Menata sandal kiai bukanlah hal aneh di pesantren, terlebih di pesantren-pesantren tradisional, tradisi semacam itu bahkan menjadi ciri khas yang berlangsung dan tetap terjaga hingga sekarang.
Manakala pak kiai atau ustadz hendak masuk ke sebuah gedung dan melepas sandalnya, bergegas saja santri-santri berebut untuk menatakan sandalnya itu, ditata menghadap ke arah yang sesuai dengan kemana kiai hendak berjalan.
Mendapat kesempatan bisa menatakan sandal kiai adalah kebahagiaan yang tak ternilai, sebab bagi seorang santri, sandal kiai bukan hanya benda, sandal itu bisa menjadi sepotong keberkahan yang akan membahagiakan dan menentramkan hati, bahkan bisa jadi juga membesarkan semangat pengabdian seorang santri.
Di manuskrip manakah kita bisa menelusuri akar historis tradisi menata sandal ini? Bagaimana asal-muasal pembentukan tradisinya?. Tradisi menatakan sandal kiai adalah warisan ajaran gurubhakti, dan itu bisa ditelusuri, misalnya pada nasakah-naskah kuno Silakrama, Tingkahing wiku, dan Wratisasana dari era Majapahit.
Kalimat itu milik seorang sastrawan pesantren, Aguk Irawan MN dalam disertasinya. Kemudian ia melanjutkan, di dalamnya memuat tata karma siswa dalam menuntut pengetahuan. Dalam tata karma itu, ada bab yang menyinggung tentang gurubhakti, berisi tata tertib, sikap hormat, dan sujud bakti yang wajib dilakukan para siswa kepada guru rohaninya.
Menurut sastrawan yang pernah kuliah di al-Azhar Cairo itu, dengan mengutip kalimat dalam buku “Pengembangan Nilai Keislaman,” karya sejarawan Agus Sunyoto, salah satu poin pentingnya termasuk menatakan sandal para wiku apabila hendak bepergian dari suatu tempat yang mulia.
Tradisi menata sandal kiai ini juga bisa digeledah di naskah kuno Serat Nitisutri, di naskah itu diterangkan bagaimana sikap dan jalan bagi seorang murid agar mendapatkan ilmu. Seorang murid tidak saja harus tekun belajar, tetapi juga harus menjaga etika. Misalnya dalam bertutur kata, harus bisa memilih bahasa-bahasa yang sopan jika berbicara dengan seorang guru, mau membersihkan diri, andhap ashor, termasuk juga kewajiban memuliakan guru, membersihkan tempat duduknya, tempat tidurnya, juga termasuk alas kaki. Kalimat itu dikutip oleh Aguk Irawan MN dari buku Khasanah Budaya Keraton Yogyakarta karya Prof. Dr. Hj. Siti Chamamah Soeratno.
Apakah Tradisi menata sandal kiai ini memiliki akar historis yang pasti dalam tradisi Islam? Az-Zarnuzy dalam Ta’lim al Muta’alim mengatakan bahwa menatakan sandal kiai memang tak pernah disebut satu katapun. Akan tetapi, secara garis besar, maksud dan tujuannya sama, yaitu memuliakan seorang guru. Kalimat itulah yang ditulis Aguk Irawan ketika mencoba melacak akar historis tradisi menata sandal kiai dalam Islam.
Ia memberikan penegasan, bahwa dalam Ta’lim al Muta’alim karya Az-Zarnuzy, mencakup beberapa hal seorang santri tidak boleh berjalan di depan guru, menempati tempat duduk guru, memakai sandal guru, dan berbicara di depan guru dengan lantang, kecuali dengan izinnya.
Dari sekian manuskrip dan kajian pustaka di atas; Silakrama, Tingkahing Wiku, Wratisasana, Serat Nitisutri dan Ta’lim al Muta’alim, kita bisa mengetahahui bahwa tradisi menata sandal kiai di pesantren bukanlah aktifitas seremonial belaka, ia memiliki akar historis yang jelas, memiliki keabsahan data yang valid, bahkan tidak berlebihan jika saya menyebut dibalik aktifitas itu terkandung sebuah keberkahan.
Hal ini diyakini oleh Kiai Ngabehi Agus Sunyoto merupakan peranan guru-guru rohani atau yang popular disebut Wali Songo dalam penyebaran Islam. Menurutnya berbagai cara dilakukan oleh Wali Songo untuk memberikan ilmu dan pengetehuan tetang Islam di tengah masyarakat Nusantara yang kala itu masih memiliki pemahaman Hindu-Budha dan Kapitayan yang cukup kental. Kendati demikain, menurut sejarawan yang kini menjabat sebagai ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU itu, pada saatnya, para guru-guru rohani bisa menempatkan Islam sebagai landasan hidup masyarakat Nusantara hingga kini.
Mengapa Santri Berebut Menata Sandal Kiai? Sudah barangtentu, karena santri ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan barokah untuk kehidupannya di kemudian hari, sebab menata sandal kiai termasuk sebagian dari bentuk etika seorang murid terhadap guru, lebih-lebih guru di pesantren adalah guru yang tidak hanya mengajarkan ilmu dan pengetahuan belaka, ia juga membimbing ruhaniyah, tak pernah letih mendoakan santri-santrinya.
Wallahu a’lam
*Ali Adhim, Penggagas Manajemen Pendidikan Literasi di Pondok Pesantren, alumni Program Magister Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penulis dan peneliti muda di Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta.