Dr. KH. Aguk Irawan MN (lahir 1 April 1979) adalah seorang tokoh agama, penulis, dan sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui karya-karyanya dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi. Selain itu, dia juga menulis dan menerjemahkan banyak buku agama dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Karyanya berupa puisi, cerita pendek dan esai sastra, agama dan budaya dipublikasikan media massa. antara lain Majalah Horison, Harian Kompas, Suara Pembaharuan, Sinar Harapan, Jawa Pos, Republika, Media Indonesia, Indopos, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Minggu pagi, Suara Merdeka, Surabaya Post, Sumut Pos, Majalah Basis, Koran Merapi, Rakyat Sumbar, Harian Fajar Makassar, Harian Carawala Makassar, Majalah Kaki Langit, Syir’ah, Jurnal Analisis, Jurnal Risalah, Majalah Tebuireng, Kuntum, Bende, NU Online, Jejak Bekasi, Koran Merapi Pembaruan, Sidogiri Media, Radar Jawa Pos, dan Kompas.com. [1]
Pendidikan dasarnya diselesaikan di kampungnya, Kalipang, Sugio Lamongan. Lalu, tingkat menengah di SMP Sunan Drajat, kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Darul Ulum, Langitan, Widang, Tuban. Selama di Pondok itu, ia mendapat bimbingan langsung dari KH. Abdul Wahid Zuhdi dan KH. Ahmad Wahib, juga secara tidak langsung mendapat bimbingan dari KH. Muhammad Marzuqi dan KH. Abdullah Faqih. Kepada dua kiai kharismatik itu ia ngaji bandongan setiap pagi.
Selain di pesantren salafiyah, Kiai Aguk juga meneruskan sekolah di Madrasalah Aliyah Negeri Babat. Di tempat ini ia pernah belajar teater dan menulis puisi pada guru bahasa Indonesianya, yaitu seorang penyair yang cukup terkenal di Lamongan; Pringgo. Kemudian ia melanjutkan kuliah di Al-Azhar University Cairo, jurusan aqidah dan Filsafat, atas beasiswa majelis a’la al-islamiyah. Lalu meneruskan jenjang berikutnya di Institut Agama Islam al-Aqidah Jakarta, dan UIN Sunan Kalijaga, sampai jenjang doktoral (2017), keduanya atas beasiswa Kemenag RI.
Selama menjadi mahasiswa di Mesir, selain ia dikenal sebagai penulis produktif, juga aktivis mahasiswa pada banyak organisasi. Tahun 2000 ketika penulis paripurna menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa Faultas Ushuluddin Al-Azhar (PPMI), ia terpilih secara aklamasi menggantikan posisi penulis. Selain itu ia aktif di Kelompok Studi Walisongo, Sanggar Seni Kinanah, PCINU dan lain sebagainya.
Ia pernah memenangkan lomba karya tulis tingkat Mahasiswa di Kairo, yang diadakan oleh KBRI bekerjasama dengan Bulletin Terobosan, dan mendapat anugrah Bakhtiar Ali Award, atas artikelnya “Menghayati Soempah Pemoeda untuk Kita”, sebagai pemenang pertama dalam rangka peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2000.
Selain itu, ia juga banyak menerjemahkan karya sastra Arab dan buku keislaman. Bila ditelusur pada laman PERPUSNAS, karya terjemahannya ada puluhan. Selain di media mahasiswa, sejak mahasiswa ia juga sangat produktif menulis diberbagai situs internet surat kabar Nasional, diantaranya di Majalah sastra Horison, Kompas, Jawa Pos dan lain sebagainya. Selain itu, beberapa komunitas seni sering memberinya kesempatan dan kepercayaan menjadi Dewan Juri bertaraf Nasional, diantaranya adalah salah seorang Dewan Juri Khatulistiwa Literary Award (2007).
Majalah sastra Horison Edisi XXXXI, Nomer 12/2006, memuat tulisan edisi pengarang muda Yogyakarta, dan ia dinobatkan salah satu dari tujuh sastrawan yang dipilih Majalah tersebut, dengan katagori sastawan muda berkarakter. Lalu penghargaan lainnya, diantaranya sebagai Penulis Fiksi Terbaik 2007, dari Grafindo Khazanah Ilmu. Pesantren Award, 2016, sebagai penulis novel terproduktif dari Pesantren Bina Insan Mulia dan Asosiasi Pesantran Salafiah Cirebon. Nominasi novel terbaik Islamic Book Fair 2018, dan lain sebagainya.
Buku fiksinya yang sudah terbit sudah 62 buah novel, beberapa diantaranya yang fenomenal adalah sang penakluk badai- nobel Biografi Mbah Hasyim Asy’ari (Global Media,2010), Haji Backpacker sebuah Novel (M-Book, 2013), Air Mata Tuhan (Imania, 2014), Patah Hati yang Terindah (Dolphin, 2015). Peci Miring, Novel Biografi Gus Dur (Dolphin, 2015) Kartini, Kisah yang Tersembunyi (Dolphin, 2016), Sang Mujtahid Islam Nusantara, Novel Biografi KH.Wahid Hasyim (Imania, 2016), Titip Rindu ke Tanah Suci (Republika, 2017), Senandung Bisu (Republika, 2018), Sosrokartono (Imania, 2018), dan Surat Cinta dari Bidadari Surga (Republika, 2020).
Dari sekian banyak karya novelnya itu, sebagian besar sudah dikontrak untuk divisulkan ke layar lebar oleh Starvision, Falcon Picture, Gentah Buana, Tujuh Bintang Cinema, Leo Picture dan Soraya Intercine Film. Dua diantaranya yang sudah tayang dan booming adalah film Haji Backpacker dan Air Mata Surga.[2]
1. Film Haji Backpacker
Haji Backpacker adalah film drama Indonesia yang disutradarai oleh Danial Rifki dan dirilis pada 2 Oktober 2014. Film ini menjalani pengambilan gambar di 9 negara, diantaranya Indonesia, Thailand, Vietnam, Tiongkok, India, Tibet, Nepal, Iran, dan Arab Saudi. Versi director’s cut dari film ini dirilis pada 12 Mei 2021 di KlikFilm. Film ini terinspirasi dari sebuah novel yang berjudul sama karya KH. Aguk Irawan.
Sinopsis Film Haji Backpaker
Mada memberontak kepada Tuhan, karena sudah merenggut ibunya. Ia juga kehilangan cinta yang membuatnya patah hati. Ia marah pada kenyataan, kemudian memutuskan untuk menjadi backpacker dan hidup bebas. Bahkan ia juga meninggalkan Tuhan, keluarga, dan Sahabatnya. Pada dunia luar yang bebas, Mada menemukan kebahagiaan ragawi, tetapi merasa kosong secara rohani.
Di saat yang penuh kerapuhan inilah, tangan Tuhan mengajaknya untuk kembali melalui serangkaian peristiwa. Berkelana dari satu negara ke negara lainnya, menyingkap kesadaran demi kesadaran, Mada sadar ternyata Tuhan sebenarnya mencintai dan selalu menjaganya dengan aturan yang sempurna. Tuhan selalu mendekapnya. Haji Backpacker bercerita tentang perjalanan inspiratif sang tokoh utama melintasi sembilan negara melalui darat untuk menuju Mekah.[3]
2. Film Air Mata Surga
Air Mata Surga adalah sebuah film Indonesia yang dibintangi oleh Dewi Sandra dan Richard Kevin. Film tersebut merupakan adaptasi novel “Air Mata Tuhan” karya KH. Aguk Irawan.
Sinopsis Air Mata Surga
Film diawali dengan adegan drama yang tegang, seorang perempuan bernama Fisha (Dewi Sandra) mengajukan proposal tesis pascasarjana disalah satu kampus di Yogyakarta. Dia bisa tersenyum karena proposalnya diterima oleh dosen pemeriksa.
Setelah itu, dia mendapat tugas baru agar menghubungi seorang dosen pembimbing tesisnya bernama Fikri (Richard Kevin). Namun, tak mudah Fisha bisa bertemu langsung Fikri. Pasalnya, dosen pembimbing itu tingga di Jakarta.
Fisha pakai segala cara agar bisa menghubungi Fikri. Pada akhirnya, Fikri membalas surat elektronik Fisha dan meminta bertemu di Jakarta. Fisha pun langsung berangkat ke Jakarta dari Jogja menggunakan kereta api.
Sesampainya di kantor Fikri, Fisha langung mengagumi desain ruangan kantor Fikri yang tidak ada kursi dan meja. Yang tampak mencolok hanya sajadah yang tergelar menghadap kiblat.
Perbincangan selesai, Fisha langsung bertolak kembali ke Jogja. Namun, alangkah terkejut saat ada surat dari teman kecilnya, Hamzah (Morgan Oey) yang mengajaknya menikah. Fisha pun labil karena selama ini Hamzah sudah seperti kakaknya.
Di saat Fisha bimbang dengan lamaran Hamzah, dosen pembimbing tiba-tiba datang ke Jogja dan menemui keluarga Fisha untuk bicara pernikahan. Meski intesitas pertemuan tak sampai satu hari, mereka pun akhirnya menikah di Jakarta.
Konflik mulai muncul setelah mereka menikah. Hubungan Fisha dengan ibunda Fikri, Halimah (Roweina), kurang harmonis. Masalahnya Halimah sudah lama ingin menjodohkan Fikri dengan perempuan pilihannya, Riri (Imaz Fitria), anak sahabat almarhum suaminya.
Apalagi bahtera rumah tangga Fisha juga menghadapi cobaan. Dia alami keguguran dua kali hingga tak jua mendapatkan seorang anak. Tentu sedih dan terpukul, apalagi suami Fisha diminta mertuanya untuk menceraikannya.[4]
[1] Diolah dari https://id.wikipedia.org/
[2] Diolah dari https://www.tribunnews.com/
[3] Diolah dari https://id.wikipedia.org/
[4] Diolah dari https://id.wikipedia.org/