Oleh: Ali Adhim
Pada acara penutup dari Festival Da’i Nasional yang dilaksakan oleh Kumpulan Da’i Tebuireng, menurut Syarif Abdurrahman dalam tulisannya di Nu Online, Gus Muwafiq mengungkapkan bahwa salah satu cara pihak lain merusak Islam di era saat ini adalah dengan menghilangkan kepercayaan umat pada pemimpinnya.
Padahal menurut Gus Muwafiq, Islam tidak bisa berkembang tanpa kekuatan. Tidak ada kekuatan tanpa jamaah dan tidak ada jamaah tanpa pemimpin. Sementara tidak ada pemimpin tanpa adanya ketaatan. Sehari tanpa pemimpin lebih bahaya dari 1000 tahun dipimpin orang dzalim.
Secara teoritis, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki wewenang yang memaksa secara sah, lebih unggul daripada kelompok atau individu yang merupakan bagian dari masyarakat tersebut. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa negara adalah daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat atau yang berhasil mewajibkan warganya untuk taat melalui kontrol kekuasaan. Sementara itu, bangsa[1] adalah suatu kelompok yang memiliki kesamaan kehendak, berada dalam satu wilayah, dan ada kehendak untuk membentuk pemerintahan.[2]
Oleh sebab itu, negara bangsa dapat dipahami sebagai suatu kelompok warga negara yang memiliki kesamaan cita-cita untuk membangun suatu sistem pemerintahan dengan mentaati peraturan perundang-undangan yang diberkalukan, termasuk di dalamnya membangun hubungan antara negara dengan agama yang dianut oleh warganya dalam suatu wilayah.
Adapun kata Islam berarti masuk ke dalam kedamaian, sedangkan secara istilah, Islam berarti agama yang mengajarkan kepasrahan kepada Allah, bertauhid dan tunduk kepada-Nya, dan kedamaian, sehingga kata ad-din menurut Ibn Abbas mencakup akidah, hukum, etika dan ibadah yang dijelaskan secara rinci, sedangkan masalah interaksi sosial (mu’amalat) hanya dijelaskan secara global.
Adapun Islam yang dimaksud di sini adalah norma agama Islam mengajarkan kedamaian atau kemasahatan sosial masalih al-‘amm yang berada dalam lingkup mu’amalat walaupun aspek lainnya masih terkait. Islam sebagai agama yang sempurna selalu mengakui sifat alami perkembangan manusia dan tidak menghalanginya.[3]
Dalam kehidupan politik keindonesiaan, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menilai bahwa gerakan Wahabi atau Ikhwanul Muslimin telah melakukan upaya-upaya pemberangusan Islam budaya dengan budaya asing yang belum tentu berasal dari norma agama Islam. Gus Dur menuturkan, misalnya gerakan Wahabi atau Ikhwanul Muslimin yang berkembang di negara Indonesia, telah berusaha melenyapkan budaya bangsa Indonesia dengan usaha mengganti budaya asing yang bernuansa Wahabi, tetapi diklaim sebagai budaya Islam. Yang sangat menggelisahkan, gerakan Wahabi sudah mulai merasuk ke dalam institusi pemerintahan Indonesia, bahkan juga melakukan infiltrasi ke Majlis Ulama Indonesia.[4]
Gerakan formalisasi agama dalam bentuk pendirian negara agama (Islam) dalam kehidupan kenegaraan tersebut pada dasarnya juga pernah muncul pada awal Kemerdekaan RI. Gerakan pendirian negara agama tidak selesai setelah disepakatinya ideologi Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa antara Mohammad Hatta dengan KH Abdul Wahid Hasyim dkk, tetapi gerakan itu masih terus bermunculan di belakangan hari seperti gerakan pendirian negara Islam di Jawa Barat yang dipelopori Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, Kahar Muzakkar di Sulawesi, dan Daud Beureueh di Aceh.[5]
Lahirnya gerakan pendirian negara agama tidak lepas dari masalah belum selesainya pemahaman yang komprehensif mengenai pembangunan hubungan antara agama dan negara yang ideal, sehingga gerakan-gerakan formalisasi agama dalam kehidupan kenegaraan selalu muncul pada setiap kurun waktu atau masa. Oleh sebab itu, kajian mengenai pembangunan hubungan antara agama dan negara yang ideal memiliki makna yang penting dalam kehidupan negara di Indonesia.
Dalam sejarah Islam, ada tiga tipologi hubungan antara agama dan negara. Din Syamsudin membaginya sebagai berikut:
Pertama, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan secara integral. Domain agama juga menjadi domain negara, demikian sebaliknya, sehingga hubungan antara agama dan negara tidak ada jarak dan berjalan menjadi satu kesatuan. Tokoh pendukungan gerakan ini adalah al-Maududi.
Kedua, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan secara simbiotik dan dinamis-dialektis, bukan berhubungan langsung, sehingga kedua wilayah masih ada jarak dan kontrol masing-masing, sehingga agama dan negara berjalan berdampingan. Keduanya bertemu untuk kepentingan pemenuhan kepentingan masing-masing, agama memerlukan lembaga negara untuk melakukan akselerasi pengembangannya, demikian juga lembaga negara memerlukan agama untuk membangun negara yang adil dan sesuai dengan spirit ketuhanan. Tokoh Muslim dunia dalam golongan ini di antaranya adalah Abdullahi Ahmed An-Na’im, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid.
Ketiga, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara merupakan dua domian yang berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali. Golongan ini memisahkan hubungan antara agama dan politik/ negara. Oleh sebab itu, golongan ini menolak pendasaran negara pada agama atau formalisasi norma-norma agama ke dalam sistem hukum negara.[6]
Salah satu tokoh Muslim dunia yang masuk golongan ini adalah Ali Abd Raziq. Dalam hal yang sama, R R Alford dalam penelitiannya yang berjudul Agama dan Politik menyebutkan bahwa agama tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku politik pemeluknya, bahkan terkadang memiliki kecenderungan yang sebaliknya, di dunia Barat, sehingga orientasi utama politiknya sekularisasi.[7]
Sehubungan dengan pendapat Din Syamsuddin di atas, Gus Muwafiq berpendapat bahwa cara menghancurkan Islam salah satu caranya adalah dengan menghajar terus para pemimpinnya sampai orang tidak percaya sama pemimpin itu. Dan akhirnya pemimpin tersebut dijatuhkan dan diganti pemimpin yang asal-asalan. Pendapat ini diungkapkan oleh Gus Muwafiq
Sosok yang pernah menjadi asisten pribadi Presiden ke-4 Indonesia, KH Abdurrahman Wahid ini mengungkapkan juga bahwa kini banyak yang ingin menghilangkan wibawa pemimpin.
Contohnya beberapa tokoh Nahdlatul Ulama dan pemimpin pesantren di Indonesia diserang bertubi-tubi lewat media sosial dengan kata-kata makian, kata kasar, dan meme yang menghina tokoh tersebut.
Menurut Gus Muwafiq, maka jangan heran, kalau ada kiai yang bisa memimpin umat langsung diserang. Itu memang sudah direncanakan. Dipimpin Kiai Said Aqil Siroj protes, dipimpin KH Solahuddin Wahid protes.
Fenomena menghilangkan wibawa pemimpin ini juga terjadi dan menyasar para pemimpin bangsa. Semua pejabat negara yang memiliki wewenang mengambil keputusan selalu disalahkan. Apapun yang dilakukan tidak ada yang benar dimata orang yang tidak mau dipimpin ini. Semua salah bila tak sesuai dengan keinginan mereka.
Kalau manusia sudah tidak mau dipimpin maka kacau. Presiden juga disalahkan, tentara disalahkan, polisi disalahkan, tidak ada benarnya. KPU salah, apa-apa salah. Bikin jalan tol salah. Tidak bikin juga salah. Freeport diambil salah, tidak diambil salah. Memang Imaroh (kepemimpinan) dihajar untuk merusak sebuah bangsa. Nanti bila sudah tidak ada pemimpin lagi maka disiapkan pemimpin baru versi mereka.[8]
Secara historis, menurut Moh Dahlan, hubungan antara agama dan negara mengalami proses yang dinamis mulai dari tipologi formalistik hingga tipologi sekularistik. Sedangkan relasi agama dan negara yang dibangun Nabi saw memiliki kecenderungan inklusif dan substantif. Dari tipologi tersebut, hubungan antara agama dan negara yang perlu dibangun berdasarkan tipologi simbiotik ataupun dinamis-dialektis. Secara konstitusional, agama dan negara berjalan dinamis-dialektis, sehingga pelembagaan substansi norma agama Islam dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa dilakukan dengan cara inkosntitusional, tetapi harus melalui proses konstitusional, berdasarkan Pancasila dan UUD-NRI 1945. Substansi norma agama Islam hanya dapat diterapkan dalam tata hukum nasional jika diundangkan secara konstitusional dan sesuai dengan Pancasila dan UUD-NRI Tahun 1945 sebagaimana juga pernah diterapkan Nabi saw pada penyusunan naskah Perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Madinah, sehingga agama dan negara berperan penting dalam mewujudkan kemaslahatan hidup warga masyarakat.[9]
[1] Sejarah berdirinya bangsa Indonesia berakar sejarah dari sejak zaman kebangsaan Sriwijaya, zaman kebangsaan Majapahit dan zaman kebangsaan Indonesia Modern. Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Penerbit Paradigma, 2010), hlm. 126
[2] M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi al-Qur’an: Tafsir Berwawasan Keindonesiaan (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012), hlm. 106-107.
[3] Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Kitab Tauhid (1), terj. Agus Hasan Basori (Jakarta: Darul Haq, 1998), hlm. 87; Mu’in Sirry, Polemik Kitab Suci, hlm. 146 dan 157
[4] 3 Abdurrahman Wahid, Sekadar Mendahului: Bunga Rampai Kata Pengantar (Bandung: Penerbit Nuansa, 2011), hlm. 161.
[5] Pada awal Kemerdekaan RI, Piagam Jakarta membuat kata-kata” dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemluknya”. Hasil kesepakatan antara kelompok nasionalis yang terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo, A A Maramis dan Muhammad Yamin dengan kelompok agamawan Muslim yang terdiri dari KH Abdul Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, H Agus Salim, Abikusno Tjokrosurojo. Namun karena ada keberatan dari kalangan non-Muslim, maka Mohammad Hatta mendiskusikan kembali dengan KH Abdul Wahid Hasyim dan tokoh Muslim lainnya, sehingga lahir perubahan dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Faisal Ismail, Islam and Pancasila: Indonesian Politics 1945-1995 (Jakarta: Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan, Depag RI, 2001), hlm. 51, 55 dan 60-65.
[6] Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara”, dalam Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan; Nasionalisme Religius di Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 45-50.
[7] Penelitian ini mengulas; “hubungan antara komitmen agama dan politik di empat masyarakat Modern; Kanada, Australia, Inggris dan Amerika Serikat, dengan acuan khusus perilaku politik Katolik”. R R Alford “Agama dan Politik” dalam Roland Robertson (ed.), Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj. Achmad Fedyani Saifuddin (Jakarta: Rajawali, 1988), hlm. 379 dan 389
[8] Syarif Abdurrahman dan Muhammad Faizin dalam http://www.nu.or.id/post/read/101621/gus-muwafiq-ungkap-modus-kelompok-perusak-agama-dan-bangsa, diakses 5 Maret 2019
[9] Moh Dahlan, ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14, Nomor 1, Juni 2014