keragu-raguan, sedangkan agama adalah tempat berlabuhnya iman dan kepasrahan. Lebih jauh, di ranah kesusastraan Arab, puisi dan agama bukan saja tak seiring jalan, agama bahkan memaklumatkan, jalan puisi bukan jalan yang menghulu pada kebenaran, tapi menjerumuskan pada lubang kesesatan. Agama menyingkirkan para penyair Arab jahiliah ke dalam kelompok orang-orang sesat, orang-orang majnun (gila), penyihir. Inilah pangkal segala kegelisahan dalam kepenyairan Adonis, yang ia sampaikan pada kuliah umum di Komunitas Salihara, Jakarta (3/11/2008). Tak ragu Adonis mengatakan bahwa sejak munculnya agama, tradisi puisi Arab redup, dan akhirnya padam. Para penyair dianggap gila, lantaran jalan puisi adalah jalan sesat dan menyesatkan. Itu sebabnya, Adonis menjadi pembela jalan puisi yang telah disumbat rapat-rapat itu
Lahir dengan nama asli Ali Ahmad Sa’id, di desa Al-Qassabin, Suriah 1930. Meski baru bersekolah di usia 13 tahun, anak seorang petani yang juga imam masjid itu sudah belajar menulis dan membaca pada seorang guru di desanya, dan sudah hapal Qur’an di usia sebelia itu. Pada 1944 ia membacakan puisi heroiknya di hadapan Presiden, Shukri al-Kuwatli. Presiden terpesona dan mengirimkan Adonis masuk ke sebuah sekolah Prancis di kota Tartus. Adonis lulus dari Universitas Damaskus (1954) dengan spesifikasi filsafat. Ia menerbitkan kumpulan sajak pertamanya pada 1955 dan pernah dipenjara karena pandangan politiknya. Pada 1956, Adonis meninggalkan tanah airnya, pindah ke Lebanon. Dua puluh tahun ia tinggal dan jadi warga negara di tanah jiran itu. Sejak 1986, Adonis pindah ke Paris. Ia telah menulis puisi dan prosa kurang lebih 30 buku dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Namanya kerap disebut sebagai calon kuat peraih hadiah Nobel Sastra (2005, 2006, 2007).
Antologi puisi Nyanyian Mihyar dari Damaskus (terjemahan dari Aghânî Mihyâr Dimasyqî disebut-sebut sebagai karya Adonis yang paling masyhur di samping al-Tsawâbit wal Mutahawwil (Yang Tetap dan Yang Berubah)—yang kerap pula disebut karya pengarang atheis khas Timur. Adonis mengagumi pencapaian puitis para penyair Arab klasik seperti Imrul Qays (w. 550 M) yang menurutnya telah meniupkan ruh kebebasan berkreasi, memperlihatkan upaya pencarian “yang baharu” dalam ungkapan, susunan kata, dan tidak mengacu pada ukuran-ukuran masa lampau. Tapi, menurutnya, tradisi puisi yang gemilang itu mati sejak munculnya tradisi wahyu. Dalam pencarian kebenaran, penyair digantikan oleh nabi. Di titik inilah atheisme kepenyairan Adonis tumbuh, berkembang lalu memuncak pada sajak-sajak pendeknya seperti; kita mati jika tidak kita ciptakan Tuhan/kita mati jika tidak kita bunuh Tuhan (dari sajak Sebuah Kematian).
Mihyar ini sebentuk lagu pilu, elegi guna meratapi matinya kebebasan di jalan puisi. Adonis membangun sekian banyak pengamsalan tentang ketersingkiran penyair Arab klasik; penyihir debu, lonceng tanpa denting, orang-orang asing yang bahkan diasingkan oleh bahasanya sendiri. Ini senada dengan penilaian Ulil Abshar Abdalla (2004) bahwa Adonis mengumpamakan tradisi kepenyairan Arab seperti keterlunta-luntaan dan kepahitan hidup Al-Mutanabbi, penyair besar masa Dinasti Abbasiyah (abad IX). Al-Mutanabbi adalah salah satu penyair yang dikagumi Adonis dan ia hendak mengasosiasikan diri pada sosok penyair yang hidupnya penuh liku dan dramatis itu. Satu ketika menjadi penyair istana, dipuja-puji, dihormati, tapi kemudian dimusuhi istana, dijauhi oleh masyarakat, sejak itu ia menulis sajak-sajak yang pesimistik. Hidupnya berantakan dan akhirnya meninggal dengan cara yang tragis karena miskin. Pesimisme macam itu juga tergambar dalam sajak-sajak Adonis; akan kami bunuh kebangkitan dan harapan/kami akan menyanyi dan berlindung/kami akan hidup bersama batu: kami, puisi, dan hujan/ Biarkan kami o, Abu Nuwas. (Elegi Untuk Abu Nuwas).
Tapi, benarkah Adonis mengingkari jalan wahyu, karena tradisi kenabian telah mengalahkan tradisi kepenyairan? Apakah tuduhan “atheis” layak diberikan kepadanya lantaran ia hendak meniadakan Tuhan demi kelapangan jalan puisi? Kalaupun ada teks agama yang memaktubkan ketersesatan penyair Arab, tentu tidak serta-merta berarti ketersesatan semua penyair di masa itu. Tengoklah Hasan bin Tsabit yang tetap menggubah syair-syair madah (pujian) setelah teks Qur’an turun. Berapa banyak penyair Arab yang cemerlang di masa nabi, lebih-lebih masa sesudah nabi? Lagi pula setiap ayat yang turun selalu dilatarbelakangi oleh asbaab an-nuzuul (sebab-sebab turun ayat). Artinya, penegasan teks perihal penyair sebagai penyihir dan majnun itu sifatnya kasuistik, tidak menggeneralisir semua penyair. Bila Adonis kecewa dengan jalan kepenyairan yang menurutnya telah dibuntukan itu, kenapa ia masih mengakui pencapaian estetik Al-Mutanabbi, Al-Ma’arri, dan Al-Buhturi yang ketiganya hidup di masa pascakenabian?
Meski Adonis “meniadakan” Tuhan di jalan kepenyairan, tapi “atheisme” itu tidak dalam rangka menjauhi Tuhan sebagaimana lelaku para atheis lain. Tampaknya Adonis hanya sedang dijangkiti kegelisahan lantaran sekian banyak jalan lama ternyata gagal mengantarkannya pada Tuhan. Itu sebabnya ia meneruka jalan baru, yang meski tanpa Tuhan, tapi pasti mengarah ke hadirat-Nya. Diam-diam Adonis mempersiapkan sajak-sajaknya menjadi “bahasa lain” guna menjelaskan Tuhan masa depan; sungguh, aku bahasa untuk Tuhan masa depan/sungguh aku penyair debu (Orpheus). Jalan puisi yang hendak menyelamatkan nama Tuhan, yang selama berkurun-kurun terperangkap dalam bahasa agama-agama. Sampai di sini, Mihyar bukan lagi elegi untuk kematian puisi. Di tangan Adonis, ia menjadi gairah asketis yang tak bersudah dalam meraih perjumpaan dengan Tuhan…
Damhuri Muhammad
Kolumnis